Kewajiban Rakyat Untuk Menghormati Pemimpin Karena Allah

kewajiban rakyat

“Menghormati Pemimpin karena Allah: Kewajiban Rakyat dalam Islam”

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam, yang telah menurunkan Islam sebagai agama yang sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan dan sikap rakyat terhadap pemimpin mereka.

Islam mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu harus disikapi dengan ilmu. Ketika terjadi pergantian pemimpin, baik di tingkat negara maupun di lingkungan yang lebih kecil, umat Islam diajarkan untuk menyikapinya dengan bijak, berdasarkan petunjuk yang telah Allah tetapkan.

Definisi Wali Al-Amr1

Pemimpin negara, dalam syari’at islam biasa disebut Wali Al-Amr, mari kita bahasa terlebih dahulu makna Wali Al-Amr dari segi bahasa dan istilah Syari’at:

Wali Al-Amr Dalam Tinjauan Bahasa:

Dalam bahasa Arab, kata ولي (wali) berarti dekat, penolong, atau sahabat, yang merupakan kebalikan dari musuh. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai wali, yang kalian lemparkan kepada mereka rasa kasih sayang, padahal mereka telah kafir terhadap kebenaran yang datang kepada kalian” (QS. Al-Mumtahanah: 1).

Wali Al-Amr Dalam Istilah Syari’i:

Secara istilah, Wali al-Amr artinya adalah penguasa atau pemimpin yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan dan keputusan bagi rakyatnya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta pemimpin dari kalangan kalian” (QS. An-Nisa: 59)

Islam memberikan ketentuan yang jelas bahwa ketaatan kepada pemimpin (Wali al-Amr) adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, selagi perintah mereka tidak bertentangan dengan syariat.

Sebaliknya, jika pemimpin memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan agama, maka tidak ada kewajiban untuk menaati perintah tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah :

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta” (HR. Ahmad)2

Dengan landasan ini, kita diajarkan untuk tetap menghormati pemimpin, mendoakan kebaikan bagi mereka, dan bersabar atas kekurangan yang mereka miliki.

Pentingnya Ketaatan kepada Pemimpin

Taat kepada pemimpin adalah salah satu prinsip dasar dalam akidah Islam. Hal ini telah dibahas dalam berbagai kitab akidah dan menjadi bagian penting dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Islam menegaskan bahwa umat tidak bisa hidup tanpa adanya pemimpin yang mengatur urusan mereka. Dalam pandangan ini, umat Islam memerlukan pemimpin yang menjalankan tugasnya berdasarkan syariat Allah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa kekuasaan adalah karunia dari Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Tidak ada yang bisa mendapatkan kekuasaan tanpa kehendak Allah, dan tidak ada yang bisa mencabutnya kecuali Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: Wahai Allah, pemilik kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki” (QS. Ali Imran: 26).

Oleh karena itu, menghormati dan menaati pemimpin adalah bagian dari ketaatan kepada Allah yang memberikan kekuasaan tersebut kepada mereka.

Meskipun seorang pemimpin terkadang bersikap tidak adil atau zalim, umat Islam harus tetap menaati mereka selama mereka masih menjalankan muslim dan melindungi syiar-syiar islam, meskipun tdiak sempurna. Sebab, tanpa pemimpin, umat Islam tidak akan bisa menjalankan agama mereka dengan baik, dan akan muncul kekacauan yang dahsyat.

Kewajiban Pemimpin dalam Islam

  1. Menjalankan Amanah dengan Adil

Salah satu kewajiban terbesar seorang pemimpin adalah menunaikan amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, hendaklah kamu memutuskannya dengan adil” (QS. An-Nisa: 58).

Pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk menunaikan amanah yang diberikan kepadanya dengan penuh keadilan. Amanah ini mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk kekuasaan, harta, dan tanggung jawab menjaga rakyat.

Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan para pemimpin yang bertanggung jawab untuk menunaikan amanah dan berlaku adil dalam setiap keputusan3. Keadilan adalah dasar dari pemerintahan yang baik, dan tanpa keadilan, kehidupan rakyat akan dipenuhi dengan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

  1. Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Salah satu hak rakyat atas pemimpinnya adalah menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran di antara mereka. Pemimpin bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hukum-hukum Allah dijalankan di tengah masyarakat. Allah berfirman:

الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka mendirikan shalat, “menunaikan zakat, memerintahkan yang ma’ruf, dan melarang yang munkar” (QS. Al-Hajj: 41).

Ayat ini menunjukkan bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menjaga agama Allah dan memerintahkan kebaikan serta melarang kemungkaran.

Menurut tafsir para ulama, ayat ini menjelaskan bahwa Allah memberikan kekuasaan kepada pemimpin untuk menegakkan agama-Nya dan menjaga ketertiban di tengah masyarakat.

Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu tugas utama pemimpin dalam Islam, dan tugas ini harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab ini mencakup segala aspek kehidupan yang berkaitan dengan kebaikan menurut syariat dan hukum-hukum yang menghindarkan masyarakat dari kemungkaran.

  1. Menegakkan Hukum Allah

Salah satu hak rakyat adalah mendapatkan pemimpin yang menegakkan hukum-hukum Allah. Pemimpin wajib berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan dan meninggalkan segala bentuk hukum yang bertentangan dengan syariat. Allah berfirman kepada Rasulullah :

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka” (QS. Al-Maidah: 49).

Pemimpin harus berhukum dengan adil berdasarkan hukum Allah dan tidak mengikuti hawa nafsu. Imam As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan pentingnya berhukum dengan syariat Allah, karena syariat Allah adalah hukum yang paling adil dan paling sempurna.

Setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin harus berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, karena hanya dengan itu keadilan dapat ditegakkan.

Hak-Hak Pemimpin atas Rakyat

Selain kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemimpin, Islam juga memberikan hak-hak kepada pemimpin yang harus dipenuhi oleh rakyatnya.

Dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hak-hak ini termasuk taat kepada pemimpin, memberikan nasihat, serta tidak memberontak terhadap pemimpin, selama mereka masih berpegang teguh pada ajaran Islam.

  1. Taat kepada Pemimpin dalam Perkara yang Ma’ruf

Salah satu hak terbesar pemimpin atas rakyatnya adalah mendapatkan ketaatan dari rakyatnya dalam hal-hal yang baik. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta pemimpin dari kalangan kalian” (QS. An-Nisa: 59).

Ketaatan kepada pemimpin adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, selama pemimpin tidak memerintahkan kemaksiatan. Rasulullah bersabda:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta” (HR. Ahmad).

Ketaatan kepada pemimpin harus tetap dalam kerangka ketaatan kepada Allah dan tidak boleh melanggar syariat. Selama pemimpin menjalankan perintah yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka rakyat berkewajiban untuk menaati mereka.

  1. Memberikan Nasihat dengan Hikmah

Rakyat berkewajiban untuk memberikan nasihat kepada pemimpin dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Rasulullah bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

Agama adalah nasihat). Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Rasulullah menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan untuk kaum Muslimin secara umum” (HR. Muslim).4

Memberikan nasihat kepada pemimpin adalah salah satu cara untuk membantu pemimpin menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, nasihat harus disampaikan dengan cara yang lembut dan tidak mencemarkan nama baik pemimpin di hadapan umum. Hal ini penting agar nasihat yang disampaikan tidak menimbulkan fitnah di tengah masyarakat.

Islam mengajarkan bahwa nasihat kepada pemimpin harus dilakukan secara pribadi dan tidak diumbar di hadapan umum. Rasulullah bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

Barang siapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia melakukannya secara terang-terangan, tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa tersebut dan berbicara dengannya secara pribadi.” (HR. Ahmad).5

Ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin harus dilakukan dengan cara yang penuh hormat dan tidak menimbulkan fitnah di tengah masyarakat. Nasihat yang disampaikan secara pribadi lebih efektif dan tidak akan merusak kehormatan pemimpin di hadapan rakyatnya.

  1. Tidak Memberontak terhadap Pemimpin

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menekankan pentingnya tidak memberontak kepada pemimpin, meskipun mereka zalim, selama mereka masih menjalankan Islam. Rasulullah bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang ia benci, hendaklah ia bersabar. Sebab, barang siapa yang keluar dari jamaah meskipun hanya sejengkal, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah” (HR. Bukhari dan Muslim).6

Ini menunjukkan bahwa memberontak kepada pemimpin dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar bagi umat. Kesabaran dalam menghadapi kekurangan pemimpin lebih diutamakan daripada memberontak, yang bisa menyebabkan perpecahan dan kekacauan di kalangan umat.7

Kesimpulan

Islam menekankan pentingnya menjaga hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyat. Ketaatan kepada pemimpin, memberikan nasihat dengan cara yang baik, serta bersabar dalam menghadapi kekurangan pemimpin adalah kunci untuk menjaga kestabilan dan persatuan umat.

Di sisi lain, pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk menunaikan amanah yang diberikan kepadanya dengan penuh keadilan, menegakkan hukum Allah, dan memelihara agama dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemimpin dan rakyat adalah inti dari ajaran Islam dalam mengelola kehidupan sosial dan politik. Dengan menjaga prinsip-prinsip ini, umat Islam akan dapat hidup dalam kedamaian, persatuan, dan keberkahan, serta terlindungi dari fitnah dan perpecahan yang dapat merusak umat.

Kewajiban rakyat untuk menaati pemimpin mereka tidak tergantung pada apakah mereka menyukai pemimpin tersebut atau tidak, tetapi karena itu adalah perintah Allah dan bagian dari menjaga tatanan umat.

Adapun kekurangan dan kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin, mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Sebagai rakyat, tugas kita adalah mendoakan, memberikan nasihat, dan bersabar, sembari berusaha menjaga stabilitas dan kesatuan umat.

Penyusun :
Ustadz Hafizh Abdul Rohman, Lc

Footnote :

1 Lihat Majelis Tinggi Urusan Keislaman – Mesir. Mausu’ah Al-Mafahim Al-Islamiyyah Al-‘Ammah. Kairo: Majelis Tinggi Urusan Keislaman. Bab: “Wali Al-Amr”, halaman 581. [versi Maktabah Syamilah].

2 Dari sahabat Imran bin Hushain dan Al-Hakam bin Amr Al-Ghifari, Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 7520, menyatakan shahih.

3 As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, halaman 12; Majmu’ Al-Fatawa, jilid 28, halaman 245-246

4 Shahih Muslim, 1/43, no. 205, dari Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu

5 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, 3/403, no. 15408; dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah fi Takhrij As-Sunnah, 2/273, 275. Para peneliti Musnad menyatakan, 24/29, no. 15332: “Shahih li ghairihi” kecuali bagian “Barang siapa yang ingin menasihati penguasa…” yang dinyatakan “Hasan li ghairihi.”

6 Diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 6249. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (7143) dengan lafadz ini, dan Muslim (1849).

7 Lihat Mahmud bin Ahmad Ad-Dusari. “Huquq Al-Wulat ‘Ala Ar-Ra’iyyah.”. Diakses dari https://www.alukah.net/, diakses pada 23 Oktober 2024.

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama