Pentingnya Mengingat Allah (Zikir)
Zikir atau Mengingat Allah—Jalla wa ‘Ala—adalah amalan yang paling suci, terbaik, dan paling utama di sisi Allah Tabāraka wa Ta‘ālā. Dalam Musnad Imam Aḥmad, Jāmi‘ at-Tirmiżī, Sunan Ibn Mājah, al-Mustadrak karya al-Ḥākim, dan kitab-kitab lainnya, terdapat hadis dari Abū ad-Dardā’ radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوا بَلَى، قَالَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَ
“Maukah aku beritahukan kepada kalian amalan yang terbaik, paling suci di sisi Rabb kalian, paling tinggi derajatnya, lebih baik daripada menginfakkan emas dan perak, serta lebih baik daripada menghadapi musuh lalu kalian menebas leher mereka dan mereka menebas leher kalian?” Mereka menjawab, “Tentu!” Beliau ﷺ bersabda, “Yaitu mengingat Allah Ta‘ālā.”
(Musnad Imam Aḥmad, 21599 & 21601; Sunan at-Tirmiżī, 3377 – lafaz ini miliknya).
Hadis yang agung ini menunjukkan keutamaan zikir, di mana ia setara dengan membebaskan budak, menginfakkan harta, berjihad di jalan Allah dengan berkuda, serta bertempur dengan pedang di jalan Allah Ta‘ālā.
Ibn Rajab raḥimahullāh berkata: “Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan zikir dibandingkan sedekah dengan harta dan amalan lainnya.”
(Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, hadis ke-25, hlm. 66).
Ibn Abī ad-Dunyā meriwayatkan—sebagaimana disebutkan dalam at-Targhīb wa at-Tarhīb karya al-Mundzirī, dan beliau menilai sanadnya sebagai hasan—dari al-A‘masy, dari Sālim bin Abī al-Ja‘d, ia berkata:
“Dikatakan kepada Abū ad-Dardā’: ‘Ada seseorang yang membebaskan seratus budak.’ Maka ia menjawab: ‘Seratus budak dari harta seseorang adalah jumlah yang besar. Namun, yang lebih utama dari itu adalah keimanan yang senantiasa dijaga siang dan malam, serta lisan seseorang yang selalu basah dengan mengingat Allah.’”
Dalam pernyataan ini, Abū ad-Dardā’ radhiyallāhu ‘anhu menjelaskan keutamaan membebaskan budak, yang meskipun memiliki keutamaan besar, tidak dapat disamakan dengan zikir yang dilakukan secara terus-menerus.
Keutamaan zikir dibandingkan amalan lainnya juga diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi‘in, seperti ‘Abdullāh bin Mas‘ūd dan ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh. Sebagian dari perkataan mereka telah dikutip oleh Ibn Rajab raḥimahullāh dalam Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam.
(Al-Albānī dalam Dha‘īf at-Targhīb wa at-Tarhīb menilai riwayat ini sebagai Dha‘īf mauqūf).
Imam Aḥmad dan ath-Thabarānī meriwayatkan dari Sahl bin Mu‘ādz bin Anas al-Juhanī, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, siapakah di antara para mujahid yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab: “Orang yang paling banyak berzikir kepada Allah Ta‘ālā.” Orang itu kembali bertanya: “Siapakah di antara orang-orang yang berpuasa yang paling besar pahalanya?” Beliau menjawab: “Orang yang paling banyak berzikir kepada Allah.” Kemudian ia bertanya lagi tentang shalat, zakat, haji, dan sedekah, dan dalam setiap pertanyaannya, Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam selalu menjawab: “Orang yang paling banyak berzikir kepada Allah.” Maka Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu berkata kepada ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu: “Orang-orang yang banyak berzikir telah mendapatkan semua kebaikan!” Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: “Benar adanya!”
(HR. Aḥmad dalam al-Musnad (15553) dan ath-Tabarānī dalam ad-Du‘ā’ (1887), dengan lafaz dari ath-Thabarānī).
Bulan yang mulia ini adalah bulan zikir dan pujian kepada Allah Rabb semesta alam. Bahkan, ibadah puasa itu sendiri disyariatkan dan dijalankan oleh kaum Muslimin sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa orang yang paling tinggi derajatnya dan paling besar pahalanya dalam setiap ibadah adalah mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya zikir, karena ia merupakan tujuan utama dari semua bentuk ketaatan dan ibadah. Maka, di antara orang-orang yang berpuasa, yang paling besar pahalanya adalah mereka yang paling banyak berzikir kepada Allah Ta‘ālā.
Zikir kepada Allah adalah ibadah yang paling besar dan paling utama dibandingkan segala sesuatu. Allah Ta‘ālā berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an), dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya zikir kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya).” (QS. Al-‘Ankabūt: 45)
Makna dari ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas‘ūd, Ibnu ‘Abbās, Abū ad-Dardā’, Abū Qurrāh, Salmān, dan al-Ḥasan—dan ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh ath-Thabarī—adalah bahwa zikir Allah kepada hamba-Nya dengan memberikan pahala dan pujian lebih besar daripada zikir seorang hamba kepada-Nya dalam ibadah dan shalatnya.
Ada pula yang berpendapat bahwa zikir kepada Allah dalam shalat dan membaca Al-Qur’an lebih utama dari segala sesuatu.
Pendapat lain menyatakan bahwa zikir kepada Allah secara terus-menerus lebih besar pengaruhnya dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar dibandingkan sekadar mendirikan shalat.
Sedangkan menurut Ibnu Zaid dan Qatādah, zikir kepada Allah lebih besar dari segala ibadah lainnya, karena keutamaannya yang sangat agung.
(Lihat Tafsīr al-Qurṭubī, tafsir QS. Al-‘Ankabūt: 45).
Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata:
“Pendapat yang benar mengenai ayat ini adalah bahwa shalat memiliki dua tujuan besar, dan salah satunya lebih agung daripada yang lain. Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, tetapi dalam shalat itu sendiri terkandung zikir kepada Allah Ta‘ālā, dan zikir kepada Allah yang terdapat dalam shalat itu lebih besar dibandingkan sekadar larangannya terhadap perbuatan keji dan mungkar.”
Salmān al-Fārisī radhiyallāhu ‘anhu pernah ditanya:
“Amalan apakah yang paling utama?” Maka ia menjawab: “Bukankah engkau membaca firman Allah: ‘Dan zikir kepada Allah lebih besar’?”
(HR. ath-Thabarī dalam Tafsīr-nya, 20/183).
Ibnu Abī ad-Dunyā juga meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā pernah ditanya: “Amalan apakah yang paling utama?”
Ia menjawab: “Zikir kepada Allah lebih besar.”
(Lihat al-Wābil ash–Shayyib, hlm. 151-152).
Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam kitab-Nya agar memperbanyak zikir kepada-Nya dalam segala keadaan—baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring; di waktu malam dan siang; di darat maupun di lautan; dalam perjalanan maupun saat menetap; dalam keadaan kaya maupun miskin; sehat maupun sakit; dalam kesunyian maupun di hadapan banyak orang—serta dalam setiap kondisi. Allah menjanjikan bagi mereka pahala yang besar, ganjaran yang agung, dan tempat kembali yang indah.
Allah Ta‘ālā berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ ذِكۡرٗا كَثِيرٗا ٤١ وَسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا ٤٢ هُوَ ٱلَّذِي يُصَلِّي عَلَيۡكُمۡ وَمَلَٰٓئِكَتُهُۥ لِيُخۡرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۚ وَكَانَ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَحِيمٗا ٤٣ تَحِيَّتُهُمۡ يَوۡمَ يَلۡقَوۡنَهُۥ سَلَٰمٞۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah Allah dengan zikir yang banyak, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu, dan (begitu pula) para malaikat-Nya, agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka pada hari mereka menemui-Nya adalah ‘Salam Sejahtera’, dan Dia telah menyediakan bagi mereka pahala yang mulia.” (QS. Al-Aḥzāb: 41-44)
Ayat ini berisi anjuran untuk memperbanyak zikir kepada Allah serta penjelasan tentang besarnya pahala dan kebaikan yang akan diperoleh dari amalan tersebut.
Firman-Nya: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu, dan (begitu pula) para malaikat-Nya” menunjukkan motivasi terbesar dalam memperbanyak zikir dan dorongan terbaik untuk mengamalkannya. Maknanya adalah bahwa Allah menyebut dan mengingat kalian, maka seharusnya kalian pun mengingat-Nya.
Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memiliki makna serupa, seperti firman-Nya:
كَمَآ أَرۡسَلۡنَا فِيكُمۡ رَسُولٗا مِّنكُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمۡ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ ١٥١ فَٱذۡكُرُونِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِي وَلَا تَكۡفُرُونِ ١٥٢
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikan kamu, mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepadamu apa yang sebelumnya tidak kamu ketahui. Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingatmu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 151-152)
Ayat ini menunjukkan bahwa balasan suatu perbuatan sebanding dengan amalnya. Barang siapa yang mengingat Allah dalam dirinya, maka Allah akan mengingatnya dalam diri-Nya. Barang siapa yang mengingat Allah di hadapan khalayak, maka Allah akan menyebutnya di hadapan makhluk yang lebih mulia dari mereka. Namun, barang siapa yang melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakannya.
Orang-orang yang banyak mengingat Allah, baik laki-laki maupun perempuan, adalah mereka yang disebut sebagai “al-Mufarridūn“, yaitu orang-orang yang mendahului dalam kebaikan dan meraih derajat yang tinggi di sisi Allah.
Dalam Shaḥīḥ Muslim, dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, disebutkan bahwa:
Rasulullah ﷺ sedang berjalan dalam suatu perjalanan menuju Makkah, lalu beliau melewati sebuah gunung yang disebut Jumadān. Maka beliau bersabda, “Berjalanlah! Ini adalah Jumadān, para mufarridūn telah mendahului.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mufarridūn, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang banyak mengingat Allah, baik laki-laki maupun perempuan.” (Shaḥīḥ Muslim, 2676).
Namun, bagaimana seorang hamba dapat meraih kedudukan ini?
Pertanyaan ini merupakan hal yang sangat penting untuk direnungkan oleh setiap Muslim.
Salah satu penjelasan terbaik dari kalangan ulama salaf tentang makna orang-orang yang banyak mengingat Allah adalah perkataan Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa yang dimaksud adalah:
“Mereka adalah orang-orang yang mengingat Allah setelah shalat, di waktu pagi dan petang, saat berada di tempat tidur, setiap kali mereka terbangun dari tidur, serta setiap kali keluar atau masuk ke rumahnya, mereka selalu mengingat Allah Ta‘ālā.” (Al-Adzkār, an-Nawawī, hlm. 10)
Dalam makna ini, Syaikh ‘Abdur-Raḥmān as-Sa‘dī raḥimahullāh berkata:
“Tingkatan paling rendah dari banyak berdzikir adalah seseorang senantiasa menjaga dzikir pagi dan petang, dzikir setelah shalat lima waktu, serta dzikir saat ada kejadian atau sebab tertentu. Hendaknya ia terus melakukannya di setiap waktu dan dalam segala keadaan, karena dzikir adalah ibadah yang dengannya seorang hamba bisa mendahului orang lain dalam keutamaan, sementara ia tetap dalam keadaan santai. Dzikir juga mengantarkan seseorang untuk mencintai Allah dan mengenal-Nya, serta menjadi penolong dalam melakukan kebaikan dan menahan lisan dari ucapan yang buruk.”
Tafsīr as-Sa‘dī (QS. Al-Aḥzāb: 41, hlm. 667).
Aku memohon kepada Allah ﷻ dengan nama-nama-Nya yang indah agar menjadikan aku dan kalian termasuk dalam golongan orang-orang yang banyak mengingat Allah, baik laki-laki maupun perempuan, yang Allah janjikan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Maha Layak untuk mengabulkan doa.
Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, Maqālāt Ramadhāniyyah, , أًهَمِّيَّةُ ذِكْرِ الله https://www.al-badr.net/muqolat/2511, Diakses pada 18 Sya’ban 1446 H/ 17 Februari 2025)
Dialihbahasakan dengan sedikit penyesuaian oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc