Ilmu yang Menyehatkan Jiwa
Pendahuluan
Di dunia yang semakin sibuk dan serba cepat, kesehatan sering kali hanya dipahami sebatas urusan fisik -makan, minum, istirahat, dan obat. Tapi jiwa manusia bukan sekadar daging dan tulang. Ia adalah ruang batin yang jika tenang, maka tubuh ikut tenang; jika ia rusak, maka seluruh hidup terasa berat. Dan bagi sebagian hamba pilihan, kesehatan jiwa bukan ditemukan di dalam resep, tetapi dalam lembaran ilmu yang mereka pelajari dan renungi.
Tak semua orang bisa memahami bagaimana sebuah pelajaran bisa menjadi penyejuk hati. Bagaimana sebuah diskusi ilmiah bisa menumbuhkan semangat dan menumbuhkan harapan, bahkan di tengah tubuh yang lemah. Tapi kisah para ulama mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya urusan akal, ia adalah makanan ruhani yang menumbuhkan kekuatan dari dalam.
Ilmu yang Menyehatkan Jiwa
Ibnu Taimiyyah pernah jatuh sakit. Seorang tabib datang memeriksanya dan berkata, “Engkau harus berhenti dulu membaca dan berdiskusi soal ilmu. Itu akan memperparah penyakitmu.”
Tapi beliau menjawab tenang, “Justru ilmu yang membuatku kuat. Aku ingin berdiskusi denganmu, dari sudut pandangmu sebagai tabib: bukankah hati yang bahagia dan jiwa yang tenang bisa memperkuat tubuh dan mempercepat kesembuhan?”
Tabib itu mengangguk, “Betul.”
Beliau melanjutkan, “Ilmu membuat jiwaku bahagia. Dengan ilmu, tubuhku ikut menguat dan sakit terasa ringan.”
Mendengar itu, sang tabib pun menyerah dan berkata, “Kalau begitu, ini sudah di luar kemampuan kami sebagai tabib.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Raudhatul Muhibbin, hlm. 109).
Ilmu yang Menghidupkan Jiwa
Ilmu bukan sekadar kumpulan teori dan istilah. Bagi para pecinta ilmu, ia adalah nyawa yang menyalakan semangat, penyejuk bagi hati yang gundah, dan penopang ruhani yang letih menghadapi dunia. Ketika tubuh melemah, tapi akal dan hati masih menyala karena ilmu, maka manusia tetap bisa berdiri, bahkan melangkah lebih jauh daripada yang sehat fisiknya tapi kosong batinnya.
Ibnu Taimiyyah bukan hanya menjawab sang tabib dengan logika, tapi menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati datang dari kedekatan dengan ilmu dan makrifat kepada Allah. Inilah obat yang tidak bisa diracik oleh tangan manusia, tapi lahir dari cahaya iman yang tumbuh lewat ilmu yang benar.
Bahagia Itu Menguatkan
Setiap orang yang mencintai sesuatu dengan ikhlas akan merasa ringan menanggung apa pun demi hal yang dicintainya. Seorang yang mencintai ilmu akan lupa lelah ketika membacanya. Seorang yang mencintai Al-Qur’an akan merasa damai ketika membacanya, meski tubuhnya didera rasa sakit. Dan seorang yang mencintai Allah akan merasa tenteram dalam ibadah, meski dunia sedang berat menimpanya.
Kebahagiaan semacam ini tidak bisa dipahami oleh logika dunia semata. Ia adalah kekuatan batin yang melampaui batas medis, yang membuat seseorang tetap kuat walau tubuhnya lemah. Seperti Ibnu Taimiyyah yang mengatakan, “Ilmu membuat jiwaku bahagia.”
Penutup
Ketika banyak orang mencari kesembuhan dari luar, sebagian orang justru menemukannya dari dalam: dari hati yang lapang, dari jiwa yang bahagia karena ilmu, dari ketundukan yang tulus kepada Allah. Karena itu, jangan anggap ringan kelezatan belajar. Jangan remehkan nikmat duduk dalam majelis ilmu. Sebab barangkali, itu lebih menyembuhkan daripada pil yang kita telan, dan lebih menyejukkan daripada istirahat panjang yang kita tempuh.
Semoga Allah menjadikan ilmu sebagai penyejuk jiwa kita, kekuatan tubuh kita, dan cahaya jalan hidup kita.
Oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc.
Rujukan
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dalam tulisan beliau di: https://www.al-badr.net/muqolat/7083