Hadiah dari Siswa atau Wali Murid untuk Guru
Pertanyaan:
Saya mengajar di sebuah sekolah dasar. Suatu hari, ayah salah satu murid datang dan memberikan saya sebuah tas. Saya menerimanya. Apakah pemberian ini tergolong “hadiah bagi pegawai”? Jika iya, apa yang sebaiknya saya lakukan, dan bagaimana cara menebus kesalahan jika ternyata tidak diperbolehkan? Saya sendiri agak sungkan untuk mengembalikannya, apalagi tas itu sudah saya gunakan cukup lama—hampir dua tahun.
Selain itu, kadang-kadang siswa saya memberi hadiah kecil seperti pulpen atau permen. Apakah pemberian-pemberian semacam itu juga termasuk dalam kategori yang sama?
Jawaban
Segala puji hanya bagi Allah.
Pada dasarnya, guru berinteraksi dengan siswa dalam jangka waktu yang cukup panjang—bisa sampai bertahun-tahun. Hubungan yang terjalin selama itu dapat menumbuhkan persahabatan dan semakin menguatkan persaudaraan, baik antara guru dan murid maupun antara guru dan orang tua murid. Apalagi, ada kalanya guru sudah mengenal mereka sebelumnya.
Karena itu, pemberian hadiah kepada guru di sekolah berada di antara dua prinsip:
- Prinsip disyariatkannya saling memberi hadiah di kalangan umat Islam dan anjuran untuk melakukannya.
- Prinsip larangan menerima hadiah bagi pegawai atau karyawan.
Dari ‘Abdullāh bin Buraidah, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا، فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Barang siapa kami tugaskan dalam suatu pekerjaan, lalu kami telah memberikan upah kepadanya, maka apa saja yang ia ambil setelah itu termasuk ghulul (penggelapan).” HR. Abu Dawud (2943); dinilai sahih oleh Al−Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/230).
Dari Abū Humayd as-Sā‘idī, ia berkata:
“Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah menugaskan seseorang yang bernama Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat Bani Sulaim. Ketika orang itu kembali, beliau melakukan perhitungan dengannya. Orang itu berkata, ‘Ini milik kalian, dan ini hadiah yang diberikan kepadaku.’
Maka Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ، حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا
‘Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayahmu dan ibumu, lalu menunggu hadiahmu datang jika memang engkau benar?’”
Kemudian beliau berkhutbah di hadapan kami, memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu bersabda,
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى العَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ: هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي، أَفَلاَ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ، وَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
“Amma ba‘du, sesungguhnya aku menugaskan salah seorang di antara kalian dalam suatu urusan yang Allah amanahkan kepadaku. Kemudian ia datang sambil berkata, ‘Ini milik kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku.’ Tidakkah ia sebaiknya tetap di rumah ayah dan ibunya, lalu menunggu apakah hadiah itu akan benar-benar datang kepadanya? Demi Allah, siapa saja di antara kalian yang mengambil sesuatu bukan dengan haknya, niscaya pada hari kiamat ia akan datang menghadap Allah dengan membawa barang itu di atas pundaknya. Aku benar-benar mengenali orang yang datang menemui Allah sambil mengangkut unta yang melenguh, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.” (HR.Al−Bukhari (6979) dan Muslim (1832))
Membedakan Hadiah yang Boleh dan Tidak Boleh
Untuk membedakan apakah sebuah hadiah boleh diterima atau tidak, ada dua hal yang perlu diperhatikan secara bersamaan:
- Pertama:
perhatikan niat atau tujuan si pemberi hadiah. Kita tidak bisa serta-merta menyebut sesuatu sebagai “hadiah” dan memastikan itu bukan suap, karena yang penting dalam syariat adalah maksud dan hakikat pemberian tersebut, bukan sekadar namanya.
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menegaskan:
“Yang menjadi patokan dalam ucapan maupun perbuatan adalah makna dan niatnya. Bila susunan atau posisi kalimat berbeda namun artinya sama, maka hukumnya pun sama. Sedangkan jika kalimatnya sama namun artinya berlainan, hukumnya ikut berbeda. Hal ini juga berlaku bagi berbagai amal. Siapa pun yang mengkaji syariat dengan cermat akan menyadari hal tersebut dengan jelas.” (I‘lām al-Muwaqqi‘īn, 4/552)
Atas dasar itu, jika terbukti ada indikasi bahwa seseorang memberi hadiah demi “mendekat” kepada guru agar anaknya mendapat perlakuan istimewa, maka hadiah tersebut tergolong terlarang.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Penjelasannya adalah bahwa hadiah pada dasarnya adalah pemberian untuk memuliakan penerimanya. Namun, Nabi ﷺ tidak sekadar memandang tampilan lahiriah —baik berupa ucapan maupun tindakan— melainkan juga menilai maksud serta niat si pemberi, yang dapat diketahui dari konteks atau situasi yang menyertainya.
Jika seseorang tetap akan menerima hadiah yang sama meskipun ia tak memegang jabatan apa pun, berarti hadiah tersebut memang bukan karena jabatannya. Namun, bila pemberian itu dimaksudkan karena ia sedang memegang suatu jabatan—misalnya agar dia bersikap baik, memberi keringanan, memprioritaskan si pemberi di atas orang lain, dan seterusnya—maka sesungguhnya tujuan dari hadiah itu adalah untuk memanfaatkan wewenangnya atau mendapatkan keuntungan dari kedudukannya.” (Al-Fatāwā al-Kubrā, 6/157)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
“Secara lahiriah, hadiah yang diberikan kepada para hakim dan yang semisalnya tergolong bentuk suap. Sebab, jika pemberi hadiah tidak biasa memberikan hadiah kepada hakim sebelum ia menjabat, maka pemberian itu pasti memiliki tujuan tertentu. Entah untuk mencari dukungan hakim dalam kebatilan, atau untuk mempermudah mendapatkan haknya melalui hadiah tersebut—dan keduanya adalah haram.” (Nail al-Awthar, 15/441)
- Hal Kedua:
Mungkin saja niat pemberi hadiah benar-benar tulus tanpa maksud buruk. Namun, secara umum, hadiah seperti ini sering kali membuat hati penerima condong kepada pemberi dan berujung pada perlakuan istimewa yang tidak adil dibandingkan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, hadiah tersebut tidak boleh diterima, meskipun pada dasarnya hadiah itu diperbolehkan. Sebab, dampak negatif yang mungkin timbul harus dihindari, dan syariat Islam mengajarkan kita untuk mencegah segala bentuk kerusakan sejak awal.
Asy-Syāthibī rahimahullah berkata:
“Dalil-dalil syariat dan telaah mendalam menunjukkan bahwa Dampak atau konsekuensi dari suatu perbuatan diperhitungkan dalam menentukan hukum asal perbuatan…
Demikian pula dalil-dalil yang menekankan pentingnya menutup jalan menuju kerusakan. Banyak hal yang pada awalnya dibolehkan, tetapi jika membawa dampak negatif, maka menjadi terlarang. Hukum asalnya boleh, tetapi akibatnya yang tidak baik menjadikannya dilarang.” (Al-Muwāfaqāt, 5/179–182)
Contohnya, jika seorang siswa memberikan hadiah kepada guru selama masa pembelajaran berlangsung, penerimaannya dapat menimbulkan perlakuan istimewa terhadap siswa tersebut. Dalam kondisi seperti ini, menerima hadiah tidak diperbolehkan. Namun, jika hadiah diberikan setelah pembelajaran selesai, nilai telah diumumkan, dan guru tersebut tidak lagi mengajar siswa yang memberi hadiah, maka tidak ada masalah dalam menerima hadiah tersebut. Hal ini karena tidak ada niat buruk dari pemberi, dan tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan. Dalam situasi ini, hadiah boleh diterima.
Kesimpulannya:
Jika tas yang diberikan kepadamu sebagai hadiah itu diberikan saat proses belajar mengajar masih berlangsung, dan sebelumnya kalian tidak memiliki kebiasaan saling memberi hadiah, maka hadiah tersebut tidak diperbolehkan. Dalam hal ini, kamu perlu bertaubat karena telah menerimanya, dan sebaiknya mengembalikannya kepada pemberinya.
Namun, jika pengembalian tidak memungkinkan, kamu bisa menyalurkannya kepada orang yang membutuhkan, seperti fakir miskin, atau menyedekahkan sejumlah uang yang setara dengan nilai tas tersebut, terutama jika tas itu sudah digunakan atau kondisinya tidak lagi baru.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:
“Setiap hadiah yang diterima oleh seorang pegawai atau pekerja harus dikembalikan kepada pemberinya. Jika pengembalian tidak memungkinkan, maka hadiah tersebut diserahkan ke Baitul Mal.” (Syarh Shahih Muslim, 12/219)
Namun, jika hadiah itu diberikan sebagai bentuk persahabatan atau persaudaraan, tanpa ada maksud untuk meminta perhatian khusus terhadap anak si pemberi—misalnya hadiah diberikan setelah masa pembelajaran selesai, atau si pemberi memang sudah biasa memberikan hadiah sebelum anaknya belajar di bawah bimbinganmu—maka dalam kasus seperti ini, menerima hadiah tersebut diperbolehkan.
Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
Dialihbahbahasakan oleh:
Hafizh Abdul Rohman, Lc
Sumber rujukan : https://islamqa.info/ar/296184