Adab Menyembelih Hewan Sesuai Syari’at Islam

adab menyembelih

MENGENAL HUKUM, ADAB, DAN TEKNIK PENYEMBELIHAN HEWAN SESUAI SYARI’AT ISLAM

A. Makna, Jenis-Jenis Penyembelihan (Tadzkiyah), dan Hukumnya

  1. Definisi Sembelihan (الذَّبَائِحُ):

  1. Secara bahasa, “adz-dzabā`ih (الذَّبَائِحُ)” adalah bentuk jamak dari “dzabīhah (ذَبِيحَةٌ),” yang berarti “hewan yang disembelih.”

  2. Secara syar‘i, sembelihan adalah hewan yang di-tadzkiyah (disembelih) dengan cara yang sesuai syariat.

Tadzkiyah adalah proses menyembelih (ذَبْحٌ) atau me-nahr (نَحْرٌ) (menyembelih di bagian bawah leher) hewan darat yang halal dimakan serta mudah dikuasai, dengan memotong tenggorokan dan kerongkongannya. Jika hewannya liar dan sulit dikuasai, cara tadzkiyah-nya adalah dengan ‘aqr (melukainya), yang berarti melukainya di bagian tubuh lain.

  1. Jenis-Jenis Penyembelihan (Tadzkiyah):

Karena yang dimaksud dengan penyembelihan adalah hewan yang disembelih menurut aturan syariat, maka perlu dijelaskan jenis-jenis tadzkiyah yang membuat daging hewan tersebut halal dimakan.

Tadzkiyah terbagi menjadi tiga jenis, sebagaimana dijelaskan dalam definisi sebelumnya:

  1. Dzab (Penyembelihan dengan Memotong Tenggorokan):

Yaitu memotong tenggorokan hewan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.

  1. Nar (Menyembelih di Bagian Bawah Leher):

Yaitu memotong bagian bawah leher (labba) hewan, yang terletak di bagian bawah lehernya. Cara ini merupakan tadzkiyah yang disunnahkan untuk unta, sesuai firman Allah Ta‘ālā:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan berkurbanlah (wanar).” (QS. Al-Kautsar: 2)

  1. Aqr (Melukai Hewan yang Sulit Ditangkap):

Yaitu membunuh hewan buruan atau ternak yang tidak dapat dikuasai secara normal, dengan cara melukainya pada bagian tubuh mana saja selain tenggorokan dan bagian bawah leher. Hal ini didasarkan pada hadis Rāfi‘ radhiyallāhu ‘anhu, yang menceritakan bahwa seekor unta pernah kabur, kemudian seseorang memanahnya hingga terhenti. Nabi bersabda:

مَا نَدَّ عَلَيْكُمْ فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا

Jika ada hewan yang lepas dari kalian, perlakukanlah ia seperti itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)1

  1. Hukum Tadzkiyah:

Hukum menyembelih (tadzkiyah) hewan yang dapat dikuasai adalah wajib. Hewan tersebut tidak menjadi halal jika tidak ditadzkiyah terlebih dahulu. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ

Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai.” (QS. Al-Mā’idah: 3)

Hewan yang tidak disembelih dengan benar terhitung sebagai bangkai, kecuali ikan, belalang, dan makhluk yang hanya dapat hidup di dalam air. Hewan-hewan tersebut halal dimakan tanpa tadzkiyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan tentang makanan.

  1. Syarat-Syarat Sahnya Penyembelihan

Syarat-syarat ini terbagi ke dalam tiga kelompok:

  1. Syarat yang berkaitan dengan orang yang menyembelih.

  2. Syarat yang berkaitan dengan hewan yang disembelih.

  3. Syarat yang berkaitan dengan alat penyembelihan.

  1. Syarat yang Berkaitan dengan Orang yang Menyembelih

  1. Kecakapan Orang yang Menyembelih:

Ia harus berakal dan dapat membedakan (tamyiz), baik laki-laki maupun perempuan, apakah ia seorang Muslim atau Ahli Kitab.

Firman Allah Ta‘ālā:

إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

Kecuali (hewan) yang kalian sembelih sendiri.” (QS. Al-Mā’idah: 3)

Ayat ini berbicara tentang sembelihan seorang Muslim.

Allah Ta‘ālā juga berfirman:

طَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Makanan orang-orang yang diberi kitab itu halal bagi kalian.” (QS. Al-Mā’idah: 5)

Ayat ini berbicara tentang sembelihan Ahli Kitab.

Ibnu ‘Abbās berkata: “Yang dimaksud dengan makanan mereka adalah sembelihan mereka.”2

Adapun selain Ahli Kitab dari kalangan orang kafir, juga orang gila, orang mabuk, dan anak kecil yang belum dapat membedakan, sembelihannya tidak halal.

  1. Tidak Menyembelih untuk Selain Allah atau atas nama selain-Nya:

Jika ia menyembelih untuk berhala, untuk seorang Muslim, atau untuk seorang Nabi, maka sembelihannya tidak halal, karena Allah Ta‘ālā ketika menyebutkan hal-hal yang diharamkan berfirman:

وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Dan (hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-Mā’idah: 3)

Jika kedua syarat ini terpenuhi pada orang yang menyembelih, maka sembelihannya halal, tanpa membedakan apakah ia laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak yang sudah dapat membedakan, merdeka atau budak.

  1. Syarat yang Berkaitan dengan Hewan yang Disembelih

  1. Memotong Saluran Pernapasan, Kerongkongan, dan Dua Urat Darah Besar (Wadajain)

Yang dimaksud adalah memotong ulqūm (tenggorokan, saluran napas), marī’ (kerongkongan, saluran makanan), dan kedua urat besar yang mengapit tenggorokan. Dengan cara ini, darah akan mengalir deras, sesuai dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Rāfi‘ bin Khadīj raiyallāhu ‘anhu:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ، وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، فَكُلُوهُ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ

Apa saja yang dapat mengalirkan darah (dengan benar) dan disebutkan nama Allah atasnya, maka makanlah, selama bukan (dengan) gigi atau kuku.”( HR. Al-Bukhari no. 5503 dan Muslim no. 1968)

Dalam hadits ini, syarat penyembelihan adalah darah harus mengalir. Memotong bagian-bagian tersebut membantu mempercepat aliran darah dan mempercepat kematian hewan, sehingga dagingnya menjadi lebih baik dan lebih ringan bagi hewan itu sendiri.

Jika seekor hewan terkena sebab-sebab kematian seperti tercekik (al-munkhaniqah), dipukul keras (al-mawqūdzah), terjatuh (al-mutaraddiyah), ditanduk (an-nathīah), atau dimakan binatang buas, juga jika hewan itu sakit, terperangkap dalam jerat, atau berhasil diselamatkan dari kondisi yang mematikan—lalu hewan tersebut masih hidup dengan tanda-tanda kehidupan yang jelas (misalnya masih dapat menggerakkan tangan, kaki, atau kelopak mata)—maka jika ia disembelih dengan benar, dagingnya halal dimakan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

Kecuali (hewan) yang kalian sembelih sendiri,” (QS. Al-Mā’idah: 3)

Artinya, hewan tersebut tidak haram selama masih dapat ditadzkiyah (disembelih) dalam keadaan ia masih hidup secara nyata.

Jika hewan tersebut sulit disembelih pada bagian yang telah ditentukan (tenggorokan dan kerongkongan) karena tidak memungkinkan, seperti hewan buruan, ternak liar, atau hewan yang jatuh ke dalam sumur dan sulit dikeluarkan, maka cara tadzkiyah-nya adalah dengan melukainya di bagian tubuh mana saja. Hal ini telah dijelaskan dalam hadits Rāfi‘ bin Khadīj yang menceritakan kisah seekor unta yang melarikan diri lalu dipanah oleh seseorang hingga berhenti. Rasulullah bersabda, “Jika ada hewan yang lepas dari kalian, perlakukanlah ia seperti ini.” (HR. Al-Bukhari no. 5509 dan Muslim no. 1968)

  1. Menyebut Nama Allah saat Menyembelih

Hewan yang disembelih harus disebutkan nama Allah saat penyembelihan, sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kalian memakan (hewan) yang tidak disebut nama Allah atasnya, sesungguhnya yang demikian itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An‘ām: 121)

Disunnahkan pula mengucapkan takbir bersama tasmiyah (penyebutan nama Allah). Dalam konteks penyembelihan hewan kurban, disebutkan bahwa Nabi ketika menyembelihnya, “beliau menyebut nama Allah dan bertakbir.” (HR. Muslim no. 1966)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau berucap, “Bismillāh, Allāhu Akbar.” (Shahih Muslim no. 1966–18)

  1. Syarat yang Berkaitan dengan Alat Penyembelihan

Alat yang digunakan harus mampu melukai dengan ketajamannya—baik dari besi, tembaga, batu, atau bahan lain yang dapat memotong tenggorokan dan membuat darah mengalir deras—kecuali gigi dan kuku. Berdasarkan hadis Rāfi‘ raiyallāhu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ، وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، فَكُلُوهُ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ

Apa saja yang dapat mengalirkan darah (dengan benar) dan disebutkan nama Allah atasnya, maka makanlah, selama bukan (dengan) gigi atau kuku.”( HR. Al-Bukhari no. 5503 dan Muslim no. 1968)

Segala jenis tulang, baik tulang manusia maupun hewan lain, masuk dalam kategori yang sama dengan gigi dan kuku, yaitu tidak boleh digunakan sebagai alat penyembelihan.

Alasan pelarangan penggunaan gigi dan kuku dijelaskan lebih lanjut dalam lanjutan hadis tersebut. Hadis itu menyatakan,

وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ: أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ، وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

Akan aku beritahukan sebabnya kepada kalian: gigi adalah tulang, dan kuku adalah pisau milik bangsa Habasyah.”

Larangan menyembelih dengan tulang disebabkan oleh najisnya tulang tersebut oleh darah, sementara Nabi melarang kita menajiskannya karena tulang adalah makanan bagi saudara-saudara kita dari bangsa jin.

Adapun penggunaan kuku dilarang agar kita tidak menyerupai orang-orang kafir.3

  1. Adab (Etika) dalam Penyembelihan

Dalam menyembelih hewan, terdapat beberapa adab yang sebaiknya diperhatikan oleh penyembelih, yaitu:

  1. Menajamkan Pisau:

Berdasarkan hadis Syaddād bin Aus radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kalian membunuh (dalam perang), bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya, dan menenangkan hewan sembelihannya.” (HR. Muslim no. 1955)

  1. Membaringkan Hewan pada Sisi Kirinya dan Membiarkan Kaki Kanannya Bergerak Setelah Disembelih:

Hal ini memberi kenyamanan bagi hewan tersebut karena ia dapat bergerak sejenak sesudah disembelih. Dalam hadis Syaddād bin Aus yang telah disebutkan di atas, disebutkan anjuran untuk memperlakukan hewan dengan sebaik-baiknya.

Begitu pula dalam hadis Abul Khayr dari seorang Anshar, bahwa Rasulullah pernah membaringkan hewan kurbannya untuk disembelih. Beliau kemudian bersabda kepada orang tersebut, “Bantulah aku untuk menyembelih hewan kurbanku,” lalu orang itu pun membantunya. (HR. Ahmad 5/373)4

  1. Menyembelih Unta dengan Cara Nar Sambil Berdiri

Pada unta, cara yang disunnahkan adalah menahannya dalam keadaan berdiri dengan kaki kirinya terikat, lalu menusuk bagian laba-nya (rongga di antara pangkal leher dan dada) dengan alat tajam. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ

Maka sebutlah nama Allah ketika (unta itu) berdiri (untuk disembelih).” (QS. Al-ajj: 36)

Ayat tersebut dipahami sebagai “unta didirikan dengan tiga kaki”5. Ibnu ‘Umar raiyallāhu ‘anhumā pernah melihat seseorang yang merebahkan untanya untuk disembelih, lalu ia menegurnya:
“Tegakkan ia dalam keadaan terikat (kaki kirinya), itulah sunnah Muhammad
.” (HR. Al-Bukhari no. 1713, dan Muslim no. 1320.)

  1. Menyembelih Hewan Selain Unta:

Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta‘ālā:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyembelih seekor sapi.” (QS. Al-Baqarah: 67)

Juga berdasarkan hadis Anas radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Nabi menyembelih dua ekor domba yang beliau jadikan kurban.6

  1. Hal-Hal yang Makruh dalam Penyembelihan

  1. Menggunakan Alat yang Tumpul:

Menggunakan alat yang tidak tajam sehingga tidak cepat memotong adalah makruh, karena hal itu menyakiti hewan. Hal ini sesuai dengan hadis Syaddād bin Aus radhiyallāhu ‘anhu yang telah disebutkan sebelumnya,

وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya, dan menenangkan hewan sembelihannya.” (HR. Muslim no. 1955)

Begitu pula hadis dari Ibnu ‘Umar raiyallāhu ‘anhumā yang menyatakan bahwa Rasulullah memerintahkan agar pisau-pisau ditajamkan dan jangan ditunjukkan kepada hewan.7

  1. Mematahkan Leher Hewan atau Mengulitinya sebelum Nyawanya Betul-Betul Habis:

Berdasarkan hadis Syaddād bin Aus raiyallāhu ‘anhu: “Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan baik.”8 Juga perkataan ‘Umar raiyallāhu ‘anhu: “Jangan tergesa-gesa mencabut nyawa (hewan) sebelum ia benar-benar mati.”9

  1. Menajamkan Pisau di Hadapan Hewan yang Akan Disembelih:

Berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar raiyallāhu ‘anhumā yang telah disebutkan di atas, Rasulullah memerintahkan agar pisau ditajamkan dan tidak diperlihatkan kepada hewan (sebelum proses penyembelihan berlangsung).10

  1. Hukum Sembelihan Ahli Kitab

Sembelihan Ahli Kitab—Yahudi dan Nasrani—dihalalkan bagi kaum Muslimin. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Makanan orang-orang yang diberi kitab halal bagi kalian.” (QS. Al-Mā’idah: 5)

Yang dimaksud dengan “makanan mereka” di sini, menurut Ibnu ‘Abbās raiyallāhu ‘anhumā, adalah sembelihan mereka.11

Dengan demikian, sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani halal dimakan menurut kesepakatan kaum Muslimin. Ini karena mereka meyakini keharaman menyembelih hewan untuk selain Allah, serta mengharamkan bangkai, berbeda dengan golongan non-Ahli Kitab, seperti para penyembah berhala, kaum zindik, murtadin, dan Majusi, yang sembelihannya tidak halal. Demikian pula halnya dengan para musyrik yang melakukan syirik besar, semisal para penyembah kubur dan makam.

Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc

Rujukan: Al-Fiqhu Al-Muyassar fī Dhau’ Al-Kitāb wa as-Sunnah, Majma‘ Al-Malik Fahd li Thibā‘at Al-Mushaf Asy-Syarīf, Madinah Al-Munawwarah, 1424 H.

1 Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5509) dan Muslim (no. 1968). Kata “nad (نَدَّ)” artinya: hewan tersebut lari ketakutan, kabur tanpa kendali.

2 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu‘allaq, dan dinyatakan muttashil (tersambung) riwayatnya oleh Al-Bayhaqi. (Lihat: Fath al-Bārī, 9/552–553).

3 Lihat: Fath al-Bārī (9/544).

4 Diriwayatkan oleh Ahmad (5/373). Al-Haitsami berkata, “Para perawinya adalah para perawi kitab shahih” (Majma‘ az-Zawā`id, 4/25). Al-Hāfizh Ibnu Hajar berkata, “Para perawinya tepercaya” (Fath al-Bārī, 10/19).

5 Zād al-Masīr (5/432).

6 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5554 dan Muslim no. 1966.

7 HR. Ahmad 2/108, Ibnu Mājah no. 3172, meskipun hadis ini dilemahkan oleh Al-Albani, namun terdapat riwayat lain yang memperkuatnya.

8 HR. Muslim no. 1955

9 HR. Al-Bayhaqi 9/278, Al-Albani berkomentar sanadnya bisa ditingkatkan hingga hasan, lihat Irwā’ al-Ghalīl 8/176)

10 Lihat catatan kaki nomor 7

11 Riwayat dari Ibnu ‘Abbās ini disebutkan secara mu‘allaq dalam Shahīh Al-Bukhārī dan disambungkan oleh Al-Bayhaqī. Lihat Fath al-Bārī 9/552–553.

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama