Memaafkan Bukan Lemah, Tapi Tanda Kematangan Iman

memaafkan

Tiga Pilar Akhlak Qur’ani: Memaafkan, Menyeru, dan Menahan Diri

Pendahuluan

Di tengah kehidupan yang penuh perbedaan dan ragam watak manusia, tak ada yang lebih dibutuhkan selain kelapangan hati dan kehalusan akhlak.

Manusia bukan hanya makhluk yang berpikir, tetapi juga yang berinteraksi, dan dalam setiap pertemuan, ada peluang untuk memberi atau menyakiti, menguatkan atau menjatuhkan.

Namun, hidup bukan sekadar tentang membalas setimpal. Bukan tentang siapa yang lebih benar atau lebih kuat, tapi tentang siapa yang lebih lapang jiwanya dan lebih lembut lisan serta tindakannya.

Karena itulah, Allah menurunkan ayat-Nya yang agung sebagai panduan bagi orang-orang yang ingin menjadikan hidupnya jembatan menuju rahmat-Nya, bukan tembok penghalang antara hati manusia.

Ayat ini bukan sekadar perintah, melainkan peta menuju akhlak yang luhur: sabar dalam menghadapi kekurangan, bijak dalam menasihati, dan mulia dalam menahan diri dari membalas kebodohan.

Penjelasan Ayat

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِينَ

“Ambillah sikap pemaaf, perintahkan yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A‘rāf: 199)

Ayat ini adalah rangkuman dari akhlak yang agung dan petunjuk hidup yang menyeluruh dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Ia mengajarkan tiga hal pokok:

  1. Berbesar hati dalam memaafkan,
  2. Menyeru kepada segala bentuk kebaikan,
  3. Menahan diri dari membalas kebodohan dengan kebodohan.

Ketiga hal ini bukan sekadar tuntunan sosial, tapi adalah bentuk nyata dari kematangan ruhani seseorang. Karena tidak setiap orang mampu memaafkan dengan ikhlas, menasihati dengan lembut, dan bersabar ketika dihina oleh orang yang tak tahu adab.

Tetapi justru di situlah keindahan iman diuji: Mampukah kita tetap berakhlak mulia, bukan karena orang lain pantas mendapatkannya, tetapi karena Allah memerintahkan kita untuk demikian?

Tiga Pilar Interaksi Sosial dalam Ayat Ini

  1. Ambillah Sikap Pemaaf

Sikap pemaaf bukan hanya ucapan manis yang terucap ketika hati masih menyimpan luka. Ia adalah keluasan jiwa yang bersedia menerima manusia dengan segala kekurangannya, bukan sebagaimana yang kita harapkan, melainkan sebagaimana Allah menciptakan mereka.

Mereka mungkin tak selalu memenuhi standar yang kita bangun, namun terkadang, dalam pemberian yang sederhana, ada keikhlasan yang besar. Terimalah apa yang mereka mampu lakukan dan rela berikan, walau sekecil senyum, walau hanya satu kata yang baik. Sebab yang tulus, walau kecil, lebih berharga daripada yang besar tapi dipaksa.

Jangan tuntut manusia melebihi kemampuannya.

Jangan ukur ketulusan dengan ukuranmu sendiri.

Dan jangan jadikan dirimu hakim atas tabiat orang lain.

Tutuplah mata dari kekurangan mereka, sebagaimana kita berharap Allah menutup kekurangan kita.

Jangan merasa tinggi di hadapan mereka yang sederhana.

Jangan menghina yang kurang daya pikirnya.

Jangan remehkan yang diuji dalam kemiskinan. Sebab kehormatan seseorang tidak ditentukan oleh apa yang ia miliki, tetapi oleh bagaimana ia menjaga kehormatannya.

Perlakukan manusia dengan kelembutan. Berikan respons yang menyejukkan hati mereka, bukan yang menambah beban di dada.

Sebab bisa jadi, melalui sikap itulah Allah membukakan pintu langit untukmu, tanpa suara, tanpa pujian, hanya karena engkau memilih untuk menjadi baik ketika kau bisa saja membalas.

  1. Perintahkanlah yang Makruf

Perintahkanlah yang makruf, yakni ucapan yang lembut, perbuatan yang membawa manfaat, dan akhlak yang menghidupkan hati, baik kepada yang dekat maupun yang jauh, kepada yang memahami maupun yang belum mengenal.

