Menyadari Takdir Allah dan Indahnya Memaafkan
Pendahuluan
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti akan bersinggungan dengan orang lain. Dan dari pertemuan itulah lahir kenyataan yang tak bisa dihindari: ada ucapan yang menyenangkan hati, tetapi ada pula sikap yang melukai perasaan. Seakan-akan kehidupan memang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta‘ala penuh dengan ujian berupa gangguan sesama manusia. Namun di situlah letak kemuliaannya, apakah kita akan menuruti nafsu dengan membalas, ataukah menahan diri dengan sabar.
Sabar bukan sekadar menekan amarah. Ia adalah kesanggupan hati untuk melihat segala sesuatu dengan pandangan yang lebih tinggi, bahwa semua terjadi dalam genggaman takdir Allah, bahwa gangguan orang lain tak lepas dari dosa-dosa kita sendiri, dan bahwa memaafkan justru membuka pintu kemuliaan. Di titik inilah manusia diajak untuk berjuang, bukan di medan perang, melainkan di medan batin, peperangan melawan dendam, iri, dan keinginan untuk membalas.
Artikel ini adalah bagian pertama dari rangkaian 20 Kunci-Kunci Sabar dalam Menghadapi Gangguan Manusia, dan pada bagian awal ini akan dipaparkan lima kunci utama sebagai pondasi untuk menapaki jalan kesabaran.
-
- Menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala-lah yang menciptakan setiap perbuatan manusia
Seorang hamba hendaknya meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan manusia, tidaklah lepas dari ciptaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Gerakan, diam, serta seluruh aktivitas manusia berlangsung sesuai dengan takdir dan ketentuan-Nya. Allah berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki sesuatu kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwīr: 29)
Dengan menyadari hal ini, seorang mukmin akan memahami bahwa orang-orang yang menyakitinya tidak bertindak atas kehendak mereka sendiri semata, tetapi dalam lingkup takdir Allah. Pandangan ini membuat hati lebih tenang, tidak dikuasai dendam, serta lebih mudah menerima cobaan dengan penuh kesabaran.
-
- Menginsafi dosa-dosanya, dan meyakini bahwa Allah membiarkan orang lain menyakitinya tidak lain karena kesalahannya sendiri
Seorang hamba hendaknya menyadari bahwa segala musibah dan gangguan yang menimpanya merupakan akibat dari dosa-dosanya sendiri. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan banyak kesalahan.” (Asy-Syūrā: 30)
Jika seorang hamba menginsafi bahwa semua yang menimpanya adalah buah dari dosanya, maka ia tidak sibuk menyalahkan manusia, tetapi justru kembali kepada Allah dengan taubat dan istighfar. Dengan cara itu, ia akan terbebas dari sikap mendendam, menyalahkan, dan merendahkan orang lain.
Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu berkata, “Seorang hamba tidak mengharapkan kecuali Tuhannya, dan tidak takut kecuali karena dosanya.”
Diriwayatkan pula darinya dan selainnya, “Tidaklah suatu bala’ turun kecuali karena dosa, dan tidaklah bala’ itu diangkat kecuali dengan taubat.”
Kesadaran ini membuat seorang mukmin memandang setiap gangguan sebagai kesempatan untuk kembali kepada Allah, bukan sebagai alasan untuk menambah dosa dengan membalas kejahatan.
-
- Mengingat besarnya pahala yang Allah janjikan bagi orang yang mampu memaafkan dan tetap bersabar
Seorang hamba perlu menyadari bahwa pahala yang sangat besar telah Allah janjikan bagi siapa saja yang mampu menahan diri, memaafkan, dan tetap bersabar. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal dengannya. Tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syūrā: 40)
Dalam menghadapi gangguan, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, orang zalim yang melampaui batas dengan mengambil lebih dari haknya. Kedua, orang yang adil yang mengambil sekadar haknya. Ketiga, orang yang berbuat ihsan dengan memaafkan dan meninggalkan haknya. Ayat ini menyebutkan ketiga golongan tersebut, namun Allah menegaskan bahwa pahala agung dijanjikan khusus bagi mereka yang sanggup memaafkan dan memperbaiki keadaan.
Pada hari kiamat kelak akan terdengar panggilan, “Siapa saja yang pahalanya wajib atas Allah, hendaklah berdiri.”1 Tidak ada yang berdiri kecuali mereka yang suka memaafkan dan berusaha memperbaiki. Kesadaran akan janji ini akan menumbuhkan kelapangan hati, menjauhkan seorang hamba dari dendam, serta mendorongnya memilih jalan sabar dan maaf, jalan yang lebih mulia dan lebih tinggi nilainya di sisi Allah.
-
- Menyakini bahwa sikap memaafkan dan berbuat baik akan melahirkan ketulusan hati terhadap sesama saudaranya
Seorang hamba hendaknya meyakini bahwa memaafkan dan berbuat baik bukanlah kerugian, melainkan sebab datangnya ketenangan hati dan kebersihan jiwa dari rasa benci, dengki, serta keinginan untuk membalas dendam. Dengan memaafkan, hati menjadi lebih lapang dan jernih, serta terhindar dari beban yang menyesakkan dada.
Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (Āli ‘Imrān: 134)
Orang yang menahan amarah, kemudian memilih untuk memaafkan, akan merasakan manisnya sabar dan indahnya memaafkan. Hal ini memberikan manfaat yang jauh lebih besar dibanding sekadar memuaskan nafsu dengan membalas dendam. Bahkan, kegembiraan yang diperoleh karena ridha Allah akan jauh lebih besar daripada kegembiraan sesaat akibat balas dendam.
-
- Menyadari bahwa siapa pun yang membalas dendam demi dirinya sendiri, pada akhirnya justru akan merasakan kehinaan di dalam hatinya
Seorang hamba perlu memahami bahwa membalas dendam demi kepentingan dirinya sendiri tidak pernah menghasilkan kemuliaan, melainkan akan meninggalkan rasa hina dan rendah di dalam hati. Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Tidaklah Allah menambah kemuliaan seorang hamba karena sifat pemaaf, kecuali dengan kemuliaan yang lebih besar.” (HR. Muslim no. 2588 dari Abu Hurairah Radhiyallāhu ‘anhu)
Banyak orang beranggapan bahwa harga diri hanya dapat dipertahankan dengan membalas dendam. Padahal kenyataannya, membalas dendam justru melahirkan kehinaan batin, sementara memaafkan melahirkan kemuliaan yang sejati. Inilah makna sabda Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa kemuliaan hakiki tidak terletak pada balas dendam, tetapi pada kelapangan hati untuk memaafkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh menjelaskan bahwa balas dendam mungkin saja menampakkan kekuatan secara lahiriah, tetapi pada hakikatnya menanamkan kehinaan di dalam batin. Sebaliknya, memaafkan mungkin terlihat seperti kelemahan, namun sesungguhnya itulah kemuliaan yang hakiki, baik secara lahir maupun batin.
Penutup
Sesungguhnya, kemuliaan seorang mukmin tidak diukur dari seberapa keras ia membalas orang yang menyakitinya, melainkan seberapa lapang ia memaafkan. Balas dendam hanya melahirkan kehinaan yang tak terlihat, sementara maaf menumbuhkan keagungan yang abadi. Itulah jalan yang ditempuh para nabi, para sahabat, dan orang-orang shalih: jalan yang seakan berat, tetapi sebenarnya ringan bila hati telah mengenal Allah.
Maka, ketika kita disakiti, janganlah tergesa menaruh dendam. Lihatlah gangguan itu sebagai panggilan Allah agar kita kembali kepada-Nya dengan taubat, sabar, dan doa. Sebab pada akhirnya, dunia ini hanya singgah sebentar. Apa artinya luka kecil dari manusia dibanding janji kemuliaan di sisi Allah. Sungguh, jalan sabar adalah jalan orang-orang besar.
Tulisan ini dikembangkan oleh Hafizh Abdul Rohman, Lc., berdasarkan kitab الأُمُورُ الْمُعِينَةُ عَلَى الصَّبْرِ عَلَى أَذَى الْخَلْقِ (Kunci-Kunci Sabar dalam Menghadapi Gangguan Manusia) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang dikomentari oleh Prof. Dr. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr, yang dimuat pada situs resmi beliau: https://www.al-badr.net/ebook/159.
Footnote:
1 Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Hātim, Ibnu Mardawaih, dan al-Baihaqī dalam Syu‘ab al-Īmān dari Ibnu ‘Abbās dan Anas Radhiyallāhu ‘anhumā. Lihat: ad-Durr al-Mantsūr karya as-Suyūthī (7/359).
Ini merupakan artikel berseri dari Kunci Sabar Menghadapi Gangguan Manusia , artikel selanjutnya bisa dibaca di tautan ini.
