Pendapat Para Ulama Tentang Nyanyian dan Musik
Imam ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz raḥimahullāh berkata: “Nyanyian itu berasal dari setan dan akhirnya mengundang murka ar-Raḥmān” (Ghiżā’ al-Albāb). Kesepakatan mengenai keharaman mendengarkan musik dan alat-alat musik telah disampaikan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Imam al-Qurṭubī, Ibn aṣ-Ṣalāḥ, dan Ibn Rajab al-Ḥanbalī. Imam Abū al-‘Abbās al-Qurṭubī berkata, “Nyanyian dilarang oleh Al-Qur’an dan Sunnah.” Ia juga menyatakan:
“Adapun alat musik seperti seruling, kecapi, dan ṭabl (gendang), semua ulama sepakat mengharamkan mendengarnya. Saya belum pernah mendengar dari seorang pun dari kalangan salaf atau imam generasi berikutnya yang membolehkan hal tersebut. Bagaimana mungkin tidak diharamkan, padahal itu adalah lambang orang-orang peminum khamar, fasik, serta penggerak nafsu dan kerusakan? Apa pun yang demikian sudah jelas keharamannya, dan pelakunya dinyatakan fasik dan berdosa.” (Az-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir oleh Ibn Ḥajar al-Hayṡamī).
Ibn aṣ-Ṣalāḥ menegaskan: “Ada ijma‘ (kesepakatan ulama) atas keharamannya. Tidak ada pendapat dari siapa pun yang layak dianggap dalam persoalan ini yang memperbolehkan nyanyian.”
Al-Qāsim bin Muḥammad raḥimahullāh berkata, “Nyanyian adalah kebatilan, dan kebatilan tempatnya di neraka.”
Al-Ḥasan al-Baṣrī raḥimahullāh menyatakan, “Jika dalam walimah terdapat hiburan – maksudnya adalah nyanyian dan hal yang melalaikan – maka jangan memenuhi undangannya.” (Al-Jāmi‘ karya Al-Qayrawānī).
An-Naḥḥās raḥimahullāh menyatakan, “Musik dilarang oleh Al-Qur’an dan Sunnah,” dan at-Ṭabarī menambahkan: “Para ulama di berbagai negeri sepakat membenci nyanyian dan melarangnya.”
Imam al-Awzā‘ī raḥimahullāh juga berkata, “Jangan menghadiri walimah yang di dalamnya ada ṭabl (gendang, drum) dan alat musik.”
Hukum Musik Menurut Mazhab Hanafi
Ibnu al-Qayyim raḥimahullāh menjelaskan pandangan mazhab Imām Abū Ḥanīfah tentang musik, ia berkata, “Para murid Abū Ḥanīfah secara jelas menyatakan haramnya mendengarkan segala jenis alat musik, seperti seruling, rebana, bahkan memukul tongkat sekalipun. Mereka menegaskan bahwa tindakan tersebut termasuk maksiat yang mengakibatkan kefasikan dan menyebabkan kesaksian tidak diterima.
Lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa mendengarkan musik adalah kefasikan dan menikmatinya adalah kekufuran. Meskipun ada hadis yang menyebutkan hal ini, namun tidak sahih sanadnya hingga kepada Nabi. Mereka juga berpendapat bahwa seseorang wajib berusaha agar tidak mendengarnya jika ia melewati tempat tersebut atau mendapati musik di sekitarnya.” (Ighāṡat al-Lahfān).
Diriwayatkan dari Imām Abū Ḥanīfah bahwa ia berkata, “Musik adalah salah satu dosa besar yang harus segera ditinggalkan.” Imām as-Safarīnī dalam kitabnya Ghiżā’ al-Albāb menjelaskan pendapat Abū Ḥanīfah, “Adapun Abū Ḥanīfah, ia menganggap musik sebagai dosa yang harus dihindari. Demikian pula pandangan ulama Kūfah seperti Sufyān, Ḥammād, Ibrāhīm, asy-Sya‘bī, dan lainnya yang semuanya sepakat dalam hal ini. Kami juga tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama Baṣrah tentang pelarangan musik.”
Qāḍī Abū Yūsuf, murid dari Imām Abū Ḥanīfah, ketika ditanya tentang seseorang yang mendengar suara alat musik dari dalam sebuah rumah, menjawab, “Masuklah ke dalam rumah mereka tanpa izin, karena melarang kemungkaran adalah kewajiban.”
Hukum Musik Menurut Mazhab Maliki
Adapun Imām Mālik, ia melarang musik dan mendengarkannya. Ketika ditanya tentang musik dan alat musik, ia menjawab, “Apakah ada orang berakal yang mengatakan bahwa musik itu benar? Yang melakukannya di kalangan kami hanyalah orang-orang fasik.” (Tafsīr al-Qurṭubī). Dalam pandangan Islam, kesaksian seorang fāsiq tidak diterima, dan orang saleh tidak akan menshalatkannya jika ia meninggal. Yang menshalatkannya hanyalah orang-orang biasa dan rakyat awam.
Hukum Musik Menurut Mazhab Syāfi‘ī
Ibn al-Qayyim raḥimahullāh menjelaskan mengenai mazhab Imam asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh: “Para pengikutnya – yaitu para murid Imam asy-Syāfi‘ī – yang memahami mazhabnya dengan baik, dengan tegas melarang dan mengecam siapa pun yang menyatakan kebolehan musik atas nama beliau, seperti yang dilakukan oleh Qāḍī Abū ath-Ṭayyib ath-Ṭabarī, Syekh Abū Isḥāq, dan Ibn aṣ-Ṣabbāgh” (Ighāṡat al-Lahfān).
