الصِّدْقُ (Kejujuran)
A. Pengertian Kejujuran
Secara bahasa, kata الصِّدْقُ berarti lawan dari الكَذِب (dusta). Di antara turunannya adalah Shadaqah, dan istilah shidqul-ḥadīts berarti “ucapan yang benar dan sesuai kenyataan”.
Secara istilah, kejujuran adalah menyampaikan informasi atau perkataan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Maka, lawannya adalah dusta, yaitu menyampaikan sesuatu yang berbeda dari realitas.
B. Perbedaan antara Kejujuran dan Kesetiaan
Sebagian ulama menyebutkan bahwa antara kejujuran (shidq) dan kesetiaan (wafā’) terdapat hubungan umum dan khusus. Setiap sikap setia adalah bagian dari kejujuran, namun tidak semua bentuk kejujuran disebut kesetiaan.
Kesetiaan dapat ditunjukkan dalam perbuatan tanpa harus melalui ucapan, sementara kejujuran hanya berlaku dalam ucapan, karena ia termasuk bagian dari khabar (penyampaian informasi), dan khabar hanya terjadi dengan kata-kata.
C. Anjuran Bersikap Jujur dalam Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur’an dan hadis memberikan perhatian besar terhadap kejujuran sebagai dasar utama akhlak seorang Muslim.
-
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119)
-
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā juga berfirman:
قَالَ ٱللَّهُ هَٰذَا يَوۡمُ يَنفَعُ ٱلصَّٰدِقِينَ صِدۡقُهُمۡۚ لَهُمۡ جَنَّٰتٞ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
“Allah berfirman: Inilah hari ketika kejujuran orang-orang yang jujur bermanfaat bagi mereka. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. Al-Mā’idah: 119)
-
Dari Abdullah bin Mas‘ūd Radhiyallāhu ‘anhu, Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan senantiasa berkata jujur dan berusaha menjaga kejujurannya hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur (shiddīq). Dan jauhilah oleh kalian dusta, karena dusta akan membawa kepada kefajiran, dan kefajiran akan menyeret ke neraka. Seseorang akan senantiasa berdusta hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
D. Perkataan Salaf dan Para Ulama tentang Kejujuran
Para ulama terdahulu (salaf) dan tokoh-tokoh besar Islam sangat menekankan pentingnya kejujuran dalam kehidupan seorang Muslim. Berikut beberapa pernyataan mereka:
Abu Bakar ash-Shiddīq Radhiyallāhu ‘anhu, ketika dibaiat menjadi khalifah, berkata:
“Kejujuran adalah amanah, dan dusta adalah pengkhianatan.”
Al-Fudhail bin ‘Iyādh rahimahullāh berkata:
“Tidak ada bagian tubuh yang lebih dicintai Allah selain lisan yang jujur. Dan tidak ada bagian tubuh yang lebih dibenci Allah selain lisan yang suka berdusta.”
Dikatakan pula oleh sebagian ulama:
“Termasuk kemuliaan dari kejujuran adalah seseorang tetap jujur kepada musuhnya.”
E. Manfaat dan Dampak Positif Kejujuran
Kejujuran bukan hanya kebaikan dalam ucapan, namun memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan pribadi dan sosial. Di antara manfaat dan buah dari kejujuran adalah:
-
Menjaga kemurnian akidah.
-
Siap berkorban demi membela agama.
-
Dicintai orang-orang saleh dan dikelilingi oleh orang-orang jujur.
-
Teguh di atas jalan yang lurus.
-
Terhindar dari situasi yang menimbulkan kecurigaan.
-
Menepati janji dan bersungguh-sungguh dalam menepatinya.
F. Cara agar Terbiasa Bersikap Jujur
Agar seorang Muslim dapat membiasakan diri dalam kejujuran, maka ia perlu menempuh beberapa upaya penting berikut:
-
Selalu merasa diawasi oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā (murāqabah).
-
Menanamkan rasa malu kepada Allah dan kepada manusia.
-
Berkumpul dan bersahabat dengan orang-orang yang jujur.
-
Menanamkan budaya kejujuran dalam keluarga sejak dini.
-
Berdoa kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk selalu jujur.
-
Menyadari ancaman Allah terhadap orang-orang yang berdusta dan ancaman azab bagi orang yang suka mengada-ada.
G. Contoh-Contoh Kejujuran
1. Kejujuran Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam
Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling jujur, paling baik, paling sempurna ilmunya, amalnya, lisannya, dan keyakinannya. Beliau sangat dikenal oleh kaumnya sebagai orang yang jujur, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang meragukannya. Sejak sebelum diutus menjadi nabi, beliau telah diberi julukan oleh kaumnya dengan sebutan “Al-Amīn Al-Mashdūq” (orang yang terpercaya lagi jujur).
Dalam peristiwa yang terkenal, ketika Raja Heraklius dari Romawi bertanya kepada Abu Sufyan tentang sifat-sifat Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam, salah satu pertanyaannya adalah:
“Apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum dia mengaku sebagai nabi?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak.” Maka Heraklius berkata: “Kalau begitu, tidak mungkin dia meninggalkan sifat jujur kepada manusia, lalu tiba-tiba berdusta atas nama Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Kejujuran Ka‘b bin Mālik Radhiyallāhu ‘anhu
Ka‘b bin Mālik Radhiyallāhu ‘anhu adalah salah satu sahabat Nabi yang selamat dari murka Allah karena kejujurannya. Dalam kisah panjang tentang ketidakhadirannya dalam Perang Tabuk, beliau berkata:
“Ketika aku mendengar bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam telah kembali dari Tabuk, aku diliputi kegelisahan. Aku mulai memikirkan untuk membuat alasan dusta, dan bertanya kepada keluargaku bagaimana caranya agar aku bisa lolos dari kemarahan beliau.
