Kunci Kesabaran: Menahan Dendam dan Meyakini Pertolongan Allah

menahan dendam

Menahan Dendam dan Meyakini Pertolongan Allah

Pendahuluan

Kesabaran adalah jalan panjang yang tidak selesai dalam sekali langkah. Ia ibarat tangga yang harus dinaiki setahap demi setahap, dengan setiap pijakan menghadirkan pelajaran baru. Setelah pada bagian pertama kita menyingkap lima kunci sabar dalam menghadapi gangguan manusia, kini kita berlanjut pada bagian kedua. Di sini, kita akan menemukan lima kunci lain yang semakin meneguhkan hati: dari kesadaran bahwa setiap amal akan berbalas setimpal, hingga keyakinan bahwa Allah selalu menyertai hamba yang bersabar.

Bagian ini bukan sekadar nasihat, tetapi ajakan untuk menengok ke dalam diri: bagaimana kita memandang dendam, bagaimana kita menilai waktu hidup, bagaimana kita meneladani Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, dan bagaimana kita percaya bahwa bersama kesabaran ada pertolongan Allah.

    1. Memahami bahwa setiap perbuatan akan dibalas sesuai dengan jenis amal yang dilakukan

Di antara faedah terbesar yang membantu seorang hamba untuk bersabar adalah menyadari bahwa balasan selalu sejalan dengan amal perbuatan. Barang siapa memaafkan kesalahan manusia, maka Allah akan memaafkan dosa-dosanya. Barang siapa melapangkan dada terhadap orang lain, maka Allah pun akan melapangkan urusannya.

Dengan demikian, sikap pemaaf dan lapang dada bukanlah kelemahan, melainkan sebab turunnya ampunan Allah. Seorang hamba yang menyadari hal ini akan lebih mudah menahan amarah, memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, dan bersabar atas gangguan yang ia terima.

Allah mencintai orang-orang yang suka memberi maaf, dan Dia menjadikan ampunan mereka terhadap sesama sebagai sebab turunnya ampunan-Nya bagi mereka. Maka siapa saja yang ingin mendapatkan ampunan Allah, hendaknya ia terlebih dahulu memaafkan hamba-hamba-Nya.

    1. Mengetahui bahwa jika hati terus disibukkan dengan dendam dan keinginan untuk membalas, maka waktunya akan terbuang sia-sia dan pikirannya menjadi kacau

Apabila seseorang menyibukkan dirinya dengan dendam dan terus mencari kesempatan untuk membalas, maka sebenarnya ia telah membuang umurnya dan menghabiskan waktunya tanpa manfaat. Kesibukan ini tidak hanya menyita masa hidupnya, tetapi juga merusak ketenangan hati, memecah pikirannya, dan membuatnya kehilangan banyak kemaslahatan yang lebih berharga.

Sebaliknya, ketika ia mampu memaafkan dan berlapang dada, hatinya akan dipenuhi dengan ketenteraman. Ia akan merasakan kelapangan jiwa dan kegembiraan yang jauh lebih besar daripada kepuasan sesaat dari balas dendam. Bahkan manfaat ini menjadi lebih penting baginya dibandingkan keinginan untuk membalas.

Karena itu, hamba yang berakal seharusnya melihat bahwa waktunya terlalu berharga untuk dihabiskan dalam kemarahan dan rencana pembalasan. Lebih baik ia mengalihkannya kepada kesabaran dan memaafkan, sehingga waktunya tetap terjaga, hatinya tetap tenang, dan ia meraih pahala yang agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

    1. Bahwa dendamnya, tuntutannya untuk mendapatkan balasan penuh, upayanya membela diri, dan balas dendamnya demi nafsunya sendiri, semuanya hanyalah untuk dirinya semata

Seorang hamba hendaknya memahami bahwa sikap dendam, keinginan untuk membalas secara penuh, serta membela diri semata-mata demi nafsunya, tidaklah melahirkan kemuliaan. Itu semua hanya untuk memuaskan dorongan dirinya sendiri.

Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membalas dendam untuk kepentingan pribadi. Padahal beliau adalah manusia paling mulia, paling sempurna akhlaknya, paling tinggi kedudukannya, dan paling jauh dari sifat-sifat tercela. Namun beliau tidak pernah marah atau membalas dendam demi dirinya, kecuali jika kehormatan Allah dinodai, maka beliau akan marah karena Allah semata.

Dari Aisyah Radhiyallāhu ‘anhā disebutkan:

مَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ حَتَّى تَنْتَهِكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ

Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membalas dendam untuk dirinya dalam perkara apa pun, kecuali jika larangan Allah dilanggar, maka beliau membalas demi Allah.” (HR. al-Bukhārī no. 6853 dan Muslim no. 2327)

Maka seorang mukmin seharusnya menjadikan akhlak Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan. Ia tidak layak membalas demi nafsunya, sebab kemuliaan sejati terletak pada menahan diri, bersabar, dan memaafkan. Membalas demi kepentingan pribadi hanyalah mengikuti hawa nafsu, sedangkan menahan diri adalah tanda ketakwaan.

    1. Apabila ia disakiti karena sesuatu yang ia lakukan demi Allah, maka sudah semestinya ia bersabar dan tidak boleh membalas dendam.

Apabila seseorang disakiti karena sesuatu yang ia lakukan demi Allah, baik berupa ketaatan atau menjauhi maksiat, maka wajib baginya untuk bersabar dan tidak membalas dendam. Sesungguhnya ia sedang menanggung sesuatu di jalan Allah, dan pahalanya telah Allah janjikan. Inilah yang dialami para mujahid di jalan Allah yang rela kehilangan nyawa dan harta mereka demi agama, tanpa meminta balasan kepada manusia.

Apabila ia merasa tersakiti karena suatu musibah, hendaknya ia memusatkan perhatian untuk mencela dan mengoreksi dirinya sendiri. Dengan begitu, ia terhindar dari sikap sibuk menyalahkan orang lain yang menyakitinya.

Bila seorang hamba disakiti karena perkara dunia, hendaknya ia melatih dirinya sebagaimana para pedagang melatih kesabaran saat menghadapi kerugian, keributan, perjalanan jauh, panas terik, hujan, atau dingin. Mereka tetap bersabar demi keuntungan duniawi yang mereka harapkan. Maka seorang mukmin lebih utama untuk bersabar demi keuntungan akhirat, karena balasan dari Allah jauh lebih besar dan lebih mulia.

    1. Meyakini bahwa Allah Selalu Menyertainya Apabila Ia Bersabar

Seorang hamba hendaknya meyakini bahwa kesabaran tidak pernah sia-sia. Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar dengan ma‘iyyah-Nya, yaitu kebersamaan khusus yang penuh dengan pertolongan, penjagaan, perlindungan, dan kasih sayang. Siapa yang bersabar, ia akan memperoleh cinta dan rida Allah.

Firman Allah Ta‘ala:

وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfāl: 46)

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Āli ‘Imrān: 146)

Kesadaran ini akan mengalihkan hati seorang mukmin dari keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang menyakitinya. Sebaliknya, ia akan berusaha mengokohkan dirinya dengan keyakinan bahwa pertolongan Allah lebih besar daripada segala bentuk perlawanan manusia. Ia pun akan merasa tenang, karena yakin bahwa dalam setiap kesabarannya tersimpan kasih sayang, cinta, dan penjagaan Allah yang tidak mungkin tertandingi oleh siapa pun.

Penutup

Hidup ini selalu mempertemukan kita dengan gangguan, baik kecil maupun besar. Namun lima kunci sabar yang dipaparkan pada bagian kedua ini mengajarkan, bahwa dendam hanya menguras hidup, sementara sabar justru mengisinya dengan makna. Membalas demi hawa nafsu tidak akan pernah meninggikan derajat, tetapi menahan diri dan memaafkan akan mendatangkan kemuliaan sejati.

Dan yang terpenting, seorang mukmin tidak pernah sendiri. Setiap kali ia memilih sabar, Allah menemaninya dengan kasih sayang dan pertolongan-Nya. Keyakinan ini menjadikan sabar bukan lagi beban, melainkan sumber kekuatan. Dari sinilah seorang hamba akan melangkah lebih kokoh menuju derajat yang tinggi di sisi Allah.

Tulisan ini dikembangkan oleh Hafizh Abdul Rohman, Lc., berdasarkan kitab الأُمُورُ الْمُعِينَةُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى أَذَى الْخَلْقِ (Kunci-Kunci Sabar dalam Menghadapi Gangguan Manusia) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang dikomentari oleh Prof. Dr. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr, yang dimuat pada situs resmi beliau: https://www.al-badr.net/ebook/159.

Ini merupakan artikel berseri dari Kunci Sabar Menghadapi Gangguan Manusia , artikel selanjutnya bisa dibaca di tautan yang akan segera kita rilis.

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama