Doa Perjalanan Dan Menunjuk Pemimpin Dalam Perjalanan

doa perjalanan

DOA PERJALANAN

Wahai saudaraku, Ketika engkau bersiap menaiki kendaraan yang akan membawamu dalam perjalanan, apakah engkau sudah ingat bagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk memulai perjalanan ini? Rasulullah ﷺ telah memberikan kita panduan berupa doa khusus saat menaiki kendaraan. Doa ini adalah anugerah berharga yang diwariskan oleh beliau kepada umatnya, dan orang-orang saleh sangat menjaga amalan ini.

Sebagaimana diceritakan oleh Ali al-Azdi, bahwa Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā mengajarkan kepada mereka bahwa Rasulullah ﷺ, ketika beliau telah duduk dengan tenang di atas kendaraannya untuk keluar dalam perjalanan, bertakbir tiga kali, lalu membaca:

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ العَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالخَلِيفَةُ فِي الأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ المَنْظَرِ، وَسُوءِ المُنْقَلَبِ فِي المَالِ وَالأَهْلِ.

“Subānalladhī sakhkhara lanā hādhā wa mā kunnā lahu muqrinīn. Wa innā ilā rabbinā lamunqalibūn. Allāhumma innā nas’aluka fī safarinā hādhā al-birra wat-taqwā wa minal-‘amali mā tarā. Allāhumma hawwin ‘alainā safaranā hādhā wawi ‘annā bu‘dah. Allāhumma antaāibu fis-safari wal-khalīfatu fil-ahli. Allāhumma innī a‘ūdzubika min wa‘ā’is-safari, wa ka’ābatil-manzar, wa sū’il-munqalabi fil-māli wal-ahl.”

Artinya: “Mahasuci Allah yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan dan ketakwaan, serta amalan yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah pendamping dalam perjalanan dan penjaga bagi keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, pemandangan yang menyedihkan, dan keburukan tempat kembali dalam harta dan keluarga.”

Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari perjalanan, beliau membaca doa yang sama, namun menambahkan kalimat:

آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ.

“Āyibūna tā’ibūna ‘ābidūna lirabbinā āmidūn.”

Artinya: “Kami kembali dengan selamat, bertaubat, beribadah kepada Tuhan kami, dan memuji-Nya.” (HR. Muslim)

Kapan Membaca Doa Safar?

Syaikh Ibn Jibrin, raḥimahullāh, pernah ditanya: “Kapan seorang musafir mengucapkan doa safar? Apakah ia membacanya saat pertama kali menaiki kendaraan atau setelah kendaraan mulai bergerak?”

Beliau menjawab: “Doa safar diucapkan saat pertama kali menaiki kendaraan. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:

لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ

‘Agar kalian dapat duduk dengan mantap di atas punggungnya, kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian ketika kalian telah mantap di atasnya.’ (QS. Az-Zukhruf: 13).

Ayat ini menunjukkan bahwa setelah seseorang mantap duduk di atas kendaraan—baik itu kendaraan hewan, mobil, atau lainnya—hendaknya ia segera membaca zikir ini. Namun, tidak mengapa jika doa tersebut ditunda hingga kendaraan mulai bergerak atau setelah meninggalkan kota, karena hal ini sifatnya fleksibel dan tidak kaku. Alhamdulillāh.”[1]

MENUNJUK PEMIMPIN DALAM PERJALANAN

Wahai saudaraku Muslim, salah satu adab mulia yang diajarkan oleh Nabi ﷺ adalah menunjuk seorang pemimpin di antara rombongan saat melakukan perjalanan. Tugas pemimpin ini adalah mengkoordinasikan pendapat yang berbeda dan mengatur perjalanan mereka agar lebih terorganisir. Setiap petunjuk yang diberikan oleh syariat, jika kita amalkan, niscaya membawa kebaikan dan keberkahan bagi kita.

Diriwayatkan dari Abu Sa‘īd al-Khudrī raḍiyallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

“Jika ada tiga orang yang bepergian, hendaklah mereka menunjuk salah satu di antara mereka sebagai pemimpin.”[2]

Imam al-Khaṭṭābī, raḥimahullāh, menjelaskan: “Perintah ini bertujuan agar keputusan mereka menjadi satu suara, sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat yang dapat menyebabkan mereka saling berselisih dan kesulitan.”

PERJALANAN SENDIRIAN

Wahai saudaraku seiman, Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan kita untuk bepergian bersama rombongan dan melarang kita melakukan perjalanan sendirian. Larangan ini bertujuan untuk mencegah berbagai bahaya yang mungkin timbul dari bepergian tanpa teman. Nabi ﷺ menyampaikan pesan ini dengan ungkapan yang singkat namun sarat makna, beliau bersabda:

لَوْ أَنَّ النَّاسَ يَعْلَمُونَ مِنَ الوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ، مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ

“Jika manusia mengetahui bahaya dari bepergian sendirian sebagaimana yang aku ketahui, maka tidak ada seorang pun yang akan bepergian sendirian di malam hari.” (HR. al-Bukhārī)

Al-Ḥāfiẓ Ibn ‘Abd al-Barr menjelaskan:

“Tidak ada perbedaan pendapat dalam riwayat-riwayat tentang makruhnya bepergian sendirian. Adapun untuk dua orang terdapat perbedaan pendapat, sementara tiga orang atau lebih dianggap baik dan diperbolehkan. Larangan bepergian sendirian ini, wallāhu a‘lam, disebabkan oleh risiko seperti sakit di perjalanan tanpa ada yang merawat, tidak ada yang membantu, atau bahkan tidak ada yang bisa menyampaikan berita tentangnya jika sesuatu terjadi.”[3]

Rasulullah ﷺ bersabda:

الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ

“Seorang yang bepergian sendirian adalah seperti setan, dua orang yang bepergian adalah seperti dua setan, sedangkan tiga orang adalah rombongan.”[4]

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata: “Makna setan di sini adalah dia yang jauh dari kebaikan dalam kebersamaan dan kelembutan.”[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan: “Yakni, bepergian sendirian akan membuat seseorang terpengaruh oleh bisikan setan, atau tindakannya menyerupai perbuatan setan.”[6]

[1] Al-Mufīd fī Taqrīb Aḥkām al-Musāfir, hlm. 60.

[2] HR. Abū Dāwūd, Ṣaḥīḥ Abū Dāwūd, no. 2608.

[3] at-Tamhīd, (16/263).

[4] HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud, no. 2607.

[5] At-Tamhīd, (16/264).

[6] Fathul Bāri, (6/67).

Sumber : https://shamela.ws/book/36389

Dialihbahasakan dengan sedikit penyesuaian oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc

Artikel ini adalah artikel berseri, pembahasan selanjutnya bisa dilihat di sini

Related posts

Tinggalkan Balasan di sini