Tahun Baru Masehi: Bolehkah Seorang Muslim Merayakannya?
Segala puji hanya milik Allah, yang telah menyempurnakan agama ini untuk hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, pemimpin para nabi, yang membawa cahaya Islam kepada seluruh umat manusia. Amma ba‘du:
Malam Tahun Baru Masehi mengetuk pintu hati banyak Muslim, membisikkan ilusi kebahagiaan yang kosong. Mereka berlarian mengejar bayang-bayang perayaan yang bukan milik mereka, mengabaikan dua hari raya yang Allah berikan sebagai rahmat, Idulfitri dan Iduladha. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah bahwa cahaya sejati tidak datang dari gemerlap kembang api, tetapi dari kepatuhan pada Rabb yang menciptakan langit dan bumi. La haula wa la quwwata illa billah.
Banyak Muslim yang tanpa sadar menyerahkan dirinya pada tradisi asing, merayakan malam Tahun Baru Masehi seolah itu adalah bagian dari kehidupan mereka.
Mereka menghiasnya dengan kegembiraan yang sering kali melampaui keagungan dua hari raya Islam, Idulfitri dan Iduladha. Tetapi, di mana makna sebenarnya dari kebahagiaan ini? Tidakkah kita seharusnya bertanya, apakah kita masih berada di jalur yang benar, atau telah kehilangan arah?
Apa Salahnya Merayakan Tahun Baru?
Sebagian orang berkata, ‘Apa salahnya merayakan Tahun Baru? Bukankah itu sekadar perayaan, bukan hari raya (al-‘id)?’
Yang lain berpendapat, ‘Hari raya adalah kebiasaan, dan kebiasaan pada dasarnya mubah.’
Ada pula yang mencoba berdalih, ‘Meski awalnya berasal dari tradisi Nasrani, perayaan ini kini telah menjadi milik semua orang.’ Pernyataan ini menggambarkan dilema zaman kita (ketika batas-batas keyakinan menjadi kabur dan alasan-alasan duniawi meruntuhkan fondasi iman).
Makna Hari Raya (Al-‘Id):
Ibnu A‘rabi menyatakan bahwa hari raya dinamakan ‘id karena ia kembali setiap tahun dengan membawa kebahagiaan yang diperbarui.
(Lisān al-‘Arab oleh Ibnu Manzhur (3/319), bab ‘Ain yang tidak bertitik)
Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Hari raya adalah istilah untuk sesuatu yang kembali berupa perkumpulan umum yang dilakukan secara rutin, baik setiap tahun, minggu, bulan, atau sejenisnya.” (Iqtidhā’ ash-Shirāth al-Mustaqīm li Mukhalafah Ashhāb al-Jahīm oleh Ibnu Taimiyyah (1/496).)
Alasan Penamaan Hari Raya (Al-‘Id):
Abu al-Fadhl Ibn ‘Iyadh berkata:
“Hari raya disebut ‘id karena ia datang kembali dan berulang pada waktu-waktu tertentu. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dinamakan demikian karena membawa kebahagiaan kembali kepada manusia. Kedua makna ini saling berkaitan, dan ada pula yang mengatakan bahwa penamaannya sebagai tanda harapan agar ia kembali lagi kepada manusia di masa mendatang.”
(Masyāriq al-Anwār ‘alā Shihāh al-Ātsār (2/105).
Ali al-Qari menambahkan:
“Hari raya disebut ‘id karena ia kembali setiap tahun. Kata ini berasal dari ‘aud yang huruf waw-nya berubah menjadi ya karena disukunkan dan didahului oleh huruf yang berbaris Kasrah. Dalam kitab al-Azhār, disebutkan bahwa setiap pertemuan yang membawa kebahagiaan disebut ‘id oleh bangsa Arab, karena kebahagiaan itu datang kembali seiring datangnya hari raya.
(Mirqāt al-Mafātīh Syarh Misykāt al-Mashābīh (3/1060))
Tahun Baru adalah Hari Raya (al-‘id): Hakikatnya Tidak Bisa Disembunyikan
Sebagian orang beranggapan bahwa perayaan Tahun Baru hanyalah sebuah perayaan biasa setiap tahun untuk menandai akhir tahun Masehi, dan itu dianggap sebagai hal yang mubah (seperti perayaan pernikahan, kelulusan, keberhasilan, atau kedatangan orang yang lama absen). Namun, anggapan ini tidak bisa diterima. Ada perbedaan antara perayaan untuk suatu peristiwa insidental dengan perayaan yang diulang setiap tahun untuk peristiwa yang sama.
Perayaan yang terus diulang setiap tahun masuk dalam kategori hari raya (‘id). Sebab, perayaan yang dilakukan berulang setiap tahun dengan kebahagiaan yang diperbarui jelas memenuhi syarat untuk disebut hari raya. Jika demikian, bagaimana mungkin perayaan Tahun Baru tidak disebut sebagai hari raya?
Hari Raya Islam Hanya Dua
Kaum Muslimin hanya memiliki dua hari raya, tidak ada yang ketiga, yaitu: Idulfitri dan Iduladha. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik yang berkata:
“Dahulu, orang-orang jahiliah memiliki dua hari setiap tahun yang mereka gunakan untuk bersenang-senang. Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau bersabda:
إِنَّ لَكُمْ يَوْمَيْنِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا، قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
‘Kalian dahulu memiliki dua hari untuk bersenang-senang. Kini Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik: Idulfitri dan Iduladha.’”
(Hadits ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha‘if Sunan an-Nasa’i, no. 1556)
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah telah menggantikan hari-hari raya jahiliah dengan dua hari raya Islam, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Maka, bagaimana mungkin kita mencampuradukkan antara hari raya Islam dengan hari raya jahiliah?
Konsep “penggantian” (tabdīl) dalam hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang telah digantikan harus ditinggalkan. Karena itu, tidak mungkin menggabungkan antara yang digantikan dengan penggantinya. Dalam bahasa Arab, istilah ini tidak pernah digunakan kecuali untuk menunjukkan bahwa keduanya tidak boleh ada bersamaan.
(Iqtidhā’ ash-Shirāth al-Mustaqīm li Mukhalafah Ashhāb al-Jahīm (1/487).
Sabda Nabi ﷺ kepada mereka:
“Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya”
Ketika beliau bertanya tentang kedua hari itu, mereka menjawab bahwa hari-hari tersebut adalah hari-hari yang biasa mereka gunakan untuk bermain-main pada masa jahiliah. Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ melarang mereka merayakan kedua hari itu dengan menggantinya dengan dua hari raya Islam. Jika tidak dimaksudkan untuk melarang, maka penyebutan penggantian ini tidak memiliki relevansi.
Hadits ini menjelaskan bahwa kewajiban bagi kaum Muslimin adalah mencukupkan diri dengan hari raya yang telah Allah syariatkan bagi mereka dan meninggalkan perayaan hari raya bangsa lain.
Jika larangan terhadap kebiasaan bersenang-senang pada hari-hari tertentu yang telah ada sebelumnya diterapkan, maka lebih utama lagi untuk melarang penciptaan hari raya baru yang sebelumnya tidak ada.
Sabda Nabi ﷺ:
“Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya”
menegaskan bahwa Allah-lah yang menetapkan aturan mengenai hari raya, termasuk penggantiannya, penetapannya, serta pengharaman dan penghalalannya. Urusan hari raya bukanlah sesuatu yang diserahkan kepada manusia untuk dirayakan sesuai dengan keinginan mereka.
Hari Raya Termasuk Syariat, Tidak Bisa Ditetapkan Tanpa Dalil
Sebagian orang keliru dengan menganggap bahwa hari raya termasuk budaya (‘ādāt) yang disesuaikan dengan adat masyarakat. Namun, ini adalah pandangan yang salah.
Hari raya adalah bagian dari syariat, menjadi simbol agama, dan termasuk salah satu syiar Islam. Bahkan, hari raya merupakan salah satu syiar yang paling menonjol dalam agama. Setiap agama memiliki hari rayanya, dan setiap umat memiliki perayaan khasnya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya.”
Penggantian ini berlaku khusus untuk kita, kaum Muslimin, yang menunjukkan bahwa kedua hari raya tersebut adalah kekhususan bagi umat Islam.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, ia berkata:
“Abu Bakar masuk ke rumahku, sedangkan di sisiku ada dua orang budak perempuan dari kalangan Anshar yang sedang bernyanyi tentang peristiwa Perang Bu‘āts. Aisyah berkata, ‘Keduanya bukanlah penyanyi profesional.’ Maka, Abu Bakar berkata, ‘Apakah alat musik setan berada di rumah Rasulullah ﷺ?’ Hal itu terjadi pada hari raya. Maka, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita.’”
(HR. Al-Bukhari no. 952 dan Muslim no. 892)
Sabda Nabi ﷺ: “Setiap kaum memiliki hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita” menunjukkan bahwa setiap kaum memiliki hari raya yang khas dan tidak dimiliki oleh yang lain. Setiap agama dan kelompok memiliki hari rayanya sendiri yang membedakan mereka dari yang lainnya. Jika tidak demikian, maka hari-hari dan perayaan akan menjadi sesuatu yang seragam dan tidak ada kekhususan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta‘ālā:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk setiap umat di antara kalian, Kami jadikan syariat dan jalan hidup masing-masing.” (QS. Al-Mā’idah: 48)
Syariat kita berbeda dengan syariat mereka, kiblat kita berbeda dengan kiblat mereka, ibadah kita berbeda dengan ibadah mereka, shalat kita berbeda dengan shalat mereka, dan puasa kita berbeda dengan puasa mereka. Maka, hari raya kita pun berbeda dengan hari raya mereka. Oleh karena itu, mereka tidak merayakan hari raya kita, dan kita pun tidak boleh merayakan hari raya mereka.
Sabda Nabi ﷺ: “Setiap kaum memiliki hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita” juga menunjukkan bahwa hari raya adalah perkara agama yang bersifat akidah, bukan sekadar tradisi umum yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Hari raya adalah syiar agama yang menjadi ciri khas masing-masing umat. Penambahan kata “kita” oleh Nabi ﷺ menegaskan kekhususan hari raya bagi umat Islam (tidak untuk dibagikan dengan yang lain, begitu pula hari raya mereka tidak untuk kita rayakan).
Jika tidak diperbolehkan bagi kita untuk merayakan hari raya agama lain, maka tidak pula diperbolehkan bagi kita untuk membuat perayaan yang bukan bagian dari hari raya Islam.
Tidak Boleh Membuat Hari Raya Baru
Seandainya kita ingin membuat hari raya lain selain dua hari raya Islam, atau membuat hari raya baru tanpa menyerupai kaum kafir, tetap tidak diperbolehkan. Sebab, hari raya adalah bagian dari syariat, bahkan termasuk syiar terbesar dalam agama. Karena itu, tidak boleh ada hari raya baru tanpa dalil syar‘i.
Hari raya adalah bagian dari syiar agama, dan syiar agama hanya diambil dari syariat, bukan dari manusia. Membuat hari raya baru tanpa izin dari Allah berarti menyaingi syariat, sekaligus menunjukkan buruknya adab terhadap syariat.
Orang yang membuat hari raya baru ini seolah-olah tidak puas dengan apa yang telah disyariatkan, lalu menambahnya. Ini merupakan bentuk tuduhan bahwa syariat Islam tidak sempurna.
Sabda Nabi ﷺ:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau juga bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk setelahku. Berhati-hatilah terhadap perkara-perkara baru, karena setiap yang baru adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
(Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 37.)
Sabda Nabi ﷺ:
“Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita”
menjelaskan bahwa alasan diperbolehkannya dua budak perempuan bermain dan bernyanyi adalah karena hal itu dilakukan pada hari raya kita. Ini menunjukkan bahwa permainan dan nyanyian yang diperbolehkan hanya terkait dengan hari raya kita, yang memang khusus bagi umat Islam.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak diperbolehkan bermain atau bernyanyi pada hari raya selain hari raya Islam, baik hari raya kaum kafir maupun hari raya yang dibuat oleh umat Islam sendiri tanpa dasar syariat. Hari raya semacam ini dihukumi sama dengan hari raya kaum kafir, yaitu tidak boleh dirayakan, karena tidak disyariatkan dalam agama kita. Agama Islam hanya menetapkan dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha, dan tidak ada yang ketiga.
Tahun Baru Masehi adalah Hari Raya Kaum Kafir, Tidak Boleh Menyerupai atau Meniru Mereka dalam Merayakannya
Tahun Baru Masehi bukanlah hari raya yang disyariatkan dalam Islam. Selain itu, perayaan ini juga termasuk bagian dari tradisi kaum kafir, sehingga umat Islam tidak diperbolehkan untuk menirunya. Larangan ini didasarkan pada nash-nash syar‘i yang jelas.
Dari Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, Nabi ﷺ bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ؛ وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Berbedalah dengan kaum musyrik. Panjangkan jenggot, dan rapikan kumis.”
(HR. Al-Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259)
Perintah untuk menyelisihi kaum musyrik ini mencakup larangan untuk menyamai mereka dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka, kebiasaan mereka, maupun ibadah mereka. Perayaan Tahun Baru Masehi dan menetapkan hari raya yang tidak disyariatkan Allah termasuk dalam ciri khas kaum kafir musyrik.
Dari Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”
(HR. Abu Dawud, no. 4031)
Syariat memerintahkan untuk menyelisihi kaum musyrik dan melarang untuk meniru atau menyerupai mereka. Hal ini bertujuan agar perbedaan antara orang-orang beriman dan kaum kafir terlihat jelas, baik dalam aspek lahiriah maupun batiniah.
Sebab, keserupaan dalam hal lahiriah dapat menyebabkan kecenderungan untuk mencintai, mengagungkan, dan merasa tidak ada perbedaan antara kaum kafir dan orang beriman. Bahkan, hal itu dapat mendorong orang yang meniru untuk mengadopsi sifat-sifat dan perbuatan kaum yang ditirunya.
Adz-Dzahabi berkata:
“Apabila orang Nasrani memiliki hari raya, atau orang Yahudi memiliki hari raya yang menjadi ciri khas mereka, maka seorang Muslim tidak boleh ikut merayakannya, sebagaimana dia tidak boleh ikut dalam syariat mereka atau menghadap kiblat mereka.”
(Tasyabbuh al-Khasīs bi Ahl al-Khamīs karya Adz-Dzahabi, hlm. 27).
Menyerupai dan Meniru Kaum Kafir
Menyerupai (musyābahah) kaum kafir lebih luas cakupannya daripada meniru (tasyabbuh) mereka. Menyerupai dapat terjadi baik dengan sengaja maupun tanpa sengaja, sedangkan meniru hanya terjadi dengan sengaja. Namun, syariat melarang segala bentuk kesamaan dengan kaum musyrik, baik disengaja maupun tidak, serta memerintahkan untuk menyelisihi mereka. Perintah untuk menyelisihi adalah bentuk larangan terhadap meniru maupun menyerupai mereka.
Seorang wanita yang berpakaian seperti pria dianggap telah meniru pria, baik ia melakukannya dengan sengaja maupun tidak. Begitu pula pria yang berpakaian seperti wanita, ia dianggap meniru wanita, terlepas dari niatnya.
Orang yang membuat patung makhluk bernyawa dianggap telah menyaingi ciptaan Allah, baik dengan kesengajaan atau tanpa sengaja. Orang yang meminta pertolongan kepada orang mati dianggap telah berbuat syirik, apakah ia menyadarinya atau tidak. Dan seseorang yang meludahi mushaf Al-Qur’an dengan mengetahui bahwa itu adalah mushaf, dihukumi kafir, apakah ia berniat atau tidak.
Perilaku meniru ini mencerminkan perasaan rendah diri dan kurangnya rasa percaya diri di hadapan kaum kafir, yang mengarah pada upaya untuk menyerupai mereka dalam berbagai aspek.
Jika Ada yang Berdalih:
Apabila dikatakan bahwa meskipun perayaan Tahun Baru Masehi awalnya berasal dari kaum Nasrani, saat ini perayaan tersebut tidak lagi menjadi ciri khas mereka karena semua orang merayakannya, maka jawabannya adalah: ini adalah kebohongan. Tidak semua orang merayakan Tahun Baru.
Masih banyak orang yang berpegang teguh pada sunnah, dan mereka tidak ikut merayakan hari raya semacam ini.
Kita wajib mengikuti jalan hidayah, meskipun jumlah pengikutnya sedikit. Sebaliknya, kita harus menjauhi jalan kesesatan, meskipun banyak orang yang menempuhnya.
Tidak Boleh Mengucapkan Selamat atas Hari Raya Mereka, Meski Mereka Mengucapkan Selamat atas Hari Raya Kita
Tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk mengucapkan selamat kepada kaum kafir atas hari raya mereka. Tindakan ini menunjukkan bentuk loyalitas kepada mereka, mengakui kebenaran agama mereka yang batil, dan mendukung mereka dalam kebatilan tersebut. Bahkan, ini sejajar dengan memberi ucapan selamat atas kekafiran mereka.
Jika kaum kafir mengucapkan selamat atas hari raya kita, itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk membalasnya dengan mengucapkan selamat atas hari raya mereka. Sebab, terdapat perbedaan mendasar antara hari raya kita dan hari raya mereka.
Hari raya kita adalah kebenaran yang berasal dari agama yang hak, sedangkan hari raya mereka adalah kebatilan yang berasal dari agama yang batil. Bahkan, agama mereka telah dinasakh (dihapuskan) oleh agama kita. Jika mereka memberi selamat atas kebenaran, kita tidak boleh membalasnya dengan memberi selamat atas kebatilan.