Apa pun bentuknya: menyampaikan ilmu yang menerangi, mengajak bersilaturahmi, mendorong berbakti kepada orang tua, mendamaikan hati yang retak, memberi nasihat yang meneguhkan, pendapat yang menyejukkan, atau sekadar bantuan yang membuat hidup seseorang lebih mudah, semua itu termasuk makruf yang diridhai Allah.

Sampaikan kebaikan bukan untuk menunjukkan bahwa engkau lebih tahu, tapi karena engkau ingin sama-sama selamat. Berbicaralah agar hati-hati mendekat, bukan menjauh. Tunjukkan arah yang benar, walau hanya satu langkah kecil. Dan jika lisan tak sanggup berkata, maka cukupkan dirimu menjadi teladan, karena akhlak yang hidup sering kali lebih kuat dari seribu kata.

  1. Berpalinglah dari Orang-Orang Bodoh

Dalam hidup ini, tak akan pernah hilang orang-orang yang berkata kasar tanpa ilmu, yang bertindak tanpa adab, dan menyakitkan hati tanpa rasa bersalah.

Mereka hadir bukan untuk dibalas dengan keburukan yang sama, melainkan untuk menguji: sejauh mana kita mampu menjaga akhlak ketika hati dilukai.

Karena itu, Allah tidak memerintahkan kita untuk melawan, tetapi untuk berpaling. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita menjaga kehormatan diri.

Jangan turunkan martabatmu hanya untuk menjawab hinaan. Jangan beri panggung pada kebodohan dengan membalasnya dalam nada yang sama.

Siapa yang menyakitimu, jangan balas menyakitinya. Siapa yang menahan hakmu, tetaplah engkau tunaikan haknya. Siapa yang memutuskan silaturahmi, sambunglah ia. Dan siapa yang menzalimimu, jangan kau balas dengan dendam, namun cukup dengan keadilan.

Di situlah kekuatan seorang mukmin terlihat: bukan pada kerasnya balasan, tetapi pada kokohnya akhlak saat diuji. Bukan pada tangan yang membalas, tetapi pada hati yang mampu menahan.

Teladan dalam Kehidupan Nyata

Kita hidup di tengah masyarakat yang tidak sempurna, dan memang tidak harus sempurna. Setiap hari, kita akan berhadapan dengan orang-orang yang tidak seperti yang kita harapkan: yang keras ucapannya, lambat dalam berbuat baik, pelit dalam memuji, dan ringan dalam menyakiti.

Namun justru di situlah ujian dari ayat ini berbicara. Ia mengajarkan bahwa ketinggian akhlak tidak terletak pada kemudahan menghadapi orang yang baik, tetapi pada kemampuan menjaga diri saat berhadapan dengan yang sulit.

Ketika engkau menahan diri dari membalas sindiran di ruang kerja, atau ketika engkau memilih memberi maaf sebelum diminta, atau saat engkau memberi masukan tanpa menyudutkan, di sanalah ruh dari ayat ini hidup dalam perbuatanmu.

Menjadi pribadi yang memaafkan bukan kelemahan, itu kematangan. Menyeru kepada kebaikan bukan pencitraan, itu dakwah. Berpaling dari kebodohan bukan lari dari masalah, itu penjagaan martabat. Karena kekuatan sejati bukan hanya terletak pada kata, tetapi pada kendali atas diri sendiri.

Penutup

Dalam dunia yang semakin bising dengan kemarahan dan saling menyalahkan, ayat ini datang seperti embun pagi di atas tanah yang kering.

Ia mengajarkan bahwa kemuliaan tidak selalu tampak dalam sorotan manusia, tapi justru hidup dalam sikap diam yang bijaksana, dalam maaf yang tak diumumkan, dan dalam ajakan lembut yang menghindari luka.

Ambillah maaf, karena itu membebaskan dirimu sendiri. Serukan kebaikan, karena dunia butuh suara yang menguatkan. Berpalinglah dari kebodohan, karena engkau bukan cermin bagi mereka yang mencela.

Bukan perkara mudah. Tapi bukankah surga memang disiapkan untuk mereka yang menahan amarah, memaafkan kesalahan, dan berjalan di atas jalan sabar?

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang luas hatinya, lembut lisannya, dan kuat dalam menahan dirinya. Dan semoga ayat ini tak hanya tinggal di lembar mushaf, tapi tumbuh dalam laku hidup kita sehari-hari.

Ditulis oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc

Rujukan:

Tafsīr Karīm ar-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān karya Syaikh ‘Abdurraḥmān bin Nāshir as-Sa‘dī raḥimahullāh, pada penafsiran Surat Al-A‘rāf ayat 199.

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama