Shalat Istikharah Hukum Dan Tatacara Pelaksanaanya

shalat istikharah

Shalat Istikharah

  1. Definisi Istikharah

Secara bahasa, istikharah berarti memohon pilihan terbaik dalam suatu perkara. Kata ini berasal dari bentuk istif‘āl (استفعال), yang menunjukkan makna permintaan. Dalam bahasa Arab, dikatakan: Istairillāha yair laka (استخِرِ اللهَ يَخِرْ لك), yang berarti “Mintalah pilihan kepada Allah, maka Dia akan memilih yang terbaik untukmu.”

Secara istilah syariat, istikharah adalah memohon agar Allah mengarahkan hati kepada pilihan terbaik menurut-Nya dalam suatu urusan melalui salat dan doa yang diajarkan dalam istikharah.

  1. Hukum Salat Istikharah

Salat istikharah adalah sunnah, dan hal ini merupakan kesepakatan dari empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali.

Dalil dari Sunnah

Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh raiya Allāhu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah mengajarkan kami istikharah dalam segala urusan, sebagaimana beliau mengajarkan sebuah surah dari Al-Qur’an. Beliau bersabda:

Jika salah seorang di antara kalian bertekad dalam suatu urusan, hendaklah ia salat dua rakaat selain salat fardu, lalu berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ (ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ) خَيْرًا لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِقَالَ: أَوْ فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِيفَاقْدُرْهُ لِي، وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِيأَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِفَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ.

‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon ketetapan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedangkan aku tidak berkuasa; Engkau Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.

Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (lalu ia menyebutkan urusannya) lebih baik bagiku, dalam urusan dunia dan akhiratku—beliau juga berkata, “Atau dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku— maka takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah ia bagiku, dan berilah aku keberkahan di dalamnya.

Namun, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku, dalam urusan dunia dan akhiratku—beliua juga berkata, ‘atau dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku—maka jauhkanlah ia dariku, dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.'” (HR. Al-Bukhari no. 7390)

  1. Salat Istikharah pada Waktu Terlarang

  1. Hukum Salat Istikharah di Waktu Terlarang

Salat istikharah tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yang terlarang untuk salat, sebagaimana disepakati oleh keempat mazhab fiqih: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‘iyah, dan Hanabilah.

  1. Dalil-dalil yang Melarang Salat Istikharah pada Waktu Terlarang

Dalil dari Hadis Nabi

  1. Dari Ibnu Abbas raiya Allāhu ‘anhumā, ia berkata:

شهِدَ عِندِي رِجالٌ مَرضِيُّونَ، وأَرْضاهُم عِندِي عُمَرُ: أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنِ الصَّلاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تُشْرِقَ الشَّمْسُ، وَبَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ.

“Sejumlah orang yang adil bersaksi kepadaku—dan yang paling aku percayai di antara mereka adalah ‘Umar—bahwa Nabi melarang salat setelah Subuh hingga matahari terbit dan setelah Asar hingga matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 581, Muslim no. 826)

  1. Dari Abdullah bin ‘Umar raiya Allāhu ‘anhumā, Rasulullah bersabda:

لَا تَحَرَّوْا بِصَلَاتِكُمْ طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا.

“Janganlah kalian mencari waktu salat kalian saat matahari sedang terbit dan saat matahari sedang terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 582, Muslim no. 828)

  1. Dari Ibnu ‘Umar raiya Allāhu ‘anhumā, Rasulullah bersabda:

إِذَا طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَأَخِّرُوا الصَّلَاةَ حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَإِذَا غَابَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَأَخِّرُوا الصَّلَاةَ حَتَّى تَغِيبَ.

“Jika matahari mulai terbit, maka tunda salat hingga ia meninggi, dan jika matahari mulai tenggelam, maka tunda salat hingga ia benar-benar tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 583, Muslim no. 829)

  1. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani raiya Allāhu ‘anhu, ia berkata:

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ.

“Ada tiga waktu di mana Rasulullah melarang kami untuk salat dan menguburkan jenazah: ketika matahari terbit hingga meninggi, saat matahari tepat di atas kepala hingga mulai condong, dan saat matahari mulai condong ke barat hingga benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 831)

  1. Penjelasan dari Hadis-Hadis di Atas

  1. Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa larangan salat pada waktu-waktu tersebut bersifat umum, sehingga mencakup pula larangan salat istikharah pada waktu-waktu tersebut. (Kasysyāf al-Qinā‘, 1/453)

  2. Selain itu, alasan utama dalam pelaksanaan salat istikharah adalah permohonan petunjuk dalam suatu urusan, yang mana hal tersebut terjadi setelah salat dilakukan. Karena itu, salat ini tidak termasuk dalam kategori salat yang memiliki sebab mendesak sehingga tidak boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang. (Asnā al-Maālib, 1/124)

  1. Waktu Berdoa dalam Salat Istikharah

Doa dalam salat istikharah dilakukan setelah salam. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab Mālikī, Syāfi‘ī, dan anbalī, serta dinukil adanya ijmak dalam hal ini.

Dalil dari Sunnah:

Diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abdillāh raiya Allāhu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah mengajarkan kami istikharah dalam segala urusan, sebagaimana beliau mengajarkan sebuah surah dari Al-Qur’an. Beliau bersabda:

Jika salah seorang di antara kalian bertekad dalam suatu urusan, hendaklah ia salat dua rakaat selain salat fardu, lalu berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ (ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ) خَيْرًا لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِقَالَ: أَوْ فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِيفَاقْدُرْهُ لِي، وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِيأَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِفَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ.

‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon ketetapan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedangkan aku tidak berkuasa; Engkau Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.

Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (lalu ia menyebutkan urusannya) lebih baik bagiku, dalam urusan dunia dan akhiratku—beliau juga berkata, “Atau dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku— maka takdirkanlah ia untukku, mudahkanlah ia bagiku, dan berilah aku keberkahan di dalamnya.

Namun, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku, dalam urusan dunia dan akhiratku—beliua juga berkata, ‘atau dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku—maka jauhkanlah ia dariku, dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan untukku di mana pun ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.'” (HR. Al-Bukhari no. 7390)

Penjelasan Dalil:

Rasulullah menyebutkan doa setelah kata ثمَّ (kemudian), yang menunjukkan urutan dan keterlambatan setelah perbuatan sebelumnya, yaitu setelah salat. (Liqa’ al-Bāb al-Maftū” karya Ibnu ‘Utsaimīn, pertemuan no. 171)

Berikut adalah terjemahan teks yang Anda minta:

  1. Mengulang Salat Istikharah

Jika seseorang yang melakukan istikharah belum mendapatkan kejelasan mengenai pilihan yang sebaiknya diambil, maka ia diperbolehkan untuk mengulangi istikharah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab anafī, Mālikī, dan Syāfi‘ī.

Dalil-dalil:

  1. Dalil dari Sunnah

Diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd raiya Allāhu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah ketika berdoa, beliau mengulanginya tiga kali. Dan ketika meminta, beliau juga meminta tiga kali.” (HR. Muslim, no. 1794).

Penjelasan Dalil:

Karena doa yang dianjurkan dilakukan dengan salat, maka salat tersebut juga bisa diulang, sebagaimana salat istisqā’ (memohon hujan). (Nayl al-Awā, karya Asy-Syaukānī (3/90)

  1. Dalil dari Atsar (Perkataan Sahabat)

Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah raiya Allāhu ‘anhā, ia berkata:

“Ketika Ka‘bah terbakar pada masa pemerintahan Yazīd bin Mu‘āwiyah akibat serangan pasukan Syam, maka Ibnu Az-Zubair membiarkannya hingga musim haji tiba. Ia ingin meminta pendapat orang-orang agar mereka berani menentang pasukan Syam. Ketika musim haji selesai, ia berkata: ‘Wahai manusia, berikan pendapat kalian tentang Ka‘bah, apakah aku merobohkannya lalu membangunnya kembali, ataukah aku hanya memperbaiki bagian yang rusak?’

Ibnu ‘Abbās berkata: ‘Menurut pendapatku, sebaiknya engkau hanya memperbaiki bagian yang rusak dan membiarkan bangunan yang tetap sebagaimana orang-orang Islam menerimanya sejak dahulu, di atas batu-batu yang sama, dan yang diutus atasnya Nabi .’

Ibnu Az-Zubair berkata: ‘Seandainya rumah salah seorang dari kalian terbakar, tentu ia tidak akan puas hingga membangunnya kembali secara menyeluruh. Lalu bagaimana dengan rumah Rabb kalian? Sungguh, aku akan melakukan istikharah kepada Rabbku sebanyak tiga kali, kemudian aku akan melaksanakan apa yang telah aku tekadkan.’

Maka setelah tiga hari, ia pun bertekad untuk merobohkannya dan membangunnya kembali.” (HR. Muslim, no. 1333).

  1. Analogi (Kias) dengan Salat Istisqā’

Salat istikharah memiliki kemiripan dengan salat istisqā’ dalam hal bahwa keduanya adalah salat yang dilakukan karena suatu hajat dan memiliki keterkaitan erat antara salat dan doa. (Nayl al-Awār, karya Asy-Syaukānī (3/90).

Sumber: Al-Mawsū‘ah Al-Fiqhiyyah, https://dorar.net/feqhia/1270/, diakses pada 05 Februari 2025 M/6 Syaban 1446 H.

Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc

Dalam adab-adab safar shalat istikharah termasuk diantara salah satu adabnya, silahkan baca pembahasannya di sini

Related posts

Tinggalkan Balasan di sini