Mengenal Diri
Di antara hal yang wajib dalam upaya pensucian jiwa adalah mengenali hakikat diri ini, memahami sifat-sifatnya, agar lebih mudah untuk memperhatikannya, merawatnya, dan mengobatinya dari berbagai penyakit yang mungkin menyerangnya.
Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa jiwa memiliki tiga sifat yang terkenal dan sudah diketahui, yang semuanya kembali kepada keadaan jiwa itu sendiri. Sifat-sifat tersebut adalah:
1. Jiwa yang Tenang (an-Nafs al-Muthma’innah)
Yaitu jiwa yang merasa tenteram dengan keimanan, mengingat Allah, beribadah kepada-Nya, serta menerima kebaikan dengan sepenuh hati. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴾ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dan firman-Nya:
﴾ يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٢٧ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ ٢٨ فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي ٢٩ وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي ٣٠ ﴿
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
2. Jiwa yang Mencela (an-Nafs al-Lawwāmah)
Yaitu jiwa yang mencela pemiliknya atas kesalahan yang dilakukannya, kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban, atau keteledorannya dalam ketaatan. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā dalam Surah Al-Qiyāmah:
﴾ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ ﴿
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyāmah: 2)
3. Jiwa yang Mendorong pada Kejahatan (an-Nafs al-Ammārah bis-Sū’)
Yaitu jiwa yang mendorong pemiliknya untuk melakukan perbuatan haram, terjerumus dalam dosa, serta menyeretnya ke dalam berbagai kemungkaran dan kehinaan, hingga mendorongnya untuk melakukan keburukan dan kerusakan. Sebagaimana disebutkan dalam Surah Yūsuf ‘alayhis-salām:
﴾ وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۖ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِالسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ ﴿
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Rabbku.” (QS. Yūsuf: 53)
Maka ketiga sifat jiwa ini pada hakikatnya adalah keadaan-keadaan yang terkait dengan jiwa. Oleh karena itu, keadaan-keadaan ini bisa berubah-ubah dan berganti-ganti sesuai dengan faktor-faktor yang memengaruhi jiwa. Bahkan, sifat-sifat ini bisa berkumpul dalam diri seseorang dalam satu hari, tergantung pada kondisi jiwanya.
Para ulama telah memberikan perumpamaan mengenai jiwa ini untuk menjelaskan keadaannya dalam kehidupan manusia, agar seorang Muslim dapat lebih mudah memahami hakikatnya, sehingga ia dapat berusaha dengan sungguh-sungguh dalam memperbaiki dan menyucikannya.
Aku akan membatasi pembahasan di sini pada dua perumpamaan dari dua imam besar:
- Perumpamaan pertama:
Imam al-Ajurri raḥimahullāh dalam kitabnya Adab an-Nufūs berkata:
“Aku akan memberimu perumpamaan yang jelas—insya Allah—tentang jiwa ini. Bayangkan jiwa seperti seekor anak kuda yang indah dari keturunan kuda pilihan. Saat seseorang melihatnya, ia akan terpukau oleh keelokan dan keanggunannya. Namun, orang-orang yang berpengalaman akan berkata, ‘Anak kuda ini tidak akan berguna kecuali jika dilatih dengan baik dan diajari disiplin yang benar.’
Baru setelah itu, anak kuda ini akan bermanfaat, siap berlari dengan lincah, dan mampu meloloskan diri saat dibutuhkan. Penunggangnya pun akan merasa bersyukur atas usaha dalam mendidik dan melatihnya. Tetapi jika anak kuda ini dibiarkan begitu saja tanpa didikan, maka keelokan dan keanggunannya tak akan membawa manfaat apa pun. Bahkan, ketika dibutuhkan, penunggangnya akan kecewa karena ia tidak bisa diandalkan.
Jika pemilik anak kuda ini mendengar nasihat dari orang-orang bijak yang memahami bagaimana melatihnya, ia akan sadar bahwa perkataan itu benar. Maka ia pun akan menyerahkan anak kudanya kepada seorang pelatih, hingga akhirnya kuda itu terlatih dengan baik dan siap digunakan.”
- Seorang pelatih tidak akan bisa melatih dengan baik kecuali jika ia benar-benar memahami ilmu pelatihan serta memiliki kesabaran dalam menerapkannya. Jika ia memiliki pengetahuan dan memberikan bimbingan dengan baik, maka pemilik anak kuda itu akan mendapatkan manfaat darinya.
- Namun, jika pelatih itu tidak memiliki pemahaman tentang cara melatih, tidak mengetahui tata cara mendidik kuda, maka ia justru akan merusak anak kuda tersebut. Ia hanya akan membuat dirinya sendiri kelelahan tanpa hasil, dan penunggang kuda pun tidak akan mendapatkan manfaat dari usaha yang telah dilakukan.
- Sebaliknya, jika pelatih itu memiliki ilmu tentang cara melatih dan mendidik kuda, tetapi ia tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi kesulitan dalam proses pelatihan, lebih mengutamakan kenyamanan dirinya, malas menjalankan kewajibannya dalam memberikan bimbingan, maka anak kuda itu tidak akan siap untuk berlari dengan baik, juga tidak akan bisa melarikan diri saat dibutuhkan. Ia hanya tampak hebat dari luar, tetapi kosong dari manfaat yang sebenarnya.
- Jika pemilik anak kuda itu sendiri yang mencoba melatihnya, tetapi ia malas dan menunda-nunda pelatihan, maka pada akhirnya ia akan menyesal. Ketika tiba waktunya untuk berlari mengejar sesuatu, ia melihat orang lain telah berhasil meraihnya. Ketika tiba waktunya untuk melarikan diri dari bahaya, ia melihat orang lain berhasil menyelamatkan diri, sementara ia sendiri tertinggal. Ia berusaha mengejar tetapi tidak berhasil, ia mencoba melarikan diri tetapi tidak selamat. Semua itu terjadi karena kelalaiannya sendiri dan kurangnya kesabaran dalam menjalankan pelatihan setelah ia mengetahui ilmunya.
Kemudian ia pun menyesali dirinya sendiri, mencela dan menegurnya, seraya berkata: “Mengapa aku lalai? Mengapa aku meremehkan ini? Kini aku harus menanggung akibat dari kurangnya kesabaranku, dan semua hal yang tidak aku sukai kini menimpaku.” Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.”
Pahamilah—semoga Allah merahmati kalian—hikmah dari perumpamaan ini, renungkanlah maknanya dengan baik, niscaya kalian akan berhasil dan meraih kemenangan.” (Adab an-Nufūs, al-Ājurri, hlm. 261).
Dalam perumpamaan ini, Imam al-Ājurri raḥimahullāh, menggambarkan keadaan jiwa manusia. Ia diibaratkan seperti seekor anak kuda yang membutuhkan pelatihan dan kesabaran dalam menjinakkannya. Jiwa harus dilatih dengan ilmu yang benar mengenai cara memperbaiki dan membersihkannya. Jika seseorang lalai dalam memahami dan melatih jiwanya, maka pada akhirnya ia akan menyesal dengan penyesalan yang mendalam di penghujung perjalanannya.
- Perumpamaan Kedua:
Imam Ibn al-Qayyim berkata:
“Jiwa itu ibarat gunung yang besar dan terjal di sepanjang perjalanan menuju Allah ‘azza wa jalla. Setiap orang yang menempuh perjalanan ini tidak memiliki jalan lain kecuali harus melewati gunung tersebut. Tidak ada pilihan lain, setiap pejalan pasti akan melalui jalan itu. Namun, ada yang merasa mendaki gunung ini begitu berat, sementara yang lain lebih mudah melaluinya. Dan sesungguhnya, perjalanan ini akan terasa ringan bagi siapa saja yang dimudahkan oleh Allah.”
“Di gunung ini terdapat lembah-lembah yang curam, jalur-jalur yang bercabang, tanjakan yang terjal, lubang-lubang yang dalam, serta duri, semak belukar, dan tanaman liar berduri. Tak hanya itu, di sana juga ada para penyamun yang menghadang para pejalan, terutama mereka yang berjalan di kegelapan malam.”
“Maka, jika mereka tidak membawa bekal iman serta pelita keyakinan yang menyala dengan minyak keikhlasan, niscaya mereka akan terhalang oleh rintangan-rintangan itu, terjerat oleh penghalang-penghalang itu, hingga akhirnya mereka tertahan dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.”
“Sesungguhnya, kebanyakan orang yang menempuh perjalanan ini berbalik arah karena mereka tidak mampu menaklukkan jalannya yang terjal dan mendaki tanjakan-tanjakannya yang sulit.”
“Di puncak gunung tersebut, setan berdiri menanti, memperingatkan orang-orang agar tidak mendaki dan mencapai puncaknya. Ia menakut-nakuti mereka dengan kesulitan yang akan dihadapi, sehingga mereka pun merasa gentar. Akibatnya, beban perjalanan yang berat, godaan setan yang terus mengintai, serta lemahnya tekad dan niat para pejalan, menyebabkan mereka berhenti dan kembali ke belakang. Namun, orang yang diberi perlindungan oleh Allah akan tetap teguh dalam perjalanan ini.”
“Semakin tinggi seorang pejalan mendaki gunung tersebut, semakin keras pula teriakan setan yang berusaha menghentikannya, semakin besar peringatannya, dan semakin kuat upayanya untuk menakut-nakuti. Namun, ketika ia berhasil melewati rintangan itu dan mencapai puncaknya, semua ketakutan itu berubah menjadi ketenangan dan keamanan. Saat itulah perjalanan menjadi lebih mudah, hambatan-hambatan di jalan lenyap, dan kesulitan tanjakan tidak lagi terasa. Ia akan melihat jalur yang luas dan aman yang membawanya menuju tempat peristirahatan dan sumber air kehidupan. Di sepanjang jalur itu, terdapat tanda-tanda penunjuk arah dan tempat singgah yang telah disediakan bagi para musafir yang menempuh jalan menuju rahmat Allah.”
“Maka, yang memisahkan seorang hamba dari kebahagiaan dan keberuntungan hanyalah tekad yang kuat, kesabaran sejenak, keberanian jiwa, dan keteguhan hati. Sedangkan karunia ada di tangan Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah adalah pemilik karunia yang agung.” (Madārij as-Sālikīn, 2/10)
“Perumpamaan ini juga menggambarkan keadaan jiwa manusia. Jiwa membutuhkan perhatian, perawatan, dan penyembuhan dari pemiliknya. Jika seseorang tidak bersungguh-sungguh menundukkannya dengan cara yang benar menurut syariat serta bersabar dalam prosesnya, maka jiwanya akan memberontak dan menyeretnya pada kehancuran.”
Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, ‘Asyru Qawā‘ida fī Tazkiyati an-Nafs, https://www.al-badr.net/ebook/183, Diakses pada 02 Ramadhan 1446 H/ 02 Maret 2025)
Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc
Ini adalah artikel berseri, untuk artikel selanjutnya jika sudah diposting bisa buka di link ini