Pandangan Para Sahabat dan Ulama Mengenai Keutamaan Ilmu

Pandangan Para Sahabat dan Ulama Mengenai Keutamaan Ilmu

Nasihat Penting dalam Etika Pendidikan: Untuk Guru dan Murid

Bab Pertama: Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama serta Keutamaan Mengajarkan dan Mempelajarinya #3

Pendahuluan

Artikel ini merupakan bagian ketiga dari Bab Pertama kitab Tadzkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani Asy-Syafi’i. Bagian ini akan mengulas berbagai pandangan para sahabat dan ulama mengenai keutamaan ilmu dan pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Setiap kutipan akan memperlihatkan bagaimana ilmu dipandang sebagai sesuatu yang agung dan berharga di sisi Allah.

Pandangan Para Sahabat dan Ulama tentang Keutamaan Ilmu

Ali radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Cukuplah ilmu sebagai kemuliaan, bahwa ia diakui oleh orang yang tidak menguasainya, dan ia merasa bangga jika dikaitkan dengannya. Dan cukuplah kebodohan sebagai aib, bahwa orang yang bodoh pun ingin melepaskan diri darinya.”

Sebagian salaf berkata:

“Karunia terbaik adalah akal, dan musibah terburuk adalah kebodohan.”

Abu Muslim Al-Khaulani berkata:

“Para ulama di bumi seperti bintang-bintang di langit; jika mereka tampak kepada manusia, mereka akan mendapatkan petunjuk. Namun jika mereka tersembunyi, manusia akan kebingungan.”

Abu Al-Aswad Ad-Du’ali berkata:

“Tidak ada yang lebih mulia daripada ilmu; para raja adalah penguasa atas manusia, namun para ulama adalah penguasa atas para raja.”

Wahb berkata:

“Dari ilmu, muncul kemuliaan meskipun pemiliknya rendah, kehormatan meskipun hina, kedekatan meskipun jauh, kekayaan meskipun miskin, dan kewibawaan meskipun tidak terhormat.”

Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya adalah kebajikan, mencarinya adalah ibadah, membahasnya adalah tasbih, mencari tahu tentangnya adalah jihad, menyebarkannya adalah pendekatan diri kepada Allah, dan mengajarkannya kepada yang tidak mengetahui adalah sedekah.”

Fudhail bin ‘Iyadh berkata:

“Seorang ulama yang mengajar, namanya sering disebut di kerajaan langit.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata:

“Orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah mereka yang berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya, yaitu para nabi dan ulama.”

Beliau juga berkata:

“Tidak ada yang diberikan di dunia ini sesuatu yang lebih baik daripada kenabian, dan setelah kenabian tidak ada yang lebih baik daripada ilmu dan fiqih.”

Ketika ditanya dari mana asal pernyataan ini, beliau menjawab:

“Dari seluruh fuqaha (ahli fiqih).”

Sahl berkata:

“Barangsiapa yang ingin melihat majelis para nabi, maka lihatlah majelis para ulama. Oleh karena itu, kenalilah kemuliaan mereka.”

Imam Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Jika para ahli fiqih yang mengamalkan ilmunya bukanlah wali-wali Allah, maka Allah tidak memiliki wali.”

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

“Majelis ilmu fiqih lebih baik daripada ibadah selama enam puluh tahun.”

Dari Sufyan Ats-Tsauri dan Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhuma:

“Tidak ada yang lebih utama setelah kewajiban-kewajiban kecuali menuntut ilmu.”

Dari Az-Zuhri rahimahullah:

“Tidak ada ibadah kepada Allah yang lebih baik selain dari memahami agama (fiqih).”

Dari Abu Dzar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata:

“Satu bab dari ilmu yang kita pelajari lebih kami sukai daripada seribu rakaat shalat sunnah. Dan satu bab dari ilmu yang kami ajarkan, baik diamalkan ataupun tidak, lebih kami sukai daripada seratus rakaat shalat sunnah.”

Keunggulan Ilmu sebagai Pembenar bagi Amalan Lainnya

Dari apa yang telah disebutkan, jelaslah bahwa menyibukkan diri dengan ilmu karena Allah lebih utama daripada amalan-amalan sunnah yang bersifat fisik, seperti shalat, puasa, tasbih, doa, dan sejenisnya. Sebab, manfaat ilmu mencakup pemiliknya dan orang lain, sementara amalan-amalan sunnah hanya terbatas pada pelakunya saja. Selain itu, ilmu adalah pembenar bagi amalan lainnya, sehingga amalan-amalan tersebut membutuhkan ilmu dan bergantung padanya, sedangkan ilmu tidak bergantung pada amalan lainnya. Para ulama adalah pewaris para nabi ‘alaihim as-salatu wa as-salam, sedangkan hal itu tidak berlaku bagi para ahli ibadah. Ketaatan kepada ulama juga wajib bagi orang lain, sementara amalan lainnya tidak memiliki kewajiban semacam itu. Pengaruh ilmu tetap ada meski pemiliknya telah wafat, sedangkan amalan-amalan sunnah akan terputus dengan kematian pemiliknya. Selain itu, kelangsungan ilmu berarti menghidupkan syariat dan menjaga prinsip-prinsip agama.

Kesimpulan

Ilmu merupakan aset yang paling berharga bagi umat Islam. Ia memiliki kedudukan yang tinggi dan dipandang sebagai sesuatu yang lebih utama daripada amalan-amalan sunnah lainnya. Ilmu memiliki manfaat yang luas, tidak hanya bagi pemiliknya, tetapi juga bagi orang lain. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan mereka memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan menyebarkan ilmu untuk kemaslahatan umat.

Referensi

Kitab Tadzkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim oleh Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani Asy-Syafi’i.

Penyusun

Penerjemah dan Penyesuai Redaksi: Hafizh Abdul Rohman, Lc.

(Dengan penyesuaian redaksi agar lebih mudah dipahami)

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama