Melembutkan Hati kepada Sesama Mukmin: Jalan Nabi dalam Menghadapi Dosa dan Kesalahan
Pendahuluan
Dalam perjalanan iman, tidak semua manusia berjalan dengan langkah yang lurus dan mantap. Ada yang terjatuh dalam dosa, ada yang tersandung oleh kelemahan. Namun, justru di titik-titik inilah kematangan akhlak seorang mukmin diuji. Bukan pada saat menuntut kebenaran dengan suara lantang, tapi ketika diberi pilihan: merendahkan orang yang bersalah, atau mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit.
Islam tidak sekadar membimbing kita dalam perkara ibadah, tetapi juga menuntun dalam membina hubungan dengan sesama. Dan tiada teladan yang lebih agung selain Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam -yang meskipun dihadapkan pada berbagai kesalahan manusia, tetap memancarkan kelembutan, kasih sayang, dan arahan yang bijaksana.
Artikel ini mengetengahkan petunjuk Qur’ani yang dalam, berdasarkan tulisan Syaikh ‘Abdurrazzāq al-Badr ḥafiẓahullāh dalam tautan ini, disertai kutipan lengkap dari penjelasannya yang menawan. Mari kita simak bersama.
Lembutlah terhadap Sesama Mukmin
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 215)
Bersikaplah lembut kepada mereka. Bukan sekadar basa-basi, tapi sungguh-sungguh hadirkan kelembutan dalam sikap, tutur kata, dan cara memperlakukan mereka. Sapa mereka dengan ucapan yang tidak menyakitkan, tunjukkan bahwa kita peduli, bukan ingin menggurui.
Kelembutan adalah Kewajiban, Bukan Pilihan
Tegakkan kasih sayang di atas adab. Bangun hubungan dengan cinta, bukan caci. Sebab, kelembutan itu bukan pilihan, ia adalah kewajiban.
Kalau ingin orang berubah, maka dekati hatinya, bukan serang kepalanya.
Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh paling nyata. Beliau adalah manusia yang paling lembut ucapannya, paling santun budi pekertinya, dan paling dalam kasih sayangnya. Bahkan kepada orang yang bersalah pun, beliau hadir dengan tenang dan bijak.
Teladan Rasul dalam Bersikap kepada yang Bersalah
Allah menegaskan dalam firman-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظّٗا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ
“Maka berkat rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka akan menjauh dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Āli ‘Imrān: 159)
Jadi, kelembutan itu bukan semata-mata sikap pribadi. Ia adalah bagian dari petunjuk Allah. Dan siapa yang mengaku mengikuti Rasulullah, maka ia harus belajar berlaku seperti beliau: lembut, sabar, tapi tetap tegas di atas kebenaran.
Beginilah akhlak Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam -akhlak paling sempurna yang pernah dimiliki manusia. Lewat kelembutan dan keluhuran budi beliau, banyak kebaikan terwujud, dan berbagai kerusakan berhasil dicegah. Maka, mari bertanya dengan jujur: pantaskah seseorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mengaku sebagai pengikutnya, justru menjadi sosok yang kasar, keras, dan menyakitkan bagi sesama muslim?
Tak sedikit yang ketika melihat saudaranya jatuh dalam dosa atau berbuat salah, langsung memutus silaturahmi, menjauh, memusuhi, bahkan menyematkan label buruk tanpa ada upaya menasihati dengan cara yang bijak. Tak ada kelembutan. Tak ada adab. Tak ada kebijaksanaan yang mempersatukan. Padahal Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam -yang paling paham tentang dosa dan petunjuk- tetap bersikap penuh kasih terhadap orang-orang yang berdosa, karena beliau tahu: hati tidak bisa disembuhkan dengan palu.
Menuduh yang Lembut, Membenarkan yang Keras
Lebih parah lagi, ada yang mengejek mereka yang berusaha meneladani akhlak Rasul. Mereka yang lembut, halus, dan penuh rahmat malah dituduh munafik, penjilat, atau pencitraan. Sementara dirinya merasa sudah cukup saleh, merasa tinggi karena amalnya, dan menganggap yang lain di bawahnya. Padahal, bukankah itu semua hanya cermin dari kebodohan? Bukankah itu hasil tipuan setan yang membungkus kesombongan dengan jubah kebaikan?
Yang mengikuti jalan Rasul tidak akan sibuk mencela yang jatuh, tapi akan menunduk, mengulurkan tangan, dan berkata, “Mari bangkit bersama.”
Oleh karena itu, Allah menegaskan kepada Rasul-Nya:
فَإِنْ عَصَوْكَ
“Jika mereka durhaka kepadamu…”
Artinya, jika di antara mereka ada yang berbuat salah atau melanggar perintah, jangan engkau berpaling dan memutus hubungan. Jangan pula engkau mencabut kelembutan dan kasih sayang yang selama ini engkau tunjukkan kepada mereka. Yang harus kau tolak adalah perbuatannya, bukan orangnya.
Nasihatilah mereka. Ingatkan dengan sabar. Tunjukkan arah yang benar, dan upayakan dengan segenap kemampuan agar mereka kembali kepada kebenaran dan bertaubat dari kesalahan itu.
Lembut Bukan Berarti Menyetujui
Inilah pelurusan terhadap anggapan keliru sebagian orang yang memahami firman Allah “Rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang mukmin yang mengikutimu” seakan itu berarti menyetujui apapun yang dilakukan oleh mereka selama masih beriman.
Padahal, maksudnya bukanlah membenarkan semua sikap dan perilaku mereka. Melainkan, tetap bersikap lembut kepada saudaramu seiman, walau mereka tergelincir -dan dalam kelembutan itu, ada ruang untuk nasihat, ada tempat bagi peringatan, dan ada harapan bagi perbaikan. Wallāhu a‘lam.
Penutup
Sikap lembut terhadap sesama mukmin bukanlah bentuk kelemahan, tapi cerminan kekuatan ruhani. Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa perubahan hati tidak bisa dipaksa dengan kekerasan, melainkan diraih dengan kasih dan pengertian. Memaafkan bukan berarti menyetujui kesalahan, dan menasihati bukan berarti merendahkan.
Ketika kita memilih jalan kelembutan, kita sejatinya sedang menapaki jejak Nabi -membangun kembali, bukan menghancurkan. Dan itulah yang dibutuhkan umat hari ini: bukan hanya ilmu, tapi kebijaksanaan dalam menyampaikan; bukan hanya kebenaran, tapi cara menyentuh hati.
Oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc.
Rujukan:
Syaikh ‘Abdurrazzāq bin ‘Abdul Muḥsin al-Badr ḥafiẓahullāh, Bersikap terhadap Kaum Mukminin, Termasuk yang Berdosa di Antara Mereka.