Peringatan terhadap Kebohongan atas Nama Nabi dan Larangan Meratapi Jenazah

Peringatan terhadap Kebohongan atas Nama Nabi dan Larangan Meratapi Jenazah

Pendahuluan

Kebohongan adalah perbuatan tercela yang membawa dampak buruk dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam ajaran Islam, kebohongan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dosa yang jauh lebih berat dibandingkan dengan kebohongan terhadap orang lain. Hal ini karena perkataan Nabi merupakan bagian dari ajaran agama yang memengaruhi kehidupan umat Islam. Selain itu, meratapi jenazah dengan tangisan keras dan berlebihan juga merupakan praktik yang dilarang dalam syariat. Artikel ini akan mengulas hadits terkait peringatan terhadap kebohongan atas nama Nabi dan larangan meratapi jenazah, serta dampaknya bagi umat Islam.

Hadits tentang Kebohongan atas Nama Nabi dan Larangan Meratapi Jenazah

سَمِعْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: إنَّ كَذِبًا عَلَيَّ ليسَ كَكَذِبٍ علَى أَحَدٍ، مَن كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. سَمِعْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ: مَن نِيحَ عليه يُعَذَّبُ بما نِيحَ عليه

“Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama siapa pun. Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka.’ Aku juga mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barang siapa yang diratapi setelah wafatnya, ia akan disiksa karena ratapan tersebut.'” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor 1291, dari Al-Mughirah bin Syu’bah.

Penjelasan Hadits

Bahaya Kebohongan atas Nama Nabi Muhammad

Hadits ini menekankan bahwa kebohongan memiliki akibat yang sangat berat, khususnya jika kebohongan tersebut disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena setiap perkataan Nabi adalah bagian dari ajaran agama, sehingga kebohongan atas nama beliau dapat menimbulkan kerusakan besar dalam keimanan dan kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, kebohongan atas nama Nabi merupakan dosa yang lebih besar dibandingkan kebohongan terhadap orang lain.

Akibat Kebohongan yang Disengaja

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang dengan sengaja berdusta atas nama beliau akan mendapatkan hukuman yang berat di akhirat. Orang tersebut diancam dengan tempat di neraka sebagai balasan atas perbuatannya. Meskipun demikian, ancaman ini tidak berlaku kekal kecuali bagi mereka yang menganggap halal perbuatan tersebut. Seorang Muslim yang mengucapkan “Tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah” tetap memiliki harapan untuk mendapatkan ampunan atau rahmat Allah, meskipun ia harus menanggung hukuman sesuai dengan dosanya.

Larangan Meratapi Jenazah

Setelah menyampaikan hadits tentang kebohongan, Al-Mughirah bin Syu’bah juga meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang praktik meratapi jenazah dengan tangisan keras dan berlebihan. Jika seseorang wafat dan diratapi oleh keluarganya dengan cara seperti ini, maka ia akan disiksa akibat dari ratapan tersebut. Dalam Shahih Bukhari, hadits serupa juga diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan yang lainnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha menentang pemahaman ini dengan mengutip ayat Al-Qur’an:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. Al-An’am: 164)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa siksa yang dimaksud berlaku jika si mayit berwasiat agar diratapi sebagaimana yang dilakukan pada masa jahiliyah, atau jika ia mengetahui bahwa keluarganya akan meratapinya namun tidak melarang mereka. Ada juga pendapat bahwa siksaan yang dimaksud adalah perasaan tidak nyaman yang dialami oleh mayit karena ratapan keluarganya.

Pemahaman yang Keliru tentang Penggunaan Hadits Lemah

Setelah membahas tentang kebohongan atas nama Nabi, penting untuk menyinggung salah satu kesalahan umum yang terjadi, yaitu penggunaan hadits lemah dengan alasan bahwa hadits-hadits tersebut dapat digunakan dalam “keutamaan-keutamaan amal.” Tidak jarang, ada yang mencoba membenarkan penyebaran hadits palsu atau hadits yang lemah dengan alasan tersebut. Namun, perlu dipahami bahwa anggapan ini tidak sepenuhnya benar dan dapat menyesatkan.

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, penggunaan hadits lemah dalam keutamaan amal memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu:

  1. Hadits tersebut harus berhubungan dengan keutamaan amal yang memiliki dasar dalam syariat, bukan mengenai aqidah, hukum, atau informasi yang terkait dengan hukum syariat yang harus diamalkan. Bahkan, keutamaan amal tersebut tidak boleh bertentangan dengan ajaran pokok syariat.
  2. Hadits tersebut tidak boleh sangat lemah; hadits yang palsu dan hadits yang diingkari tidak boleh diriwayatkan apalagi diamalkan menurut kesepakatan para ulama.
  3. Tidak boleh meyakini bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi; perlu ada kesadaran bahwa hadits tersebut tidak bisa dianggap pasti dari Rasulullah.
  4. Penyampai hadits harus menyebutkan kelemahan hadits tersebut, atau setidaknya mengisyaratkan kelemahannya dengan menggunakan istilah seperti “diriwayatkan”, “dikatakan”, dan semacamnya.

Syarat-syarat ini disarikan dari penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam bukunya Tibyan al-‘Ajab dan dari keterangan ulama lain seperti Al-‘Izz bin Abdus Salam dan Ibn Daqiq al-‘Id.

Oleh karena itu, sangat penting untuk berhati-hati dalam menulis, berbicara, dan menyebarkan informasi. Allah Ta’ala telah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (Qs. Al-Isra: 36).

Kesimpulan

Hadits ini memberikan peringatan yang tegas kepada umat Islam agar selalu jujur dalam menyampaikan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghindari kebohongan yang dapat merusak agama. Selain itu, hadits ini juga melarang praktik meratapi jenazah yang berlebihan, karena bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan ketenangan dan tawakal dalam menghadapi musibah. Pada akhirnya, penilaian terhadap amal dan dosa seseorang tetap menjadi hak prerogatif Allah, yang Maha Adil dan Maha Pengampun.

Keterangan Penyusun dan Rujukan

Disusun oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc.

Rujukan: Aplikasi Al-Mausu’ah Al-Haditsiyyah, yang dapat diakses melalui tautan berikut: https://dorar.net/hadith/sharh/26802.

Sumber Tambahan: Artikel Alukah.net, yang dapat diakses melalui tautan berikut: https://www.alukah.net/sharia/0/142312.

Related posts