Penutup
Setelah sebelumnya dipaparkan kaidah-kaidah yang membantu seorang hamba dalam menyucikan dan membersihkan jiwanya, kini semakin jelaslah betapa besarnya kebutuhan jiwa untuk senantiasa melakukan muḥāsabah (introspeksi) selama masih berada di dunia, saat kesempatan untuk beramal masih terbuka. Hal ini dilakukan sebelum manusia berdiri di hadapan Allah ﷻ pada hari kiamat, dalam keadaan lalai terhadap perbaikan dirinya sendiri, yang akhirnya menjadi sebab kehancurannya.
Para salafus Shāliḥ senantiasa mengingatkan manusia dan menasihati mereka tentang pentingnya muḥāsabah serta memperbaiki jiwa sebelum kesempatan berlalu dan ajal menjemput. Maka, sebagai penutup risalah ini, akan disampaikan beberapa wasiat yang diriwayatkan dari mereka dalam perkara ini. Di antara mereka adalah al-Khulafā’ ar-Rāsyidūn (empat khalifah yang mendapat petunjuk):
- Khalīfah ar-Rāsyid Abū Bakr ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berkata:
“Wahai hamba-hamba Allah, sadarlah! Kalian tengah menapaki perjalanan hidup dengan ajal yang telah ditetapkan, sementara waktu kedatangannya tetap menjadi rahasia yang tersembunyi dari kalian. Maka, jika kalian mampu menutup lembaran hidup ini dalam keadaan taat kepada Allah, jangan ragu, lakukanlah! Namun, ketahuilah bahwa kalian tidak akan mampu mencapainya tanpa pertolongan dari-Nya. Oleh karena itu, manfaatkanlah sisa waktu kalian sebaik-baiknya sebelum ajal menjemput, agar kalian tidak terjatuh ke dalam perbuatan yang paling buruk di penghujung usia.”
“Sesungguhnya, ada orang-orang yang menghabiskan waktunya hanya untuk kepentingan orang lain, sementara mereka lupa memperbaiki diri sendiri. Aku memperingatkan kalian, jangan menjadi seperti mereka! Maka, segeralah![1] Bergegaslah! Bergegaslah! Sebab di belakang kalian ada sesuatu yang terus mengejar tanpa henti, lajunya begitu cepat -itulah kematian-.”[2]
- Khalifah Kedua, ‘Umar bin al-Khaththāb radhiyallāhu ‘anhu berkata:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ، يَوْمَ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah amal kalian sebelum amal itu ditimbang, dan bersiaplah untuk menghadapi perhitungan terbesar, pada hari ketika kalian akan dihadapkan (kepada Allah), dan tiada satu pun yang tersembunyi dari-Nya.”[3].
- Khalifah Ketiga, ‘Utsmān bin ‘Affān radhiyallāhu ‘anhu berkata:
ٱعْلَمْ أَنَّ مَلَكَ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكَ لَمْ يَزَلْ يُخْلِفُكَ وَيَتَخَطَّىٰ إِلَىٰ غَيْرِكَ مُذْ أَنْتَ فِي الدُّنْيَا، وَكَأَنَّهُ قَدْ تَخَطَّىٰ غَيْرَكَ إِلَيْكَ وَقَصَدَكَ، فَخُذْ حِذْرَكَ، وَٱسْتَعِدَّ لَهُ، وَلَا تَغْفَلْ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفُلُ عَنكَ
“Wahai anak Adam, ketahuilah bahwa malaikat maut yang ditugaskan untuk mencabut nyawamu terus berlalu melewatimu dan mendahulukan orang lain sebelum sampai giliranmu sejak engkau berada di dunia. Namun kini, seolah-olah ia telah melewati mereka dan tengah menuju kepadamu, maka bersiaplah! Waspadalah dan jangan sampai lalai, karena ia tidak pernah lalai darimu.”
وَٱعْلَمْ يَا ٱبْنَ آدَمَ إِنْ غَفَلْتَ عَنْ نَفْسِكَ وَلَمْ تَسْتَعِدَّ لَهَا، لَمْ يَسْتَعِدَّ لَهَا غَيْرُكَ، وَلَا بُدَّ مِنْ لِقَاءِ اللَّهِ ﷻ، فَخُذْ لِنَفْسِكَ وَلَا تَتَّكِلْهَا إِلَىٰ غَيْرِكَ
“Wahai anak Adam, ketahuilah, jika engkau lalai dari dirimu sendiri dan tidak mempersiapkannya (untuk akhirat), tidak akan ada orang lain yang bisa mempersiapkannya untukmu. Pasti akan datang pertemuan dengan Allah ﷻ, maka persiapkanlah dirimu, dan jangan hanya bergantung pada orang lain.”[4]
- Khalifah Keempat, ‘Alī bin Abī Thālib radhiyallāhu ‘anhu berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي أَخَافُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ طُولَ الأَمَلِ، وَٱتِّبَاعَ الهَوَىٰ؛ فَأَمَّا طُولُ الأَمَلِ فَيُنسِي الآخِرَةَ، وَأَمَّا ٱتِّبَاعُ الهَوَىٰ فَيَصُدُّ عَنِ الحَقِّ
“Wahai manusia, hal yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah panjangnya angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Sebab, panjang angan-angan akan melupakan akhirat, sementara mengikuti hawa nafsu akan menghalangi seseorang dari kebenaran.”
أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا قَدْ وَلَّتْ مُدْبِرَةً، وَالآخِرَةُ مُقْبِلَةٌ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلَا تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ ٱلْيَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ
“Ketahuilah bahwa dunia telah berlalu meninggalkan kita, sedangkan akhirat semakin mendekat. Masing-masing memiliki pengikutnya; maka jadilah kalian bagian dari pengikut akhirat, dan janganlah menjadi pengikut dunia. Karena hari ini adalah waktu untuk beramal tanpa hisab, sedangkan esok (di akhirat) adalah waktu perhitungan tanpa ada kesempatan beramal lagi.”[5]
- Al-Ḥasan al-Bashrī raḥimahullāh berkata:
الْمُؤْمِنُ قَوَّامٌ عَلَىٰ نَفْسِهِ، يُحَاسِبُ نَفْسَهُ، وَإِنَّمَا خَفَّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَىٰ قَوْمٍ حَاسَبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا شَقَّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَىٰ قَوْمٍ أَخَذُوا هَذَا الأَمْرَ مِنْ غَيْرِ مُحَاسَبَةٍ
“Seorang mukmin selalu menegakkan muḥāsabah (introspeksi) terhadap dirinya sendiri. Sesungguhnya, hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan bagi orang-orang yang senantiasa melakukan muḥāsabah terhadap dirinya di dunia. Sebaliknya, perhitungan di hari kiamat akan terasa berat bagi mereka yang tidak pernah mengoreksi dirinya.”[6]
- Maimūn bin Mihrān raḥimahullāh berkata:
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّىٰ يَكُونَ لِنَفْسِهِ أَشَدَّ مُحَاسَبَةً مِنَ الشَّرِيكِ لِشَرِيكِهِ
“Seorang hamba tidak akan menjadi bertakwa hingga ia lebih ketat dalam melakukan muḥāsabah terhadap dirinya sendiri, sebagaimana seorang mitra usaha yang sangat teliti dalam mengawasi rekannya.”[7]
Maka dari itu, dikatakan bahwa jiwa itu seperti mitra dagang yang tidak jujur; jika engkau tidak mengawasinya, ia akan menguras hartamu[8]
Pentingnya muḥāsabah ini semakin ditekankan di zaman sekarang, di mana berbagai fitnah dan hal-hal yang melalaikan dari kebaikan semakin banyak, serta keburukan yang menggoda jiwa semakin besar dan dihiasi agar tampak indah di mata manusia.
- Imam ‘Abdullāh bin al-Mubārak raḥimahullāh -salah seorang ulama besar dari kalangan tabi‘īn- berkata mengenai zamannya:
إِنَّ الصَّالِحِينَ فِيمَا مَضَىٰ كَانَتْ أَنْفُسُهُمْ تُوَاطِئُهُمْ عَلَىٰ الخَيْرِ عَفْوًا، وَإِنَّ أَنْفُسَنَا لَا تَكَادُ تُوَاطِئُهُمْ إِلَّا عَلَىٰ كُرْهٍ، فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نُكْرِهَهَا
“Dahulu, orang-orang shalih menjalankan kebaikan dengan mudah, seolah-olah jiwa mereka secara alami sejalan dengan kebaikan. Namun, jiwa kita saat ini hampir tidak pernah condong kepada kebaikan kecuali dengan paksaan. Oleh karena itu, kita harus memaksanya untuk melakukan kebaikan.”[9] Lalu bagaimana dengan zaman kiota saat ini?
Kami memohon kepada Allah Ta‘ālā dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, agar Dia memperbaiki agama kita yang merupakan pegangan utama dalam segala urusan, memperbaiki dunia kita yang menjadi tempat kehidupan kita, memperbaiki akhirat kita yang menjadi tempat kembali kita, serta menjadikan kehidupan ini sebagai tambahan bagi kita dalam setiap kebaikan, dan menjadikan kematian sebagai istirahat dari segala keburukan.
“Ya Allah, anugerahkanlah ketakwaan kepada jiwa kami, sucikanlah ia, karena Engkaulah sebaik-baik Dzat yang menyucikannya. Engkaulah Pemilik dan Pelindungnya.”
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muḥammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, ‘Asyru Qawā‘ida fī Tazkiyati an-Nafs, https://www.al-badr.net/ebook/183, Diakses pada 02 Ramadhan 1446 H/ 02 Maret 2025)
Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc
Footnote:
[1] Ungkapan فَالوَحَا الوَحَا berarti ‘bergegaslah, lakukan segera!’ Ini adalah bentuk seruan untuk mempercepat suatu perkara. Lihat: an-Nihāyah karya Ibnu al-Atsīr (5/163).
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 35572.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 35600.
[4] Diriwayatkan oleh Abū Bakr ad-Dīnūrī dalam al-Majālis wa al-Jawāhir, no. 207.
[5] Diriwayatkan oleh al-Baihaqī dalam Syu‘ab al-Īmān (7/369)
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubārak dalam az-Zuhd, no. 307.
[7] Diriwayatkan oleh Wakī‘ dalam az-Zuhd, no. 339.
[8] Lihat: Ighātsat al-Lahfān karya Ibnul Qayyim (1/133).
[9] Diriwayatkan oleh Ibnu al-Jawzī dalam Dzam al-Hawā, hlm. 47.