Menjaga Lisan untuk Kedamaian Hati dan Jiwa

menjaga lilsan

Menjaga Lisan dalam Islam: Antara Ucapan Baik, Buruk, dan Meragukan

Pendahuluan

Pernahkah kita menyesal setelah lidah kita meluncurkan kata-kata? Sudah terlanjur keluar, tak mungkin kembali. Seandainya bisa ditarik, tentu kita ingin segera menelannya kembali. Betapa banyak hati yang hancur oleh sepatah ucapan, dan betapa banyak pula jiwa yang bangkit karena sebaris kata penuh makna.

Kata-kata itu ibarat pisau. Di tangan yang bijak, ia menjadi alat untuk mengupas buah kebaikan, memberi manfaat bagi semua. Tetapi di tangan yang lalai, ia bisa menjadi senjata yang melukai, bahkan membunuh perasaan orang lain. Begitu besar pengaruhnya, sampai-sampai kehidupan manusia diatur oleh lisan.

Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberi pedoman yang sederhana tetapi dalam maknanya:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Hadis ini mengingatkan kita: iman itu bukan hanya di hati, tetapi juga terpancar dari lisan. Bila ucapan membawa kebaikan, ucapkanlah. Jika tidak, diam adalah jalan keselamatan.

Nilai Sebuah Ucapan

Kata-kata adalah cermin hati dan akal. Dari ucapan seseorang, kita bisa melihat isi pikirannya dan membaca keadaan jiwanya. Lisan adalah pintu yang membuka rahasia hati. Bila hati bening, keluar darinya kata-kata yang lembut, menyejukkan, dan menenangkan. Tetapi bila hati keruh, dari lisannya mengalir ucapan yang kasar, menyakitkan, dan melukai.

Ucapan bisa menjadi pilar yang membangun. Berapa banyak rumah tangga yang kokoh karena pasangan saling menukar kata-kata penuh kasih. Berapa banyak persahabatan bertahan karena dipelihara dengan kalimat yang baik. Sebaliknya, ucapan juga bisa meruntuhkan. Sepatah kata hinaan mampu memutus silaturahmi, bahkan memicu permusuhan yang panjang.

Al-Qur’an mengingatkan kita bahwa setiap ucapan manusia tidak pernah luput dari pengawasan. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di sisinya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Ayat ini membuat kita sadar: lidah bukan sekadar daging kecil di dalam mulut, melainkan penentu besar kecilnya pahala dan dosa. Setiap kata tercatat, setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban.

Tiga Keadaan Ucapan

Bila seseorang merenungkan lisannya, ia akan mendapati bahwa ucapan yang keluar hanya berada dalam tiga keadaan. Tidak lebih.

  1. Ucapan yang Jelas Baik

Inilah ucapan yang mendatangkan cahaya. Dzikir yang menghidupkan hati, doa yang menenangkan jiwa, nasihat yang menyadarkan, dan kata-kata lembut yang menyembuhkan luka. Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Kebaikan itu bukan hanya di masjid atau majelis ilmu. Ucapan sederhana seperti “terima kasih”, “maaf”, atau “semoga Allah memberkahimu” adalah kebaikan yang sering diremehkan, padahal bisa menjadi sebab turunnya kasih sayang Allah. Maka janganlah ragu menyebarkan kata-kata baik.

  1. Ucapan yang Jelas Buruk

Sebaliknya, ada ucapan yang nyata keburukannya. Itulah ghibah, fitnah, ejekan, dusta, adu domba, dan semisalnya. Kata-kata ini laksana racun yang merusak ukhuwah, menimbulkan kebencian, bahkan mengundang dosa besar.

Betapa banyak persahabatan pecah hanya karena satu kalimat yang dibumbui ghibah. Betapa banyak keluarga tercerai-berai karena fitnah yang diulang-ulang. Lidah lebih tajam daripada pedang; pedang hanya melukai badan, tetapi ucapan bisa menembus hati, meninggalkan bekas yang lama tak hilang.

  1. Ucapan yang Meragukan

Ada pula ucapan yang tidak jelas: apakah ia kebaikan atau keburukan. Di sinilah iman diuji. Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ

“Barang siapa menjaga diri dari perkara yang samar, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” (HR. Al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)

Dan beliau juga bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2518, An-Nasa’i no. 5727, dinyatakan sahih oleh Al-Albani)

Orang beriman akan lebih memilih diam bila ragu. Sebab kehati-hatian adalah bentuk kecerdasan iman. Lebih baik kehilangan satu kesempatan bicara daripada kehilangan kehormatan dan keselamatan di sisi Allah.

