Berbicara dengan Baik kepada Sesama Manusia
Pendahuluan
Pernahkah kita merasa begitu lega setelah berbicara dengan seseorang yang tahu cara menenangkan hati? Atau mungkin kita pernah merasa sebaliknya -hati terasa lebih berat setelah mendengar kata-kata yang kasar, meski niatnya mungkin baik? Inilah kekuatan kata-kata. Ia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan hati, tapi bisa juga menjadi tembok yang memisahkan jiwa.
Manusia, sejak awal penciptaannya, adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dan komunikasi. Kata-kata adalah alat utama untuk menyampaikan perasaan, membagikan pemikiran, dan mengekspresikan harapan. Tapi tidak semua ucapan membawa kebaikan. Sebuah kalimat bisa menyatukan hati yang jauh, tapi bisa juga memecah belah yang dekat. Lisan yang tak terjaga adalah seperti pedang tanpa sarung -ia bisa melukai siapa pun yang tersentuh. Maka, sudahkah kita memperhatikan apa yang keluar dari lisan kita? Sudahkah kita memilih kata-kata yang membangun, bukan yang meruntuhkan?
Berbicara dengan Baik kepada Sesama Manusia
Allah Ta‘ālā berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83)
Ayat ini mencakup banyak bentuk kebaikan dalam berbicara, seperti mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, mengajarkan ilmu, menyebarkan salam, menunjukkan wajah yang ramah, dan segala bentuk ucapan yang dapat menyenangkan hati orang lain. Sebab, tidak semua orang mampu berbuat baik dengan hartanya, namun setiap orang mampu berbuat baik dengan lisannya.
Maka, Allah memerintahkan kita untuk memperlakukan sesama dengan baik melalui ucapan yang lembut dan menyenangkan, sebagai bentuk kasih sayang dan akhlak mulia. Karena sering kali, kata-kata yang penuh kelembutan lebih dalam pengaruhnya daripada pemberian yang bersifat materi. Ucapan yang baik bisa menjadi sumber kedamaian, mempererat hubungan, dan menumbuhkan cinta di antara manusia.
Ini juga mencakup larangan untuk berkata kasar atau menyakiti hati orang lain, bahkan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Allah Ta‘ālā berfirman:
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yang paling baik.” (QS. Al-‘Ankabūt: 46)
Seorang mukmin seharusnya menjaga kesopanan dalam ucapan dan perbuatannya. Ia tidak boleh berkata kasar, mencaci maki, atau memperlakukan orang lain dengan cara yang menyakiti hati. Ia harus memiliki akhlak yang mulia, kesabaran yang luas, dan kesediaan untuk memaafkan serta bersabar atas gangguan dari orang lain. Semua ini dilakukan bukan hanya demi menjaga hubungan antarmanusia, tetapi juga untuk mengharapkan ridha Allah dan mendapatkan pahala yang besar di sisi-Nya.
Sebab, perkataan yang baik bukan hanya soal etika, tetapi juga cerminan dari hati yang bersih dan pikiran yang penuh ketenangan. Ucapan yang penuh kelembutan bisa menyatukan hati, mempererat persaudaraan, dan membuka pintu kebaikan yang lebih luas.
Penutupan
Mungkin ada saat-saat di mana kita merasa ingin melepaskan kemarahan, melontarkan kritik, atau membalas ucapan yang menyakitkan. Tapi sebelum melakukannya, renungkan sejenak: apa yang akan tersisa setelah itu? Apakah hubungan akan menjadi lebih erat, atau justru semakin renggang? Apakah hati akan merasa lebih tenang, atau justru lebih gelisah?
Kata-kata adalah cerminan hati. Ucapan yang lembut adalah tanda jiwa yang tenang, sementara kata-kata yang kasar adalah gambaran hati yang sedang bergolak. Maka, sebelum lisan kita bergerak, tanyakan pada hati: apakah ini akan mendekatkan kita kepada cinta-Nya, atau justru menjauhkan kita dari rahmat-Nya? Karena pada akhirnya, setiap kata yang terucap akan dimintai pertanggungjawaban di hari di mana semua lisan dibungkam, dan setiap anggota tubuh lainnya bersaksi di hadapan Allah.
Oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc
Rujukan:
Tafsīr as-Sa‘dī – Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, karya Syaikh ‘Abdurraḥmān bin Nāshir as-Sa‘dī raḥimahullāh,