Menutup Jalan yang Menyimpangkan Jiwa dari Kesucian Menuju Kehinaan

Jalan yang Menyimpangkan

Menutup Jalan yang Menyimpangkan Jiwa dari Kesucian Menuju Kehinaan

Seorang hamba sangat membutuhkan untuk menutup celah-celah yang mengotori jiwanya dan menjerumuskannya ke dalam kehinaan. Dalam sunnah, terdapat perumpamaan yang menjelaskan betapa berbahayanya seseorang terjerumus dalam hal-hal yang dapat merusak agamanya.

Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:

“ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا وَعَلَىٰ جَنْبَتَيِ ٱلصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَىٰ ٱلْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَىٰ بَابِ ٱلصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱدْخُلُوا ٱلصِّرَاطَ جَمِيعًا، وَلَا تَتَعَرَّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ ٱلصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَفْتَحَ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ ٱلْأَبْوَابِ قَالَ: وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ، وَٱلصِّرَاطُ ٱلْإِسْلَامُ، وَٱلسُّورَانِ حُدُودُ ٱللَّهِ، وَٱلْأَبْوَابُ ٱلْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ ٱللَّهِ، وَذَاكَ ٱلدَّاعِي عَلَىٰ رَأْسِ ٱلصِّرَاطِ كِتَابُ ٱللَّهِ، وَٱلدَّاعِي مِنْ فَوْقِ ٱلصِّرَاطِ وَاعِظُ ٱللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ.”

“Allah membuat perumpamaan tentang jalan yang lurus. Di kedua sisi jalan itu terdapat pagar, dan pada pagar-pagar tersebut terdapat pintu-pintu yang terbuka. Pada setiap pintu tersebut terdapat tirai yang tergantung. Di ujung jalan, ada penyeru yang menyeru, ‘Wahai manusia, masuklah ke jalan ini semuanya dan janganlah kalian menyimpang!’ Dan ada juga yang menyeru dari atas jalan tersebut, ‘Jika seseorang hendak membuka salah satu pintu, ia akan diperingatkan, “Celaka engkau! Jangan membukanya, karena jika engkau membukanya, niscaya engkau akan masuk ke dalamnya.”’

Adapun jalan yang lurus itu adalah Islam, pagar-pagar di sampingnya adalah batasan-batasan Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, penyeru yang berada di ujung jalan adalah Kitabullah, dan penyeru yang berada di atas jalan itu adalah peringatan Allah yang tertanam di hati setiap Muslim.”1

Al-Ḥāfizh Ibnu Rajab al-Ḥambalī berkata:

“Barang siapa di dunia telah menyimpang dari jalan yang lurus, lalu ia membuka pintu-pintu yang diharamkan yang terdapat di balik tabir di sisi kanan dan kirinya -baik larangan itu berupa syahwat maupun syubhat- maka di akhirat ia akan disambar oleh kait-kait yang berada di kanan dan kiri di atas Shirāth (jembatan di atas neraka jahannam). Hal itu sebanding dengan pintu-pintu keharaman yang ia buka dan ia masuki di dunia ini.”2

Allah ﷻ berfirman:

﴾قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ﴿

“Katakanlah kepada orang-orang beriman agar mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nūr: 30).

Abū Ḥayyān al-Andalusī berkata:

“Allah mendahulukan perintah untuk menundukkan pandangan sebelum menjaga kemaluan karena pandangan adalah utusan zina, pemicu perbuatan keji, serta ujian yang lebih berat dan lebih sering terjadi.”3

Syaikh as-Sa‘dī berkata:

“Barang siapa menjaga kemaluannya dan menundukkan pandangannya, maka ia akan bersih dari keburukan yang menodai para pelaku perbuatan keji. Amalannya pun akan menjadi suci karena meninggalkan perkara haram yang diinginkan oleh jiwa dan menggodanya. Maka, siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”4

Ibnul Qayyim rahimullāh berkata:

“Sebagian besar maksiat berasal dari ucapan yang berlebihan dan pandangan yang liar. Keduanya merupakan pintu masuk setan yang paling luas. Jika kedua hal itu dibiarkan, maka ia tidak akan pernah puas dan tidak akan berhenti.”5

Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya bersikap cerdas dan bijaksana dengan memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar diberikan kesabaran dan keselamatan. Ia harus memutus semua jalan yang dapat menyebabkan dirinya binasa dan terjerumus dalam keburukan. Sebab, agama seseorang adalah modal utamanya, dan jika ia kehilangannya, maka ia akan merugi di dunia dan akhirat.

Hanya kepada Allah kita memohon keselamatan.

 

Sumber: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr, ‘Asyru Qawā‘ida fī Tazkiyati an-Nafs, https://www.al-badr.net/ebook/183, Diakses pada 02 Ramadhan 1446 H/ 02 Maret 2025)

Dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc

Footnote:

1 HR. Ahmad dalam al-Musnad, no. 17634

2 Majmū‘ Rasā’il Ibnu Rajab, 1/206

3 Al-Baḥr al-Muḥīth, 8/33

4 Tafsīr al-Karīm ar-Raḥmān, hlm. 666

5 Badā’i‘ al-Fawā’id, 2/830

Ini adalah artikel berseri, untuk artikel selanjutnya jika sudah diposting bisa buka di link ini

Related posts

Tinggalkan Balasan di sini