Menjaga Lisan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Menjaga lisan bukanlah perkara mudah. Lidah itu ringan, tetapi dampaknya berat. Karena itu, orang beriman dituntut untuk melatih diri agar setiap kata yang keluar tidak menjadi beban di akhirat kelak.

Langkah pertama adalah berpikir sebelum berbicara. Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah yang akan aku ucapkan ini bermanfaat, atau justru membawa mudarat?” Bila jawabannya ragu, diam lebih selamat. Diam bukan berarti kalah, justru ia tanda kedewasaan.

Kedua, membatasi pembicaraan yang sia-sia. Banyak orang terbiasa berbicara panjang lebar tanpa arah, hingga akhirnya tergelincir pada senda gurau yang berlebihan, lalu berubah menjadi celaan atau ghibah. Padahal, betapa banyak kalimat tak berguna yang membuat majelis menjadi hampa dari keberkahan.

Ketiga, membiasakan dzikir dan doa. Lisan yang terbiasa menyebut nama Allah akan terjaga dari perkataan buruk. Orang yang basah lisannya dengan subhanallah dan alhamdulillah lebih sedikit peluangnya untuk melontarkan kata kotor atau menyakiti hati.

Keempat, membudayakan kalimat positif dalam kehidupan sehari-hari. Kata “terima kasih” melembutkan hati, kata “maaf” meredakan amarah, dan kata “insya Allah” menumbuhkan harapan. Sekecil apa pun ucapan baik, ia bisa menjadi obat bagi hati yang sedang terluka.

Bayangkan suasana sebuah rumah. Jika setiap anggota keluarganya terbiasa dengan ucapan lembut, rumah itu akan dipenuhi ketenteraman. Tetapi bila lidah dibiarkan liar dengan teriakan, caci-maki, dan kata kasar, rumah itu akan terasa sempit, meski luas bangunannya.

Menjaga lisan adalah seni hidup yang membutuhkan latihan. Ia bukan sekadar menahan kata, tetapi mengubah lisan menjadi sumber kebaikan. Dari mulut yang terjaga akan lahir kehidupan yang damai, baik dalam rumah tangga, pertemanan, maupun masyarakat luas.

Buah Manis dari Menjaga Ucapan

Setiap amal ada buahnya. Demikian pula dengan menjaga ucapan. Lisan yang terjaga akan memancarkan ketenangan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang di sekitarnya.

Orang yang terbiasa berkata baik akan memandang dunia dengan hati yang lapang. Wajahnya berseri, tutur katanya menyejukkan, dan kehadirannya membawa rasa aman. Ia dihormati bukan karena harta atau kedudukan, melainkan karena lisannya menjadi sumber ketenangan. Kata-katanya menumbuhkan kepercayaan, hingga orang lain senang berada di dekatnya.

Sebaliknya, orang yang membiarkan lisannya liar akan menuai kegelisahan. Hatinya keras, wajahnya suram, dan banyak orang menjauh karena takut terluka oleh ucapannya. Ia mungkin tampak menang dalam perdebatan, tetapi sejatinya kalah dalam harga diri.

Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, maka aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Al-Bukhari no. 6474)

Betapa besar janji Allah bagi mereka yang berhati-hati dengan ucapan. Menjaga lisan berarti menjaga agama dan kehormatan. Buahnya adalah ketenteraman di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.

Penutup

Lisan adalah anugerah sekaligus ujian. Dari lisannya, manusia bisa naik derajat setinggi langit, atau jatuh sedalam jurang kehinaan. Setiap kata akan ditimbang, setiap ucapan akan dipertanggungjawabkan. Karena itu, tidak ada jalan yang lebih selamat kecuali berhati-hati sebelum berbicara.

Renungkanlah tiga keadaan ucapan: bila jelas kebaikannya, ucapkanlah; bila jelas keburukannya, tahanlah; bila meragukan, tinggalkanlah. Inilah jalan selamat yang diajarkan Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah menjadikan lisan kita senantiasa basah dengan dzikir, lembut dengan doa, dan penuh dengan kata-kata yang menebarkan kebaikan. Sebab lisan yang terjaga adalah benteng kehormatan di dunia, dan tiket menuju surga di akhirat.

Tulisan ini dikembangkan oleh Hafizh Abdul Rohman, Lc., berdasarkan karya Prof. Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr yang dimuat di situs resmi beliau: al-badr.net/muqolat/8270.

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama