Doa adalah Kunci Penyucian Jiwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَىٰ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah Ta‘ālā daripada doa.”1
Doa adalah salah satu ibadah terbaik di sisi Allah ﷻ. Sebab, di dalamnya terkandung pengakuan akan kelemahan dan ketergantungan hamba kepada-Nya, perendahan diri, kerendahan hati, serta penegasan bahwa hanya Allah ﷻ yang memiliki kekuatan dan kekuasaan mutlak. Dialah yang Mahakaya dan Maha Pemberi, yang memiliki keagungan dan kebesaran, serta yang menghibur hati hamba-hamba-Nya yang bersedih, terlebih lagi para kekasih dan wali-Nya.2
Doa memiliki pengaruh besar dalam membuka pintu-pintu kebaikan. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam dalam nasihatnya kepada Abu al-Qāsim al-Maghribī:
الدُّعَاءُ مِفْتَاحُ كُلِّ خَيْرٍ
“Doa adalah kunci segala kebaikan.”3
Segala kebaikan yang engkau harapkan bagi dirimu, baik dari urusan dunia maupun akhirat, mintalah kepada Allah. Bersandarlah hanya kepada-Nya dalam mengusahakannya dan mencapainya.
Allah ﷻ telah menjanjikan akan mengabulkan doa siapa pun yang memohon dan berlindung kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
﴾وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِيٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ﴿
“Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan untukmu’.” (QS. Ghāfir: 60).
Amīrul Mu’minīn ‘Umar bin al-Khaththāb radhiyallāhu ‘anhu berkata:
إِنِّي لَا أَحْمِلُ هَمَّ ٱلْإِجَابَةِ، وَلَكِنْ هَمَّ ٱلدُّعَاءِ، فَإِذَا أُلْهِمْتُ ٱلدُّعَاءَ فَإِنَّ ٱلْإِجَابَةَ مَعَهُ
“Aku tidak mengkhawatirkan terkabulnya doa, tetapi aku mengkhawatirkan apakah aku berdoa atau tidak. Sebab, jika aku diberi ilham untuk berdoa, maka terkabulnya doa itu menyertainya.”4
Mutharrif bin asy-Syikhkhīr raḥimahullāh berkata:
تَذَكَّرْتُ مَا جِمَاعُ ٱلْخَيْرِ، فَإِذَا ٱلْخَيْرُ كَثِيرٌ: ٱلصَّوْمُ، وَٱلصَّلَاةُ، وَإِذَا هُوَ فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِذَا أَنْتَ لَا تَقْدِرُ عَلَىٰ مَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَنْ تَسْأَلَهُ فَيُعْطِيَكَ، فَإِذَا جِمَاعُ ٱلْخَيْرِ ٱلدُّعَاءُ.
“Aku merenungkan, apa yang menjadi sumber segala kebaikan? Lalu aku mendapati bahwa kebaikan itu banyak: puasa, shalat, dan lain sebagainya. Namun ternyata, semua itu ada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Sementara engkau tidak mampu mendapatkan apa yang ada di tangan Allah kecuali dengan memintanya kepada-Nya, dan Dia akan memberimu. Maka, aku pun menyimpulkan bahwa sumber segala kebaikan adalah doa.”5
Dalam Bāb at-Tazkiyyah (bab tentang penyucian jiwa) diriwayatkan dengan sahih bahwa Nabi ﷺ berdoa:
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia, Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah wali dan pelindungnya.”6
Dalam doa ini terdapat isyarat dan peringatan bahwa penyucian jiwa berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla, Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib. Kunci terbesar dalam penyucian jiwa adalah doa dan ketergantungan penuh kepada Allah Ta‘ālā.
Oleh karena itu, doa yang paling sering diucapkan Nabi ﷺ adalah:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَىٰ دِينِكَ
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”7
Apabila seorang hamba menghadirkan hatinya secara penuh dalam berdoa, merasa sangat membutuhkan dan bergantung kepada Allah, memperkuat harapannya kepada-Nya, tidak tergesa-gesa menginginkan jawaban, serta memilih waktu-waktu yang utama, niscaya doanya hampir tidak akan tertolak.
Hal terbesar yang dapat membantumu dalam berdoa adalah kesadaran bahwa penyucian jiwamu sepenuhnya berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dialah yang menyucikan siapa yang Dia kehendaki, dan segala urusan berada dalam genggaman-Nya serta di bawah kehendak-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:
﴾بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ﴿
“Sebenarnya, Allah yang menyucikan siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisā’: 49)
Dan firman-Nya:
﴾وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ﴿
“Seandainya bukan karena karunia Allah atas kalian dan rahmat-Nya, niscaya tidak seorang pun dari kalian akan pernah dapat menyucikan diri, tetapi Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki. (QS. An-Nūr: 21)
Ibnu ‘Abbās, dalam menafsirkan firman Allah Ta‘ālā: (مَا زَكَىٰ مِنكُم) (tidak ada seorang pun dari kalian yang dapat menyucikan diri), berkata:
“Tidak ada satu pun makhluk yang dapat memperoleh petunjuk menuju kebaikan yang bermanfaat bagi dirinya, dan tidak pula ada yang mampu menghindari keburukan yang dapat membahayakan dirinya.”8 Semua itu semata-mata merupakan karunia dan anugerah dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Al-Barā’ bin ‘Āzib radhiyallāhu ‘anhu berkata:
“Pada hari Perang Ahzāb, Rasulullah ﷺ ikut mengangkut tanah bersama kami. Sungguh, debu telah menutupi perut beliau yang putih, sementara beliau bersabda:
وَاللهِ لَوْلَا اللَّهُ مَا ٱهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا
‘Demi Allah, jika bukan karena Allah, niscaya kita tidak akan mendapat petunjuk, tidak pula dapat bersedekah dan salat’.”9
Maka, petunjuk, keimanan, dan segala bentuk kebaikan sepenuhnya berada di tangan Allah semata.
Rasulullah ﷺ selalu menanamkan keyakinan ini dalam hati para sahabat dan menegaskannya secara berulang-ulang. Beliau ﷺ selalu membuka khutbahnya dengan sabda:
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.”10
Inilah prinsip paling agung dalam penyucian jiwa. Barang siapa yang memahami bahwa kebaikan, kesucian, dan keteguhan jiwanya berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia akan berlindung kepada-Nya, bersungguh-sungguh mengetuk pintu-Nya dengan doa yang penuh harap dan kerinduan, demi memperoleh kesucian jiwa, keselamatan, dan keberuntungan di dunia dan akhirat.
Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, ‘Asyru Qawā‘ida fī Tazkiyati an-Nafs, https://www.al-badr.net/ebook/183, Diakses pada 02 Ramadhan 1446 H/ 02 Maret 2025)
Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc
Footnote:
1 HR. at-Tirmidzi dalam al-Jāmi‘, no. 3370; Ibnu Mājah dalam Sunan-nya, no. 3829; dinilai hasan oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ al-Jāmi‘, no. 5962.
2 Mirqāt al-Mafātīḥ Syarḥ Misykāt al-Mashābīḥ, (4/1572)
3 Majmū‘ al-Fatāwā, (1/66)
4 Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam al-Fatāwā 7/193 dan al-Iqtiḍā’ 2/299, serta oleh Ibnul Qayyim dalam al-Madārij 1/103 dan al-Fawā’id, hlm. 97.
5 Diriwayatkan oleh Imam Aḥmad dalam az-Zuhd, no. 1344.
6 Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shaḥīḥ-nya, no. 2722
7 Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam al-Jāmi‘, no. 3522, dan dinyatakan sahih oleh al-Albānī dalam as-Silsilah ash-Shaḥīḥah, no. 2091
8 Diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr ath-Thabarī dalam Tafsīr-nya, (17/222)
9 Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Shaḥīḥ-nya, no. 4104, dan Muslim dalam Shaḥīḥ-nya, no. 1803.
10 HR. Muslim dalam Shaḥīḥ-nya, no. 868, dari Ibnu ‘Abbās; Abu Dāwūd dalam Sunan-nya, no. 1097; at-Tirmidzī dalam al-Jāmi‘, no. 1105; an-Nasā’ī dalam as-Sunan al-Kubrā, no. 3277; dan Ibnu Mājah dalam Sunan-nya, no. 1894. Semuanya dari hadis ‘Abdullāh bin Mas‘ūd
Ini adalah artikel berseri, untuk artikel selanjutnya jika sudah diposting bisa buka di link ini