Berbakti kepada Orang Tua Setelah Wafatnya
Berbakti kepada orang tua adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia, kewajiban yang paling penting, dan salah satu amalan yang paling agung di sisi Allah.
Allah Ta‘ālā bahkan mengaitkan perintah untuk berbakti kepada orang tua dengan tauhid dan ibadah kepada-Nya. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah menyandingkan hak orang tua dengan hak-Nya, serta perintah untuk bersyukur kepada orang tua dengan syukur kepada-Nya.
Allah berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isrā’: 23)
Allah juga berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisā’: 36)
Begitu pula dalam firman-Nya:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqmān: 14)
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَاقٌّ
“Orang yang durhaka kepada orang tuanya tidak akan masuk surga.”
(HR. an-Nasa’i no. 5672 secara ringkas, Ahmad no. 6892 dengan sedikit perbedaan lafaz. Dinilai hasan lighairihi oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 673)
Beliau juga menjelaskan bahwa salah satu dosa besar yang paling besar adalah mempersekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.
Lebih Sempurna dan Lebih Indah
Dan jika berbakti kepada kedua orang tua semasa hidupnya telah mencakup kebaikan yang paling sempurna, keindahan yang paling menawan, dan amal kebajikan yang paling bermanfaat, serta keutamaan yang paling mulia, maka melanjutkan bakti tersebut setelah wafatnya akan menjadi lebih sempurna, lebih indah, lebih bermanfaat, dan lebih mulia. Sebab, kebutuhan mereka terhadap bakti ini jauh lebih besar, dan manfaatnya bagi mereka jauh lebih agung.
Ketika seseorang meninggal, semua amalnya terputus, dan pahala yang ia kumpulkan berhenti mengalir. Pada saat itu, hal yang paling berharga baginya adalah jika ada seseorang di dunia ini yang menghadiahkan kepadanya kebaikan, doa, atau pahala amal yang terus mengalir untuknya.
Inilah peran penting seorang anak saleh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi ﷺ dalam hadis yang sahih:
إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له.
“Jika manusia meninggal, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)
Maka, anak ini dengan segala amal kebaikan dan kebajikan yang dilakukannya untuk kedua orang tuanya menjadi perpanjangan dari amal yang telah terputus, penyambung tali yang telah terputus, serta pahala yang tidak lagi diharapkan datang.
Amal tersebut akan membawa kebahagiaan bagi orang tua yang telah wafat, memberikan kegembiraan, meninggikan derajatnya, menghapuskan dosa-dosanya, dan mungkin menjadi sebab penyelamatnya dari api neraka.
Berbakti Setelah Wafatnya Orang Tua
Dalam kehidupan ini, mungkin ada di antara kaum Muslimin yang lalai dalam memenuhi hak kedua orang tuanya semasa hidup mereka, tidak benar-benar melaksanakan kewajiban berbakti dengan sepenuh hati. Dan kebanyakan dari kita adalah orang seperti itu.
Mungkin juga ada yang pernah berbuat buruk kepada kedua orang tuanya, atau bahkan durhaka kepada mereka, lalu ingin bertaubat, menebus kesalahan, dan berharap masih ada cara untuk berbakti kepada mereka setelah wafatnya.
Di sisi lain, ada pula orang yang telah melaksanakan kewajiban berbakti kepada orang tuanya dengan baik semasa hidup mereka, dan berharap dapat terus melanjutkan kebaikan serta kewajiban mulia itu meskipun orang tuanya telah tiada.
Maka kami sampaikan kepada mereka semua: Sesungguhnya, dari rahmat Allah yang besar bagi para orang tua dan anak-anak adalah bahwa Allah tidak membatasi bakti kepada orang tua hanya selama mereka masih hidup, dan tidak pula menghentikannya setelah wafat mereka.
Sebaliknya, Allah tetap menjadikan hak-hak berbakti berlaku bagi seorang anak setelah kedua orang tuanya meninggal, bagi siapa saja yang menginginkan kebaikan. Hal ini membuka pintu-pintu manfaat, baik untuk yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Dari Malik bin Rabi‘ah Abu Usaid as-Sa‘idi, ia berkata:
“Ketika kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, seorang laki-laki dari Bani Salamah datang dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk bakti kepada kedua orang tuaku yang dapat aku lakukan setelah mereka wafat?’
Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Ya, yaitu mendoakan mereka, memohonkan ampun untuk mereka, menunaikan janji mereka setelah wafat, menyambung silaturahmi yang hanya bisa tersambung melalui mereka, dan memuliakan teman mereka.’”
(HR. Abu Dawud no. 5142, dinilai layak oleh Abu Dawud dalam suratnya kepada penduduk Makkah. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3664 dan Ahmad no. 16059 dengan sedikit perbedaan lafaz).
Bentuk-Bentuk Bakti
Nabi ﷺ menyebutkan beberapa bentuk bakti anak kepada orang tua setelah mereka wafat. Di antaranya:
Pertama: Mendoakan dan Memohonkan Ampunan untuk Keduanya
Seorang anak dianjurkan untuk memperbanyak doa untuk kedua orang tuanya dengan segala kebaikan yang mungkin mereka raih dan bermanfaat bagi mereka di akhirat. Misalnya, memohon agar Allah meluaskan kubur mereka, menjadikan kubur mereka sebagai taman dari taman-taman surga, memberikan kenikmatan kepada mereka di dalamnya, meninggikan derajat mereka, menerima amal-amal mereka, serta menjadikan mereka bersama para nabi, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh.
Selain itu, berdoalah agar Allah menjadikan mereka dalam kebersamaan Nabi ﷺ di surga tertinggi, yaitu ‘Illiyyin, di Firdaus yang paling mulia.
Memohonkan Ampunan untuk Keduanya
Memohonkan ampun untuk kedua orang tua adalah bentuk doa yang paling mulia dan berharga. Ini berarti memohon kepada Allah agar menghapuskan dosa-dosa mereka, memberikan maaf, serta melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya. Doa seperti ini adalah tradisi para nabi untuk orang tua mereka.
Sebagaimana doa Nabi Nuh ‘alaihissalam:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Ya Rabbku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang yang masuk ke rumahku dalam keadaan beriman, dan semua orang mukmin laki-laki dan perempuan.” (QS. Nuh: 28)
Begitu pula doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Rabb kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan semua orang mukmin pada hari perhitungan ditegakkan.” (QS. Ibrahim: 41)
Nabi ﷺ menjadikan doa ini sebagai tanda anak yang saleh, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya: “Anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.”
Allah ‘Azza wa Jalla juga berwasiat kepada para hamba-Nya yang beriman untuk mendoakan kedua orang tua mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا
“Dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.’” (QS. Al-Isrā’: 24)
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، مِنْ أَيْنَ لِي هَذَا؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ.
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan meninggikan derajat seorang hamba yang saleh di surga. Maka ia bertanya, ‘Wahai Rabbku, dari mana aku mendapatkan ini?’ Allah menjawab, ‘Ini berkat istighfar anakmu untukmu.’”
(HR. Ibnu Majah setelah hadis no. 3660, Ahmad no. 10610 dengan sedikit perbedaan lafaz. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaukani dalam Fath al-Qadir, jilid 5 halaman 142).
Kedua: Menunaikan Janji Kedua Orang Tua Setelah Wafatnya
Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “janji” di sini adalah wasiat. Namun, pada hakikatnya, janji mencakup lebih luas dari sekadar wasiat, meskipun wasiat merupakan bagian yang paling awal dan paling ditekankan.
Jika wasiat itu berada dalam batas sepertiga harta atau kurang, maka wajib dilaksanakan. Namun, jika melebihi sepertiga, maka dianjurkan untuk melaksanakannya sebagai bentuk bakti dan kemurahan hati, meskipun tidak diwajibkan.
Yang termasuk dalam makna “janji” ini misalnya:
- Jika salah satu dari kedua orang tua mewasiatkan untuk berbuat baik kepada saudara karena kebutuhannya, atau kepada saudari karena kemiskinan atau sakitnya.
- Atau mewasiatkan perhatian khusus kepada tetangga, kerabat tertentu, sahabat, atau teman dekat.
- Atau memberikan perhatian terhadap suatu hal tertentu.
Melaksanakan hal-hal tersebut adalah bagian dari bakti kepada orang tua, selama tidak mengandung unsur dosa atau kemaksiatan.
Ketiga: Menyambung Silaturahmi yang Terkait dengan Orang Tua
Silaturahmi pada dasarnya adalah kewajiban tersendiri, tetapi menjadi lebih penting lagi setelah wafatnya orang tua sebagai garis keturunan utama (ashl). Silaturahmi ini mencakup hubungan dengan paman, bibi, dan anak-anak mereka; paman dan bibi dari pihak ibu serta anak-anak mereka; dan terlebih lagi saudara laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, kita perlu menjaga hubungan dengan mereka, berbuat baik kepada mereka, memilih kata-kata yang lembut saat berbicara, dan mengunjungi mereka secara rutin.
Dengan demikian, hubungan keluarga tidak akan terputus setelah wafatnya kedua orang tua, tetapi tetap terjalin erat. Hal ini tidak hanya mendatangkan pahala silaturahmi, tetapi juga menjadi bentuk bakti kepada orang tua setelah wafat mereka.
Kelima: Memuliakan Teman Kedua Orang Tua
Setiap orang tua memiliki sahabat atau teman dekat selama hidup mereka. Sebagai tanda bakti yang besar dan bukti cinta serta penghormatan kepada kedua orang tua, menjaga hubungan dengan teman-teman dekat mereka setelah mereka wafat adalah hal yang sangat dianjurkan.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya bentuk bakti yang paling mulia adalah menjaga hubungan dengan keluarga teman dekat ayahnya.” (HR. Muslim, no. 2552).
Dalam riwayat lain yang juga terdapat dalam Shahih Muslim, diceritakan bahwa Ibnu Umar memiliki seekor keledai untuk istirahat jika ia lelah menunggangi kendaraan utama, dan sebuah surban untuk melindungi kepalanya. Suatu hari, ketika ia sedang menunggangi keledai tersebut, seorang Arab Badui lewat dan bertanya,
“Bukankah engkau anak si Fulan?” Ibnu Umar menjawab, “Betul.” Maka Ibnu Umar memberikan keledainya kepada orang Badui itu sambil berkata, “Naiklah ke atas keledai ini.” Dia juga menyerahkan surbannya dan berkata, “Gunakan ini untuk mengikat kepalamu.”
Salah seorang sahabat Ibnu Umar yang melihat itu berkata kepadanya, “Semoga Allah mengampunimu. Mengapa engkau memberikan keledai yang biasa kau gunakan untuk beristirahat dan surban yang biasa kau gunakan untuk mengikat kepalamu kepada orang Badui itu?”
Ibnu Umar menjawab, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya termasuk bakti yang paling mulia adalah menjaga hubungan dengan keluarga teman dekat ayahnya setelah ia tiada.’ Dan ayah orang ini adalah teman dekat Umar (ayahku).”
Dari Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma, dari ayahnya, ia berkata:
“Aku tiba di Madinah, lalu Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma datang menemuiku. Ia berkata, ‘Tahukah engkau mengapa aku datang kepadamu?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Barang siapa yang ingin menyambung hubungan dengan ayahnya di dalam kuburnya, maka hendaklah ia menyambung hubungan dengan saudara-saudara ayahnya setelah wafatnya. (Maksudnya: teman-teman dekat ayahnya setelah wafatnya).’
Dahulu ada persaudaraan dan kasih sayang antara ayahku, Umar, dan ayahmu. Maka aku ingin menyambung hubungan itu.’”
(HR. Ibnu Hibban, no. 432, dinilai sahih berdasarkan syarat al-Bukhari oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth).
Bentuk lain yang Bakti kepada Orang Tua Setelah Wafatnya:
Membayar Utang, Menunaikan Nazar, dan Membayar Kafarat
Utang merupakan hal yang serius bagi seseorang yang telah meninggal dunia. Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa seseorang terhalang dari masuk surga karena utangnya hingga utang tersebut dilunasi. Dalam sebuah hadis disebutkan:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إلَّا الدَّيْنَ.
“Segala dosa seorang syahid diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim, no. 1886).
Adapun terkait nazar, disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Seorang wanita pernah berlayar dan bernazar, ‘Jika Allah menyelamatkan aku, aku akan berpuasa satu bulan.’ Maka Allah menyelamatkannya, tetapi ia belum sempat menunaikan nazarnya hingga ia wafat. Salah satu kerabatnya, entah saudara perempuan atau anak perempuannya, mendatangi Nabi ﷺ untuk menyampaikan hal tersebut. Nabi ﷺ pun bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu, jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?’ Wanita itu menjawab, ‘Ya.’ Nabi ﷺ bersabda,
فدَينُ اللَّهِ أحقُّ أن يُقضَى، فَاقضِ عَن أمِّكِ
‘Utang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Maka lunasilah nazar ibumu.’”
(Hadis ini sahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim. Dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ahkāmul-Janā’iz, hlm. 214).
Tidak diragukan lagi, hadis ini juga mencakup kewajiban melunasi kafarat, karena kafarat adalah bagian dari janji yang harus dipenuhi.
Selain itu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa, maka walinya hendaklah berpuasa untuknya.”
(HR. Abu Dawud, no. 2400, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud).
Hal ini juga berlaku untuk haji. Dalam berbagai hadis yang sahih disebutkan bahwa seseorang boleh berhaji untuk orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Sedekah untuk Keduanya:
Sedekah adalah salah satu pintu amal yang paling luas dan paling dijamin pahalanya. Para ulama telah sepakat bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Mubarak: “Tidak ada perbedaan pendapat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit.”
Hal ini juga ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Bahwasanya Sa‘d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu ibunya meninggal dunia saat ia sedang tidak ada di tempat. Ia berkata:
‘Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia sementara aku tidak berada di sisinya. Apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku bersedekah atas namanya?’ Beliau menjawab: ‘Ya.’
Maka Sa‘d berkata: ‘Saksikanlah, bahwa kebun saya yang bernama al-Mikhrāf adalah sedekah atas nama ibuku.’” (HR. al-Bukhari, no. 2756).
Sedekah yang Paling Utama: Waqaf Bermanfaat untuk Orang Tua
Salah satu bentuk sedekah yang paling utama adalah waqaf yang bermanfaat untuk kedua orang tua. Hal ini karena pahalanya akan terus mengalir. Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ، يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
“Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang tetap akan menyertai seorang mukmin setelah kematiannya adalah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak saleh yang dia tinggalkan, mushaf (al-Qur’an) yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah untuk musafir yang dia dirikan, sungai yang dia alirkan, atau sedekah yang dia keluarkan dari hartanya semasa hidupnya dalam keadaan sehat. Semua itu akan menyertainya setelah kematiannya.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Barang siapa yang meninggalkan anak yang mendoakannya.” (HR. Ibn Majah, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibn Majah, no. 200).
Membangun masjid, mendirikan rumah singgah, membangun rumah sakit atau klinik gratis untuk membantu orang yang membutuhkan, menggali sumur, mencetak mushaf Al-Qur’an dan buku-buku ilmu yang bermanfaat, memberikan santunan kepada anak yatim dan janda, serta mendukung para dai dan penuntut ilmu—semua ini termasuk amal yang manfaatnya terus berlanjut dan dampaknya bertahan dalam waktu yang lama.
Akhirnya
Salah satu amal terbaik yang dapat dilakukan seorang anak untuk orang tuanya setelah wafat mereka adalah memperbaiki dirinya sendiri dan konsisten dalam amal saleh. Sebab, sebagaimana disebutkan bahwa “anak adalah hasil usaha orang tuanya.”
Setiap amal yang dilakukan anak, yang sebelumnya diperintahkan, diajarkan, atau diharapkan oleh orang tuanya dalam hal agama dan kebaikan, akan menjadi tambahan pahala di timbangan amal ayah dan ibunya. Semakin banyak amal baik yang dilakukan oleh anak, semakin bertambah pula pahala bagi kedua orang tuanya.
Makna ini telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmū‘ al-Fatāwā. Hal ini juga diperkuat oleh dua dalil:
Pertama, hadis Nabi ﷺ:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا.
“Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 2674).
Yang Kedua: hadis Nabi ﷺ:
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَتَعَلَّمَ وَعَمِلَ بِهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَاجًا مِنْ نُورٍ ضَوْءُهُ مِثْلُ الشَّمْسِ، وَيُكْسَى وَالِدَاهُ حُلَّتَيْنِ لَا يَقُومُ لَهُمَا الدُّنْيَا، فَيَقُولَانِ: بِمَ كُسِينَا هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ.
“Barang siapa membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti sinar matahari. Kedua orang tuanya juga akan diberi dua pakaian yang nilainya tidak bisa ditandingi oleh dunia. Mereka bertanya, ‘Dengan apa kami memperoleh semua ini?’ Maka dikatakan kepada mereka, ‘Dengan sebab anak kalian yang memegang (mengamalkan) Al-Qur’an.'”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2086), dinilai hasan lighairihi oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat-Tarhib (2/303)).
Apakah Mengunjungi Makam Orang Tua Termasuk Berbakti Setelah Wafatnya?[2]
Mengunjungi makam, baik orang tua maupun selainnya, dianjurkan dalam syariat. Tujuannya adalah untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Ziarah kubur memiliki dua tujuan utama:
- Manfaat bagi yang berziarah:
Mengingat kematian dan kondisi para penghuni kubur yang berakhir di surga atau neraka. Ini merupakan tujuan utama dari ziarah kubur.
- Manfaat bagi yang wafat (khusus muslim):
Dengan memberikan salam, mendoakan, dan memohonkan ampunan untuk mereka. Jika seorang anak mengunjungi makam ayahnya, maka ia telah melakukan perbuatan yang dianjurkan dalam agama dan akan mendapatkan pahala dari Allah, insya Allah. Namun, ziarah ini bukan kewajiban sehingga tidak berdosa jika tidak dilakukan.
Dalam program “Nur ‘ala ad-Darb”, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab:
“Tujuan utama ziarah kubur adalah untuk mendoakan mereka, dan doa itu bisa dilakukan di mana saja. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: Jika seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.
Maka, engkau dapat mendoakan ayahmu di mana pun berada, baik dekat maupun jauh. Tidak ada keharusan untuk mengunjungi makamnya. Jika engkau berada di kota yang sama, tidak mengapa mengunjungi makamnya ketika ada keperluan, tetapi melakukan safar khusus untuk ziarah makam adalah hal yang terlarang.”
Apakah Ziarah Setelah Wafat Sama dengan Saat Hidup?
Ziarah kepada orang tua yang telah wafat tentu berbeda dengan saat mereka masih hidup. Ketika hidup, berkunjung kepada mereka mencakup berkomunikasi, memenuhi kebutuhan mereka, dan memberikan kebahagiaan secara langsung. Sedangkan setelah wafat, ziarah lebih kepada doa bagi ahli kubur dan pengingat kematian.
Berapa Lama Jarak Antara Ziarah yang Dianjurkan?
Tidak ada ketentuan waktu tertentu dalam syariat mengenai jeda waktu yang dianjurkan antara satu ziarah ke ziarah berikutnya. Jika makamnya berada di kota tempat tinggal, engkau boleh mengunjunginya setiap pekan, setiap Jumat, atau lebih jarang dari itu, sesuai kelapangan dan kesanggupan.
Hukum Ziarah Kubur di Hari Raya[3]
Ziarah kubur merupakan amalan yang dianjurkan dalam Islam, baik untuk mengambil pelajaran, mengingat kematian, maupun mendoakan penghuni kubur. Namun, terdapat beberapa kebiasaan di masyarakat yang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu, seperti di hari raya
Secara umum, ziarah kubur disyariatkan kapan saja tanpa batasan waktu tertentu. Rasulullah ﷺ menganjurkan umat Islam untuk ziarah kubur agar dapat mengingat akhirat, sebagaimana sabda beliau:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا.
“Dulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, tetapi sekarang ziarahilah kubur, karena hal itu dapat melembutkan hati, membuat mata menangis, dan mengingatkan akan akhirat. Namun, janganlah kalian mengucapkan perkataan yang tidak benar.”
(HR. Ahmad no. 13487, Abu Ya’la no. 3707, dan Al-Hakim no. 1393 dengan lafaz ini. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 4584).
Namun, mengkhususkan waktu tertentu untuk ziarah, seperti hari raya, tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Mengkhususkan ziarah pada hari raya dapat menimbulkan keyakinan bahwa waktu tersebut memiliki keutamaan khusus yang disyariatkan, padahal hal itu tidak benar. Oleh sebab itu, mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya dianggap sebagai bid‘ah (mengada-ada dalam agama).
Dalam Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah lil-Buhūts wal-Iftā’, dijelaskan:
“Mengkhususkan ziarah kubur di hari raya adalah bid‘ah, baik dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.”
Silaturahmi di Makam: Tepatkah?
Sebagian orang beralasan bahwa mereka melakukan ziarah kubur di hari raya sebagai bagian dari silaturahmi. Mereka memanfaatkan momen berkumpul di pemakaman untuk saling bertemu dengan kerabat. Namun, alasan ini kurang tepat. Silaturahmi tidak harus dilakukan di makam.
Ada banyak tempat lain yang lebih sesuai untuk mempererat hubungan keluarga tanpa harus mengaitkannya dengan ibadah yang tidak disyariatkan.
Apakah bumi begitu sempit sehingga silaturahmi hanya dapat dilakukan di area pemakaman? Silaturahmi adalah amal yang dianjurkan, namun tidak seharusnya dikaitkan dengan bid‘ah yang tidak memiliki dasar syar‘i.
Apakah Perempuan Boleh Ziarah Kubur?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perempuan berziarah kubur. Sebagian ulama melarangnya secara mutlak, sementara mayoritas ulama memperbolehkan dengan beberapa syarat, seperti tidak meratap, menjaga adab, dan menjaga ketenangan.
Jika seorang perempuan menemani keluarga yang melakukan ziarah kubur tetapi tidak masuk ke area makam, hal ini diperbolehkan, terutama jika ia ingin menghindari potensi fitnah atau kebiasaan yang tidak disyariatkan.
Kesimpulan
- Ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan untuk mengingat akhirat dan mendoakan penghuni kubur. Namun, mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya dianggap sebagai bid‘ah karena tidak memiliki dasar syar‘i.
- Silaturahmi tidak seharusnya dilakukan di makam dengan alasan yang tidak jelas. Ada banyak tempat lain yang lebih sesuai untuk menjalin hubungan kekeluargaan.
- Perempuan diperbolehkan berziarah kubur dengan syarat menjaga adab dan menghindari hal-hal yang dilarang, meskipun ada pendapat ulama yang melarang secara mutlak.
Dengan demikian, sebaiknya hindari mengkhususkan waktu ziarah kubur pada hari raya untuk menghindari praktik yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat; karena ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja.
Pesan Penutup
Berbaktilah kepada orang tua kalian, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah wafat, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian. Berbaktilah kepada orang tua kalian, maka Allah akan meridhai kalian. Berbaktilah kepada orang tua kalian, maka Allah akan melapangkan rezeki kalian. Dan berbaktilah kepada orang tua kalian, maka Allah akan memasukkan kalian ke dalam surga-Nya.
Ya Allah, ampunilah dosa ayah dan ibu kami. Limpahkanlah rahmat-Mu kepada mereka sebagaimana mereka telah merawat kami sewaktu kecil. Dan pertemukanlah kami dengan mereka di surga-Mu yang penuh kenikmatan. Amin.
Semoga Allah mengaruniakan kita pemahaman yang benar dalam beribadah dan menjauhkan kita dari praktik yang tidak sesuai dengan syariat-Nya.
Wallahu a‘lam.
Dialihbahasakan dengan sedikit penyesuaian oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc
Sumber :
https://www.islamweb.net/amp/ar/article/232480/
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/182567/
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/101186/