Menjadikan Rasulullah sebagai Teladan dan Panutan

Rasulullah sebagai Teladan

Menjadikan Rasulullah sebagai Teladan dan Panutan

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

﴾لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴿

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Azāb: 21)

Ibnu Katsīr raḥimahullāh berkata:

“Ayat yang mulia ini merupakan kaidah besar dalam meneladani Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, 6/322)

Al-Ḥasan al-Bashrī raḥimahullāh berkata:

“Pada masa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, sekelompok orang berkata, ‘Kami mencintai Rabb kami.’ Maka Allah Ta‘ālā menurunkan ayat ini:

﴾قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ﴿

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.'”(QS. Āli ‘Imrān: 31)

(Diriwayatkan oleh ath-Thabarī dalam Tafsirnya, 6/322)

Maka, mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai teladan merupakan bukti kejujuran dalam mencintai Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, mengikuti dan meneladani Nabi ‘alaihish-shalātu was-salām serta berjalan di atas manhajnya yang lurus adalah hakikat dari pensucian jiwa (tazkiyah). Dan tidak mungkin mencapai pensucian tersebut kecuali dengan apa yang dibawa oleh Rasul shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Para pemuka kesesatan di setiap zaman menciptakan berbagai cara yang munkar, yang mereka klaim dapat menyucikan jiwa, membersihkan hati, dan mempererat hubungan dengan Allah, serta berbagai klaim lainnya. Mereka menganjurkan pengasingan diri dari jamaah, menyendiri di tempat-tempat gelap, mengulang-ulang dzikir tertentu, serta lafaz-lafaz yang telah ditentukan, yang mereka anggap dapat meningkatkan, membersihkan, dan mendidik jiwa. Semua ini hanyalah klaim-klaim batil belaka.

Al-‘Allāmah Ibn al-Qayyim raḥimahullāh berkata:

تَزْكِيَةُ النُّفُوسِ أَصْعَبُ مِنْ عِلَاجِ الْأَبْدَانِ وَأَشَدُّ، فَمَنْ زَكَّى نَفْسَهُ بِالرِّيَاضَةِ وَالْمُجَاهَدَةِ وَالخَلْوَةِ الَّتِي لَمْ يَجِئْ بِهَا الرَّسُولُ فَهُوَ كَالْمَرِيضِ الَّذِي يُعَالِجُ نَفْسَهُ بِرَأْيِهِ، وَأَيْنَ يَقَعُ رَأْيُهُ مِنْ مَعْرِفَةِ الطَّبِيبِ؟

“Menyucikan jiwa lebih sulit dan lebih berat dibanding mengobati badan. Barang siapa yang menyucikan jiwanya dengan latihan diri, mujahadah, dan pengasingan diri (khalwah) yang tidak diajarkan oleh Rasul, maka ia ibarat orang sakit yang mengobati dirinya sendiri berdasarkan pemikirannya sendiri. Dan bagaimana mungkin pendapatnya bisa dibandingkan dengan pengetahuan seorang tabib?!”

فَالرُّسُلُ أَطِبَّاءُ القُلُوبِ، فَلَا سَبِيلَ إِلَى تَزْكِيَتِهَا وَصَلَاحِهَا إِلَّا مِنْ طَرِيقِهِمْ، وَعَلَى أَيْدِيهِمْ، وَبِمَحْضِ الِانْقِيَادِ وَالتَّسْلِيمِ لَهُمْ، وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ

Para rasul adalah dokter hati. Tidak ada jalan untuk menyucikan dan memperbaiki hati kecuali melalui jalan mereka, di bawah bimbingan mereka, serta dengan sikap tunduk dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada mereka. Wallāhul-musta‘ān. (Madarij as-Sālikīn, 2/300)

Selain itu, semua amalan yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam akan tertolak dari pelakunya, sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim dalam Shaḥīḥ-nya, no. 1788).

Al-Imām Sufyān bin ‘Uyaynah raḥimahullāh berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الْمِيزَانُ الْأَكْبَرُ، فَعَلَيْهِ تُعْرَضُ الْأَشْيَاءُ: عَلَى خُلُقِهِ، وَسِيرَتِهِ، وَهَدْيِهِ، فَمَا وَافَقَهَا فَهُوَ الْحَقُّ، وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ الْبَاطِل.

“Sesungguhnya Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah timbangan terbesar, maka segala sesuatu harus diukur berdasarkan akhlaknya, perjalanan hidupnya, dan petunjuknya. Apa yang sesuai dengannya maka itu adalah kebenaran, dan apa yang bertentangan dengannya maka itu adalah kebatilan.”

(Diriwayatkan oleh al-Khaṭīb dalam Muqaddimah Kitāb al-Jāmi‘ li Akhlāq ar-Rāwī wa Ādāb as-Sāmi‘, 1/79).

Oleh karena itu, barang siapa yang ingin menyucikan jiwanya, wajib baginya untuk berjuang dalam meniti jalan ittibā‘ (mengikuti sunnah), meneladani Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam, serta berhati-hati dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (muhdatsāt), amalan-amalan yang dibuat-buat (mukhtara‘āt), serta metode-metode bid‘ah yang diklaim oleh para pengusungnya sebagai cara untuk menyucikan jiwa.

Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, ‘Asyru Qawā‘ida fī Tazkiyati an-Nafs, https://www.al-badr.net/ebook/183, Diakses pada 02 Ramadhan 1446 H/ 02 Maret 2025)

Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc

Ini adalah artikel berseri, untuk artikel selanjutnya jika sudah diposting bisa buka di link ini

Related posts

Tinggalkan Balasan di sini