Mengingat Kematian dan Pertemuan dengan Allah ‘Azza wa Jalla
Allah Ta’ala berfirman:
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ ﴿
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (Al-Hasyr: 18).
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan,” yaitu kematian.1
Kematian adalah pemisah antara kehidupan dunia yang fana dengan kehidupan akhirat yang kekal. Ia menjadi batas antara waktu untuk beramal dan waktu menerima balasan. Kematian adalah penanda akhir kesempatan untuk mengumpulkan bekal dan saatnya menerima balasan atas perbuatan. Tidak ada lagi kesempatan untuk bertobat dan memohon ampunan atas dosa, begitu pula tidak ada peluang untuk menambah amal kebaikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴾ وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّئَاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ ٱلۡـَٰٔنَ ﴿
“Dan tidaklah diterima tobat dari orang-orang yang melakukan kejahatan, hingga ketika kematian datang kepada salah seorang di antara mereka, ia berkata, ‘Sungguh, sekarang aku bertobat.'” (An-Nisa’: 18).
Kematian pasti akan menjemput setiap manusia tanpa ada yang dapat menghindarinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
﴾ قُلۡ إِنَّ ٱلۡمَوۡتَ ٱلَّذِي تَفِرُّونَ مِنۡهُ فَإِنَّهُۥ مُلَٰقِيكُمۡۖ ﴿
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, maka sesungguhnya ia pasti akan menemui kalian.'” (Al-Jumu’ah: 8).
Allah Ta’ala juga berfirman:
﴾ أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِي بُرُوجٖ مُّشَيَّدَةٖۗ ﴿
“Di mana pun kalian berada, kematian akan mendatangi kalian, meskipun kalian berada dalam benteng yang kokoh.” (An-Nisa’: 78).
Kematian juga datang secara tiba-tiba, tanpa ada seorang pun yang tahu kapan waktunya. Allah berfirman:
﴾ إِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ فَلَا يَسۡتَئْخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ ﴿
“Apabila ajal mereka telah tiba, maka mereka tidak dapat menunda sesaat pun dan tidak pula dapat mempercepatnya.” (Yunus: 49).
Betapa banyak orang yang keluar dari rumahnya mengendarai mobilnya, namun kembali dalam keadaan terbujur kaku di dalam kafan. Berapa banyak orang yang meminta keluarganya menyiapkan makanan untuknya, namun ia meninggal sebelum sempat menyantapnya. Berapa banyak orang yang mengenakan pakaian dan tidak ada yang membuka kancingnya kecuali orang yang memandikannya setelah kematian.
Mengingat kematian memiliki manfaat yang besar. Hati yang lalai akan tersadar, jiwa yang mati akan kembali hidup, seorang hamba akan lebih bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kelalaian dan sikap berpaling dari ketaatan akan berkurang.
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata:
لَوْ فَارَقَ ذِكْرُ الْمَوتِ قَلْبِي خَشِيتُ أَنْ يُفْسِدَ عَلَيَّ قَلْبِي
“Seandainya ingatan akan kematian hilang dari hatiku, sungguh aku khawatir hatiku akan rusak.”2
Seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ia selalu memikirkan keadaannya ketika berdiri di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat setelah kematiannya, serta memikirkan akhir perjalanannya setelah kematian.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah meriwayatkan dari Ibrahim At-Taimi rahimahullah bahwa ia berkata,
“Aku membayangkan diriku berada di dalam surga, aku memakan buah-buahannya, aku meminum dari sungai-sungainya, aku memeluk bidadarinya. Kemudian aku membayangkan diriku berada di dalam neraka, aku memakan buah zaqqumnya, aku meminum nanahnya, aku tersiksa dengan rantai dan belenggunya. Lalu aku berkata kepada diriku, ‘Wahai diriku, apa yang engkau inginkan?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin kembali ke dunia untuk beramal saleh.’ Maka aku berkata, ‘Engkau sekarang dalam masa kesempatan, maka beramallah!”3
Katakan pula kepada jiwamu:
“Wahai jiwa! Jika aku mati, siapa yang akan salat untukku setelah kematian? Siapa yang akan berpuasa untukku? Siapa yang akan bertobat atas dosa dan kelalaianku?”
Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, ‘Asyru Qawā‘ida fī Tazkiyati an-Nafs, https://www.al-badr.net/ebook/183, Diakses pada 02 Ramadhan 1446 H/ 02 Maret 2025)
Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc
Footnote:
1 HR. Ibnu Majah, no. 4258, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (3/145)
2 HR. Ahmad dalam Az-Zuhd, no. 2210.
3 HR. Ibnu Abi Dunya dalam Muhasabah An-Nafs, hlm. 26.
Ini adalah artikel berseri, untuk artikel selanjutnya jika sudah diposting bisa buka di link ini