Ketika Imam asy-Syāfi‘ī raḍiyallāhu ‘anhu ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab, “Musik adalah bid‘ah yang pertama kali diadakan oleh kaum zindiq di Irak untuk melalaikan manusia dari shalat dan dzikir.” (Az-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir).
Hukum Musik Menurut Mazhab Hambali
Ibn al-Qayyim raḥimahullāh mengatakan: “Adapun mengenai mazhab Imam Aḥmad, ‘Abdullāh, putra beliau, berkata, ‘Aku bertanya kepada ayahku mengenai musik, dan beliau menjawab, ‘Musik menumbuhkan kemunafikan dalam hati; aku tidak menyukainya.’ Lalu, beliau mengutip perkataan Mālik, ‘Di tempat kami, hanya orang-orang fasik yang mendengarkan musik.’” (Ighāṡat al-Lahfān).
Beliau raḍiyallāhu ‘anhu pernah ditanya tentang seseorang yang meninggal dan meninggalkan seorang anak dan budak perempuan yang berprofesi sebagai penyanyi. Anak itu butuh menjual budak perempuan tersebut. Imam Aḥmad berkata, “Jual budak tersebut sebagai budak biasa, bukan sebagai penyanyi.” Ketika dijelaskan bahwa harganya bisa mencapai tiga puluh ribu dirham jika dijual sebagai penyanyi, sedangkan jika dijual sebagai budak biasa hanya sekitar dua puluh ribu, beliau tetap berkata, “Hanya boleh dijual sebagai budak biasa.”
Ibn al-Jawzī menambahkan, “Hal ini menunjukkan bahwa musik dilarang, sebab jika tidak, tentu tidak diperbolehkan untuk menyianyiakan nilai jual yang tinggi padahal itu dibutuhkan oleh yatim.” (Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān). Imam Aḥmad raḥimahullāh juga menegaskan keharusan menghancurkan alat musik seperti tanbūr (alat musik petik tradisional yang memiliki bentuk mirip dengan kecapi atau mandolin) dan lainnya jika ia melihatnya dalam keadaan terbuka dan memiliki kesempatan untuk menghancurkannya. (Ighāṡat al-Lahfān).
Syekh al-Islām Ibnu Taimiyyah raḥimahullāh berkata, “Mazhab para imam empat adalah bahwa seluruh alat musik itu haram… Dan tidak ada seorang pun dari para pengikut para imam yang menyebutkan adanya perselisihan dalam hal ini.” (al-Majmū‘).
Beliau juga berkata, “Ketahuilah bahwa pada masa tiga generasi pertama yang diutamakan, di Ḥijāz, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib, Irak, dan Khurasan, tidak ada seorang pun dari kalangan orang-orang yang berpegang pada agama, saleh, zuhud, dan ibadah yang berkumpul untuk mendengarkan sesuatu seperti nyanyian dan tepuk tangan, baik dengan rebana, tepukan tangan, maupun pukulan tongkat. Semua itu baru muncul setelahnya, di akhir abad kedua. Ketika para imam melihat hal tersebut, mereka pun mengingkarinya.”
Dan di tempat lain, beliau mengatakan, “Musik adalah khamr bagi jiwa, yang pengaruhnya terhadap jiwa lebih kuat daripada pengaruh mabuknya cawan-cawan anggur.” (al-Majmū‘).
Al-Albānī raḥimahullāh berkata, “Keempat mazhab sepakat bahwa seluruh alat musik itu haram.” (Silsilah aṣ-Ṣaḥīḥah 1/145).
Imām Ibn al-Qayyim raḥimahullāh menyatakan, “Engkau tidak akan menemukan seorang pun yang benar-benar menggeluti nyanyian dan mendengarkan alat musik kecuali ia menyimpang dari jalan petunjuk, baik dalam ilmu maupun amal. Ia cenderung berpaling dari mendengarkan al-Qur’ān menuju mendengarkan nyanyian.” Tentang musik, beliau juga berkata, “Musik adalah jampi untuk zina, sekutu bagi setan, anggur bagi akal, dan ia menghalangi dari al-Qur’ān lebih dari jenis perkataan batil lainnya karena kecenderungan dan ketertarikan jiwa padanya sangat kuat.”
Beliau juga menuliskan:
حُبُّ الْقُرْآنِ وَحُبُّ أَلْحَانِ الْغِنَا # فِي قَلْبِ عَبْدٍ لَيْسَ يَجْتَمِعَانِ
وَاللهِ مَا سَلِمَ الَّذِي هُوَ دَأْبُهُ # أَبَدًا مِنَ الإِشْرَاكِ بِالرَّحْمَنِ
وَإِذَا تَعَلَّقَ بِالسَّمَاعِ أَصَارَهُ # عَبْدًا لِكُلِّ فُلانَةٍ وَفُلَانِ
Cinta kepada al-Qur’ān dan cinta kepada alunan nyanyian # Tidak akan berkumpul di dalam hati seorang hamba
Demi Allah, tak akan selamat orang yang berfokus padanya, # Dari kemusyrikan terhadap Allah yang Maha Penyayang.
Jika telah terikat oleh nyanyian, ia akan menjadi hamba, #Untuk setiap wanita dan laki-laki yang memikat.”
Penerjemah dan Penyesuai Redaksi:
Hafizh Abdul Rohman, Lc.
Rujukan:
Ibnu Rajab as-Salafī, diakses dari http://saaid.org/Minute/m94.htm pada 02 Jumadal Awwal 1446 H/ 04 November 2024 M.