Menabuh Rebana Bagaimana Hukumnya Menurut Islam

menabuh rebana

Hukum Menabuh Rebana Menurut Islam

Alat Musik yang Dikecualikan (Diperbolehkan oleh Syari’at)

Terdapat pengecualian dalam hal penggunaan duff (rebana tanpa gelang kaki yang berbunyi ketika dipakai) yang diperbolehkan untuk perempuan pada acara pernikahan dan hari raya, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil yang sahih. Syaikh al-Islām raḥimahullāh berkata, “Namun, Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan keringanan untuk jenis hiburan tertentu pada pernikahan dan yang sejenis, sebagaimana beliau memperbolehkan perempuan memainkan duff pada pernikahan dan perayaan.

Adapun laki-laki pada masa beliau, tidak ada satu pun yang memainkan duff atau bertepuk tangan. Bahkan telah ditegaskan dalam hadits sahih bahwa beliau bersabda, ‘Tepuk tangan adalah untuk perempuan, dan tasbih adalah untuk laki-laki.’ Beliau juga melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai perempuan.” (Majmū‘ al-Fatāwā).

Diriwayatkan pula dari ‘Ā’isyah raiyallāhu ‘anhā bahwa ia berkata, “Abū Bakr masuk ke tempatku, sementara di sisiku ada dua budak perempuan kecil dari kaum Anṣār yang sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anṣār pada hari Bu‘āṡ. Kedua budak wanita itu bukan penyanyi profesional. Maka Abū Bakr berkata, ‘Apakah ada seruling setan di rumah Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam?’ Waktu itu adalah Hari Raya Idulfitri. Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam pun bersabda, ‘Wahai Abū Bakr, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.'” (Ṣaḥīḥ Ibn Mājah, no. 1540).

Bantahan Pendapat yang Membolehkan Alat Musik

Ibnu al-Qayyim raimahullāh berkata, “Sungguh mengherankan jika kalian menggunakan hadis yang membolehkan nyanyian dua budak perempuan kecil yang belum baligh di hadapan seorang wanita muda pada hari raya, yang hanya berupa syair-syair Arab tentang keberanian, peperangan, kemuliaan akhlak, dan sifat-sifat luhur, sebagai dasar untuk membenarkan kebolehan mendengarkan musik yang penuh dengan hal-hal yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang suasananya adalah sengaja berkumpul menikmati hiburan bersama. Bagaimana mungkin peristiwa tersebut dianggap setara dengan apa yang kalian lakukan?”

Lebih mengherankan lagi, hadis ini justru menjadi salah satu bukti terkuat yang membantah argumen kalian. Abu Bakar aṣ-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu menyebut nyanyian tersebut sebagai ‘seruling setan,’ dan Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam mengakui sebutan itu. Beliau hanya memberi keringanan bagi dua budak perempuan kecil yang belum mukallaf, yang nyanyian mereka tidak menimbulkan kerusakan apa pun, baik bagi mereka sendiri maupun bagi pendengarnya. Apakah ini bisa dijadikan dasar untuk membolehkan apa yang kalian lakukan sekarang, mendengarkan nyanyian yang jelas-jelas mengandung keburukan? Mahasuci Allah, betapa tersesatnya akal dan pemahaman mereka.” (Madarij as-Sālikīn).

Ibnu al-Jawzī raimahullāh juga menambahkan, “Pada saat itu, Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā masih kecil, dan tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa setelah ia dewasa dan matang dalam keilmuannya, ia menganggap baik nyanyian. Bahkan, keponakannya, al-Qāsim bin Muḥammad, mencela nyanyian dan melarang mendengarkannya, serta ia mengambil ilmunya dari Aisyah.” (Talbīs Iblīs)

Penerjemah dan Penyesuai Redaksi:

Hafizh Abdul Rohman, Lc.

Rujukan:

Ibnu Rajab as-Salafī, diakses dari http://saaid.org/Minute/m94.htm pada 02 Jumadal Awwal 1446 H/ 04 November 2024 M.

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama