Muhasabah Jalan Menuju Kesadaran Hakiki
Dalam perjalanan menuju Allah, manusia dihadapkan pada empat tahapan yang menjadi penentu arah hidupnya: kesadaran, perenungan mendalam, kejernihan hati, dan keteguhan tekad. Tanpa melewati keempat tahap ini, ia akan berjalan dalam gelap, mengikuti langkah demi langkah tanpa benar-benar tahu ke mana harus menuju.
Sebagaimana seorang musafir tak mungkin memulai perjalanannya sebelum ia membuka mata dari tidur panjang, demikian pula jiwa manusia: ia harus terlebih dahulu terbangun dari kelalaiannya. Ia tidak dapat melangkah sampai ia terjaga dari mimpi-mimpi dunia. Setelah sadar, ia harus duduk sejenak dalam diam. Ia merenungi perjalanan yang akan ditempuh: jalan-jalannya yang terjal, lembah-lembahnya yang sunyi, serta kemungkinan-kemungkinan yang mungkin tak selalu indah. Ia bertanya kepada dirinya tentang bekal, tentang arah, tentang keberanian.
Barulah kemudian, ia mengemasi bekal-bekal jiwa, bekal ilmu, bekal keyakinan, dan memastikan bahwa hatinya telah siap untuk menempuh jalan panjang. Ketika ia telah mengambil keputusan dengan penuh kesadaran, maka ia telah memasuki gerbang muhasabah: melihat ke dalam diri dengan jujur, dan menimbang apa yang telah ia perbuat dalam hidupnya dengan penuh tanggung jawab.
Muhasabah adalah proses memilah antara hak dan kewajiban, sebuah pertimbangan yang jujur dan tanpa tedeng aling-aling. Ia bukan sekadar renungan, melainkan neraca batin, tempat seseorang menakar: apa yang telah ia ambil, dan apa yang seharusnya ia kembalikan. Dalam muhasabah, seseorang tidak bisa berpura-pura, karena yang dihadapinya adalah dirinya sendiri, dan di balik dirinya, ada Allah Yang Maha Menyaksikan.
Perjalanan menuju kampung akhirat ini bukan seperti langkah menuju suatu tempat di dunia, yang bisa diulang, ditempuh kembali bila gagal dan tersesat. Ini adalah perjalanan sekali jalan, menuju negeri abadi, ke tempat segala amal dihisab dan segala rahasia dibukakan.
Allah berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ اللهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسࣱ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدࣲۖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini bukan hanya seruan, melainkan pukulan lembut yang menggugah: bahwa esok bukan sekadar kelanjutan hari ini, tetapi jembatan menuju keabadian. Dan barang siapa lalai memandang jejaknya hari ini, niscaya akan terpeleset di hari di mana tak seorang pun bisa menolongnya kecuali rahmat dari Allah.
Merenungi Hakikat Diri: Rukun Muhasabah
Muhasabah adalah cermin, namun bukan sekadar memantulkan rupa luar, melainkan menampakkan batin yang tersembunyi. Barang siapa berani menatapnya dengan jujur, akan melihat bayangan dirinya yang sesungguhnya: kecil, lemah, dan penuh kekurangan.
Ia mulai bertanya: “Apa yang telah Allah berikan kepadaku? Dan apa yang telah kuberikan kembali?” Maka terbukalah jurang yang lebar antara nikmat yang melimpah dan amal yang jauh dari cukup. Dan jika bukan karena ampunan serta rahmat Allah, apakah yang tersisa bagi dirinya selain kehancuran yang pantas?
Di titik itu, sebuah kesadaran perlahan tumbuh: bahwa Allah adalah Penguasa yang Maha Adil, dan dirinya hanyalah hamba yang miskin dan serba kurang. Ia tak bisa lagi menyandarkan diri pada amal, karena semuanya tampak rapuh di hadapan kebesaran-Nya. Bahkan, nikmat yang ia nikmati setiap hari bukanlah hasil usaha semata, melainkan anugerah yang datang dari kemurahan dan kebaikan-Nya.
Dan ketika takdir menghadirkan cobaan atau hukuman, hatinya tak lagi memprotes. Ia tahu, itu bukan kezaliman, tetapi keadilan dari Allah yang tak pernah salah menakar.
Sebelum sampai pada kesadaran ini, manusia berjalan dengan dada tegak, menyangka dirinya baik-baik saja. Ia merasa cukup dengan apa yang ia lakukan. Namun muhasabah memaksanya untuk jujur. Dan kejujuran itu membukakan tabir: bahwa sesungguhnya, sumber segala kekurangan dan keburukan bukanlah orang lain, bukan dunia, tapi dirinya sendiri.
Mengenali Akar Masalah: Fondasi Muhasabah
Akar dari segala kekurangan dalam diri manusia tumbuh dari dua tanah yang gersang: kebodohan dan kezaliman. Bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena hati yang tidak mengenal arahnya. Manusia, tanpa cahaya rahmat dari Allah, hanyalah pengembara yang tersesat di padang luas tanpa penunjuk jalan. Ia tidak tahu ke mana harus melangkah, dan setiap langkah bisa jadi menjauhkannya dari keselamatan.
Hanya karena kasih sayang Allah, jiwa-jiwa itu dibersihkan. Hanya karena petunjuk-Nya, manusia mengenal arah. Dan hanya karena bimbingan serta pertolongan-Nya, kebaikan sejati menjadi mungkin tercapai.
Muhasabah mengajarkan manusia untuk tidak terlalu percaya pada dirinya sendiri. Sebab sering kali, orang yang mengira dirinya bijaksana justru buta terhadap kesalahannya. Ia memoles kelemahan hingga tampak seperti kelebihan. Ia membungkus keburukan dengan lapisan yang ia sebut kebaikan. Padahal, sejatinya, ia sedang menipu dirinya sendiri.
Tanda bahwa seseorang gagal dalam muhasabah adalah ketika ia mulai merasa puas. Ia melihat amal yang sedikit seolah gunung kebaikan. Ia menutup mata dari kewajiban yang belum terpenuhi. Ia berhenti memperbaiki diri, karena menyangka dirinya telah cukup baik. Padahal, dalam pandangan Allah, hamba yang sejati adalah dia yang senantiasa merasa kurang, dan terus berusaha mendekat dengan hati yang rendah dan jiwa yang jujur.
Bahaya Merasa Bangga dengan Amal Sendiri
Ketika seseorang belum benar-benar mengenali dirinya, ia mudah terjebak dalam bayangan amalnya sendiri. Ia merasa telah berbuat cukup, seolah-olah kebaikan yang ia lakukan adalah mahkota yang layak disematkan di kepalanya. Namun justru di sanalah racun tersembunyi, racun yang perlahan menyusup, menjelma menjadi kesombongan yang tak terlihat.
Dari kesombongan itu tumbuh ujub, dari ujub lahirlah keangkuhan, dan dari keangkuhan tumbuh penyakit-penyakit hati yang lebih mematikan daripada dosa-dosa besar yang kasat mata. Sebab dosa yang disesali masih menyisakan harapan. Tapi kesombongan dalam amal menutup pintu taubat dan membuat hati tak lagi mengenal rendah diri.
Lihatlah orang-orang yang benar-benar beriman, mereka bukanlah yang paling lantang mengaku taat, tetapi yang paling dalam istighfarnya setelah beribadah. Mereka mengetahui betapa rapuhnya amal mereka, betapa tak layaknya persembahan itu bila bukan karena izin dan perintah dari Allah. Mereka mengerti bahwa setiap sujud pun hanyalah terjadi karena Allah mengizinkan mereka untuk sujud. Maka mereka pun merunduk, bukan hanya dalam gerakan, tapi dalam hati yang penuh pengakuan akan kelemahan diri.
Mengapa Harus Beristighfar Setelah Beribadah?
Lihatlah manusia setelah menunaikan ibadah, ia baru saja menumpahkan air mata, merunduk dalam sujud, dan mengangkat tangan dengan penuh harap. Namun seketika itu pula, ia diperintahkan untuk memohon ampun. Mengapa? Bukankah ia baru saja melakukan ketaatan?
Di sinilah letak kebijaksanaan ilahi yang agung. Sebab tak ada amal, seberapa khusyuk pun, yang layak dibanggakan di hadapan Allah. Dan karena itulah, setelah puncak ibadah di Arafah, Allah memerintahkan istighfar:
ثُمَّ أَفِیضُوا۟ مِنۡ حَیۡثُ أَفَاضَ ٱلنَّاسُ وَٱسۡتَغۡفِرُوا۟ الله إِنَّ الله غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang-orang bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 199)
Manusia tidak diminta untuk berbangga, melainkan untuk merendah. Ia diminta melihat bahwa dalam ibadahnya masih ada kekurangan, masih ada cacat yang tak terlihat oleh matanya sendiri. Maka istighfar bukan sekadar pengakuan akan dosa, tapi kesadaran bahwa ibadah yang telah dilakukan belum tentu diterima.
Begitu pula di waktu sahur, saat dunia diam dan langit terbuka, para hamba yang terpilih tidak tidur dalam kebanggaan, tapi duduk dalam istighfar.
وَٱلۡمُسۡتَغۡفِرِینَ بِٱلۡأَسۡحَارِ
“Dan di waktu sahur mereka senantiasa beristighfar.” (QS. Ali ‘Imran: 17)
Mereka tahu, sepanjang malam mereka telah menghadap Rabb mereka, tapi jiwa mereka masih merasa tak pantas. Mereka memperpanjang shalat, bukan karena merasa layak, tetapi karena merasa butuh. Dan mereka menutupnya dengan istighfar, sebagai bentuk kesadaran bahwa segala amal, tanpa rahmat Allah, adalah debu yang beterbangan.
Makna Hakiki dari Penghambaan
Syaikh Abu Yazid pernah berkata:
“Siapa yang benar-benar memahami penghambaan, ia akan melihat amalnya dengan mata penuh kecurigaan, melihat keadaannya dengan rasa takut akan kepalsuan, dan melihat ucapannya sebagai sesuatu yang belum tentu benar.”
Manusia, ketika diselimuti kesadaran sejati, tak lagi memandang tinggi amalnya, sebagaimana petani yang tahu betapa kecil hasil panennya di hadapan luasnya bumi dan langit. Ia sadar, bahwa betapa pun ia berusaha, betapa pun ia menumpahkan keringat dan air mata, nilainya tetap tak sepadan dengan karunia yang ia harapkan dari Allah.
Semakin jauh pandangannya terhadap tujuan yang agung -keridaan Allah dan surga yang kekal- semakin kecil pengorbanan yang ia anggap telah ia berikan. Dan semakin dalam ia menyelami hakikat dirinya, semakin ia melihat betapa rapuh bangunan amalnya, betapa lemah pijakan hatinya.
Bahkan seandainya ia datang membawa amal sebesar langit dan bumi, hatinya tetap bergetar, karena ia tahu bahwa semua itu tak akan berarti apa-apa tanpa kemurahan dari Allah. Ia tahu, hanya karena kasih dan rahmat-Nya amal itu diterima, bukan karena layaknya amal itu untuk dipersembahkan.
Begitulah jalan para hamba sejati: mereka berjalan sambil menangis, bersujud sambil berharap, dan beramal sambil merasa belum layak dicintai.
Jangan Pernah Meremehkan Orang Lain Karena Dosanya
Ada dosa yang terlihat oleh mata manusia, dan ada pula dosa yang bersembunyi di balik senyum dan ibadah yang tampak suci. Namun, siapa yang dapat menimbang kedalaman jiwa, selain Allah yang Maha Mengetahui?
Ketika engkau mencibir saudaramu karena dosa yang ia lakukan, berhentilah sejenak dan tanyakan pada dirimu sendiri: apakah cercaanmu lahir dari kasih atau dari keangkuhan yang halus? Sering kali, ejekan itu bukan berasal dari kepedulian, melainkan dari perasaan bahwa diri ini lebih tinggi darinya.
Padahal, bisa jadi air mata saudaramu yang jatuh dalam keheningan malam, lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada seluruh amalmu yang dibumbui rasa bangga. Bisa jadi, justru karena dosanya, ia mengenal kehinaan dirinya, dan itu membuatnya lebih dekat kepada Allah dibandingkan dirimu yang merasa cukup dan suci.
Ketahuilah, kesombongan yang berselimut kesalehan lebih mematikan daripada dosa yang membuat seseorang menangis dan tunduk di hadapan Rabb-nya. Dan orang yang hatinya merasa suci padahal penuh kebanggaan terhadap amalnya, ia sedang tertidur dalam tipu daya yang lembut namun dalam.
Maka jangan hakimi manusia dari kejatuhannya, karena bisa jadi justru dari sanalah ia bangkit lebih tinggi daripada yang pernah kau bayangkan.
Kesombongan dalam Ketaatan: Bahaya yang Tak Disadari
Ada yang menangis karena dosa, dan ada yang menangis karena merasa dirinya suci. Tetapi tidak semua air mata menuju pengampunan. Sebab yang satu meruntuhkan kesombongan, dan yang lain justru membangunnya.
Jangan terburu-buru menilai siapa yang lebih dekat dengan rahmat Allah: si pendosa yang bersimpuh dalam penyesalan, atau si ahli ibadah yang bangga pada amalnya. Dalam pandangan manusia, yang satu tampak kotor dan hina, sedang yang lain mulia dan bersinar. Tetapi pandangan Allah tidak tersesat oleh cahaya palsu, dan tidak silau oleh keindahan luar.
Jika engkau tidur malam dengan dada yang sesak oleh penyesalan, maka engkau lebih baik dari mereka yang berdiri dalam salat malam, namun hatinya dipenuhi rasa cukup dan bangga. Sebab amal yang dibawa oleh ujub akan gugur sebelum sampai ke langit.
Jika engkau tertawa dalam kesadaran akan dosa, itu lebih jujur daripada engkau menangis dalam kebohongan rasa suci. Sebab kebenaran kadang lebih dekat pada pengakuan jujur, walau terasa memalukan, daripada pada kesalehan yang dibalut kepalsuan.
Rintihan si pendosa yang sadar, lebih indah di hadapan Allah daripada tasbih dari bibir yang menyangka dirinya bersih. Karena bisa jadi, Allah mengirimkan satu dosa agar seseorang menangis, sebab di dalam dirinya ada penyakit yang lebih berbahaya, penyakit yang tak terlihat, yang hanya bisa disembuhkan oleh luka dan air mata penyesalan.
Hafizh Abdul Rohman, Lc
Rujukan: Manzilatul Muhāsabah, dari Kitab Al-Iksīr Khulāshatu A’mālil Qulūb min Madārij As-Sālikīn libnil Qayyim, disusun oleh Tim Peneliti.