Namun saat aku diberitahu bahwa Rasulullah telah benar-benar datang, maka semua pikiran bohong itu hilang dari benakku. Aku sadar bahwa aku tidak akan bisa keluar dari persoalan ini dengan kebohongan. Maka aku bertekad untuk berkata jujur.
Ketika aku datang dan mengucapkan salam kepada beliau, beliau tersenyum dengan wajah yang tampak tidak senang, lalu berkata, ‘Kemari.’ Maka aku pun berjalan hingga duduk di hadapan beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu tidak ikut? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?’
Aku menjawab, ‘Benar, wahai Rasulullah. Demi Allah, kalau aku sedang bersama orang lain di dunia ini, aku pasti bisa membuat alasan agar dia tidak marah. Aku memang pandai berbicara. Tapi demi Allah, aku tahu kalau hari ini aku berkata dusta untuk menyenangkan engkau, Allah pasti akan membuatmu murka kepadaku. Tapi jika aku berkata jujur, meskipun engkau marah, aku berharap Allah akan mengampuni aku. Demi Allah, aku tidak punya alasan. Aku tidak pernah dalam kondisi sekuat dan semudah ini seperti saat aku tidak ikut berangkat bersama engkau.’”
Maka Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Adapun orang ini, maka sungguh dia telah berkata jujur. Berdirilah sampai Allah memberi keputusan kepadamu.”
Ka‘b berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku dengan sebab kejujuranku. Dan bagian dari taubatku adalah aku tidak akan berkata kecuali yang jujur sepanjang hidupku.”
Demi Allah, sejak aku mengatakan hal itu kepada Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam, aku tidak pernah sengaja berdusta sama sekali hingga hari ini. Dan aku berharap Allah akan menjaga diriku dalam sisa umurku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
H. Bentuk-Bentuk Kejujuran
Kejujuran tidak hanya ada dalam ucapan. Dalam Islam, kejujuran bisa muncul dalam banyak sisi kehidupan seorang Muslim. Di antara bentuk kejujuran yang perlu dibiasakan adalah:
-
Kejujuran dalam lisan: berkata jujur, tidak berdusta, dan tidak memutarbalikkan kenyataan.
-
Kejujuran dalam niat dan kehendak: berniat yang baik dan benar karena Allah.
-
Kejujuran dalam tekad: bersungguh-sungguh untuk melakukan kebaikan.
-
Kejujuran dalam menepati niat dan janji: menjalankan apa yang sudah diniatkan dan dijanjikan.
-
Kejujuran dalam perbuatan: berbuat sesuai dengan apa yang dikatakan, tidak berpura-pura.
-
Kejujuran dalam menjalani agama: bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah dan aturan agama, tidak main-main.
I. Hal-Hal yang Merusak Kejujuran
Beberapa hal yang bisa merusak dan menghilangkan nilai kejujuran antara lain:
-
Dusta yang tersembunyi, seperti riya’, yaitu berbuat agar dipuji orang lain. Ini termasuk syirik kecil.
-
Berbuat bid‘ah, yaitu mengada-adakan ajaran agama yang tidak pernah diajarkan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa Sallam.
-
Terlalu banyak bicara, tanpa manfaat dan tanpa kontrol.
-
Menuruti hawa nafsu, yaitu mengikuti keinginan diri tanpa mempertimbangkan apakah itu benar atau salah.
-
Bertentangan antara ucapan dan perbuatan, misalnya berkata baik tapi berbuat yang sebaliknya.
J. Peribahasa dan Syair tentang Kejujuran
Orang Arab sejak dahulu sangat memuliakan kejujuran. Berikut beberapa peribahasa dan syair mereka:
الصِّدْقُ عِزٌّ، وَالكَذِبُ خُضُوعٌ
“Kejujuran itu kemuliaan, dan dusta itu kehinaan.” (Majma‘ al-Amtsāl, al-Maidānī, hlm. 408)
Seorang penyair berkata:
وَإِذَا الأُمُورُ تَرَاجَعَتْ فَالصِّدْقُ أَكْرَمُهَا انْتِسَاجًا
Ketika urusan mulai kacau dan lemah, kejujuran tetap menjadi jalan yang paling mulia untuk ditempuh.
الصِّدْقُ يُعْقِدُ فَوْقَ رَأْسِ خَلِيفِهِ بِالصِّدْقِ تَاجًا
Kejujuran mengangkat pemiliknya, dan meletakkan di atas kepalanya mahkota kemuliaan.
وَالصِّدْقُ يُفْلِحُ زِنْدَهُ فِي كُلِّ نَاحِيَةٍ سِرَاجًا
Kejujuran menyalakan cahaya dari tangan pemiliknya, menjadi pelita yang menerangi di segala arah. (Raudhatu ‘Uqalā’, Ibn Ḥibbān, hlm. 532)
Materi ini dialihbahasakan oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc.
Dialihbahasakan dari kitab: Mukhtashar Mausū‘til Akhlāq, disusun oleh bagian Ilmiah – Mu’assasah ad-Durar as-Saniyyah, di bawah supervisi: Syaikh ‘Alawī bin ‘Abdil Qādir as-Saqqāf.