Al-Qur’an adalah Sumber dan Sarana Penyucian Jiwa
Allah Ta‘ālā berfirman,
﴾لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ﴿
“Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.” (QS. Āli ‘Imrān: 164)
Di antara sarana terbesar yang dapat menyucikan jiwa adalah Al-Qur’an yang mulia. Al-Qur’an adalah kitab yang menjadi sumber penyucian jiwa, sekaligus penolong dan pembimbingnya. Barang siapa yang menginginkan jiwanya menjadi suci, hendaklah ia mencarinya dalam kitab Allah ﷻ.
Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Allah menjamin bagi siapa yang mengikuti Al-Qur’an, bahwa ia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat,” lalu ia membaca firman Allah Ta‘ālā:
﴾فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ﴿
“Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thāhā: 123)1
Allah Ta‘ālā juga berfirman,
﴾يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ﴿
“Wahai manusia! Sungguh telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian, penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yūnus: 57).
Ibnu al-Qayyim raḥimahullāh berkata,
القُرْآنُ هُوَ الشِّفَاءُ التَّامُّ مِنْ جَمِيعِ الأَدْوَاءِ القَلْبِيَّةِ وَالْبَدَنِيَّةِ، وَأَدْوَاءِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Al-Qur’an adalah penyembuh yang sempurna dari segala penyakit hati dan jasmani, serta penyakit dunia dan akhirat.”2
Allah Ta‘ālā juga berfirman,
﴾ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ﴿
“Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya. Mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya.” (QS. Al-Baqarah: 121).
Membaca Al-Qur’an dengan hakikat tilawah yang sebenarnya mencakup: membaca, menghafal, memahami, merenungi, serta mengamalkan isinya, sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh para sahabat dan tabiin.
Ibnu Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu berkata,
كانَ الرَّجُلُ مِنَّا إذا تَعَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ، لم يُجَاوِزْهُنَّ حتى يَعْرِفَ مَعَانِيَهُنَّ، وَالعَمَلَ بِهِنَّ
“Dulu, ketika seseorang di antara kami mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an, ia tidak akan melanjutkannya sebelum memahami maknanya dan mengamalkannya.”3
Membaca Al-Qur’an tanpa memahami maknanya atau tanpa mengamalkan isinya, bukanlah bacaan yang hakiki. Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyādh raḥimahullāh berkata,
إِنَّمَا نَزَلَ القُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ، فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, tetapi orang-orang menjadikannya sebatas bacaan belaka.”4
Apabila Allah ﷻ memuliakan seorang hamba dengan anugerah membaca Al-Qur’an, merenungi isinya, serta bersungguh-sungguh mengamalkannya, maka ia akan meraih bagian terbesar dari penyucian jiwa.
Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, ‘Asyru Qawā‘ida fī Tazkiyati an-Nafs, https://www.al-badr.net/ebook/183, Diakses pada 02 Ramadhan 1446 H/ 02 Maret 2025)
Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc
Footnote:
1 Diriwayatkan oleh Ath-Thabarī dalam Jāmi‘ al-Bayān (1/74)
2 Zād al-Ma‘ād (4/119)
3 Diriwayatkan oleh Imam Aḥmad dalam al-Musnad, no. 23482
4 Diriwayatkan oleh al-Ājurrī dalam Akhlaq Ḥamalat al-Qur’ān, hal. 41
Ini adalah artikel berseri, untuk artikel selanjutnya jika sudah diposting bisa buka di link ini