Makna Firman Allah Ta‘ālā:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ayat ini menunjukkan bahwa kita boleh berbuat baik kepada mereka dalam hal-hal yang diperbolehkan oleh agama kita, seperti menjenguk orang sakit dari kalangan mereka atau membantu mereka yang membutuhkan. Namun, ayat ini sama sekali tidak memberikan izin untuk ikut serta dalam kebatilan mereka atau mengucapkan selamat atas kekufuran mereka.
Dampak Negatif Hari Raya Bid‘ah
Hari-hari raya bid‘ah di zaman kita telah menjadi begitu banyak hingga mencapai puluhan. Hampir setiap waktu diisi dengan perayaan, seakan-akan sepanjang tahun adalah hari raya.
Akibatnya, kenikmatan dari dua hari raya Islam (Idulfitri dan Iduladha) menjadi hilang. Beginilah sifat maksiat: ia menghalangi ketaatan dan menghilangkan kenikmatan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Menghidupkan bid‘ah mematikan sunnah, dan balasan atas kejahatan adalah kejahatan yang setimpal.
- Penyerupaan dan Peniruan terhadap Kaum Kafir
Salah satu dampak dari hari raya bid‘ah adalah menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka. Tindakan ini menandakan kerendahan dan penghinaan terhadap umat Islam, sekaligus memberikan kesan bahwa kaum kafir lebih unggul dan mulia.
Hal ini tidak diridhai oleh Allah maupun Rasul-Nya ﷺ. Selain itu, menyamai kaum kafir dalam perayaan mereka berarti mendukung posisi mereka, memberikan mereka rasa bangga, dan membuat mereka merasa lebih unggul atas umat Islam. Ketika umat Islam meniru mereka, kaum kafir melihatnya sebagai pengakuan bahwa mereka lebih unggul.
- Menurunnya Produktivitas karena Banyaknya Libur Resmi
Dampak lain dari banyaknya hari raya bid‘ah adalah bertambahnya jumlah libur resmi. Hampir setiap waktu masyarakat dihadapkan pada libur baru. Hal ini menyebabkan berkurangnya produktivitas dan melemahkan kinerja.
- Pemborosan Waktu dan Berkurangnya Kegiatan Bermanfaat
Seringnya perayaan membuat waktu yang berharga menjadi terbuang sia-sia. Padahal, memanfaatkan waktu adalah salah satu faktor penting dalam kebangkitan dan syarat utama untuk mencapai kemajuan.
Perhatian untuk Kamu yang Merayakan Tahun Baru Masehi
Wahai kamu yang merayakan Tahun Baru, sadarilah bahwa umurmu terus berkurang, dan ajalmu semakin dekat. Mengapa sisa umurmu dihabiskan untuk maksiat, bukan ketaatan?
Wahai kamu yang merayakan Tahun Baru, bagaimana mungkin kamu merayakan semakin dekatnya ajalmu, pendeknya umurmu, dan datangnya kematianmu?
Wahai kamu yang merayakan Tahun Baru, sesungguhnya kamu telah mengagungkan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh syariat untuk diagungkan, dan kamu telah membuat bid‘ah yang tidak diizinkan oleh Allah. Bertaubatlah sebelum kematian menjemputmu secara tiba-tiba.
Wahai kamu yang merayakan Tahun Baru, sesungguhnya kamu telah menyaingi syariat Rabbmu dengan menciptakan syiar baru yang seakan-akan memperbaiki aturan Allah, tanpa kamu sadari. Sadarlah sebelum terlambat.
Wahai kamu yang merayakan Tahun Baru, sesungguhnya kamu telah menyerupai kaum kafir yang sesat dalam perayaan mereka, padahal kamu diperintahkan untuk menyelisihi mereka. Berhati-hatilah, jangan sampai kamu tertimpa fitnah atau azab yang pedih.
Wahai kamu yang merayakan Tahun Baru, sesungguhnya kamu telah menunjukkan loyalitas kepada kaum kafir dengan mengikuti perayaan mereka. Kamu membuat mereka merasa bangga dan mulia, padahal kemuliaan hanya milik Allah, Rasul-Nya ﷺ, dan kaum mukminin.
Ya Allah, berilah petunjuk kepada pemuda-pemuda Muslim. Ya Allah, kembalikan umat Islam kepada agama-Mu dengan cara yang indah. Ya Allah, satukan barisan kami. Ya Allah, satukan kalimat kami.
Diadaptasi oleh Hafizh Abdul Rohman, Lc.
Dialihbahasakan dengan penyesuaian, dan diringkas dari artikel karya Rabi‘ Ahmad, yang diakses melalui: https://www.alukah.net/sharia/0/48029, diakses pada 19 Desember 2024 M.