Berbaik Sangka kepada Allah di Tengah Gelapnya Ujian

berbaik sangka

Boleh Jadi Engkau Membenci, Padahal Itu Baik Bagimu

Pendahuluan

Setiap dari kita pasti pernah merasakan pahitnya kenyataan yang tak sejalan dengan harapan. Gagal dalam meraih impian, kehilangan orang tercinta, musibah yang datang tanpa aba-aba, atau jalan hidup yang seolah menjauh dari rencana yang kita susun rapat. Di saat seperti itu, siapa pun bisa merasa limbung. Hati menjadi sempit, pikiran penuh kegelisahan, dan langkah terasa berat.

Namun, di tengah gelapnya ujian itu, Allah menghadirkan seberkas cahaya dalam firman-Nya yang agung:

وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal tidak baik bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini bukan sekadar penghiburan. Ia adalah kaidah hidup yang dapat menuntun setiap muslim menghadapi takdir dengan hati yang kuat dan pandangan yang jernih. Di sinilah letaknya solusi: menyandarkan hidup sepenuhnya kepada pengetahuan dan kehendak Allah, bukan pada logika dan persepsi kita yang terbatas.

Belajar Menilai Takdir dari Sudut Pandang yang Lebih Dalam

Ketika ayat ini turun, konteksnya adalah jihad -sesuatu yang berat bagi jiwa, namun penuh kebaikan di sisi Allah. Allah ingin mengajarkan, bahwa jangan tergesa menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya. Dalam surah An-Nisā’ ayat 19, Allah kembali menegaskan kaidah ini dalam konteks hubungan suami istri. Betapa banyak pernikahan yang diuji dengan ketidaksukaan, namun Allah menitipkan kebaikan besar di baliknya.

فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيْئًا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا

Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Qs. An-Nisa: 19)

Masalahnya, manusia cenderung menilai berdasarkan perasaan dan asumsi. Apa yang terasa pahit segera dianggap musibah, dan apa yang tampak indah langsung diasumsikan sebagai nikmat. Padahal, tidak jarang sebaliknya. Sakit bisa menyelamatkan kita dari maksiat, kehilangan bisa membimbing kita pada kedewasaan, dan jalan buntu justru membuka pintu-pintu yang lebih baik.

Apa yang Terjadi dalam Jiwa Seorang Mukmin Saat Ia Yakin pada Kaidah Ini

Saat seorang mukmin menanamkan kaidah ini dalam hatinya, ia akan melihat ujian hidup dari sudut pandang yang berbeda. Ia tidak lagi bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?” tetapi mulai merenung, “Apa pesan Allah di balik semua ini?” Inilah titik perubahan: dari kegelisahan menuju ketenangan, dari kekecewaan menuju penerimaan, dari keluh kesah menuju syukur.

Ia tetap berusaha, tapi hasil tidak lagi menjadi sumber kegelisahan. Ia tetap berdoa, tapi tidak memaksa takdir. Ia tetap berharap, tapi hatinya bersandar pada kehendak Allah yang Mahabijaksana. Di sinilah jiwa menjadi stabil -tidak runtuh oleh musibah, tidak lalai oleh kenikmatan. Inilah bentuk kedewasaan iman yang lahir dari keyakinan terhadap qadha dan qadar.

Kisah-kisah yang Menghidupkan Kaidah Ini dalam Kehidupan Nyata

Ibu Nabi Musa ‘alaihis salām -Bayangkan beratnya melepaskan bayi ke sungai, padahal ia adalah buah hati. Tapi ketika hati tunduk pada perintah Allah, rasa takut berubah menjadi ketenangan. Dari situlah Musa ‘alaihis salām diselamatkan dan kelak diangkat menjadi nabi yang agung.

Nabi Yusuf ‘alaihis salām -Terbuang ke sumur, dijual sebagai budak, dipenjara karena fitnah. Ujian demi ujian itu ternyata bukan kutukan, tapi tangga menuju kemuliaan.

Anak yang dibunuh Khidir -Sebuah peristiwa yang tampak tragis, tapi ternyata penuh kasih sayang. Kadang kehilangan sesuatu bukan karena kita tidak layak memilikinya, tapi karena Allah ingin menggantinya dengan yang lebih baik.

Ummu Salamah radhiyallāhu ‘anhā -Saat kehilangan suami tercinta, ia mengucap doa sebagaimana diajarkan Nabi. Ternyata Allah gantikan dengan Rasulullah sendiri sebagai pendamping hidupnya. Kisah ini mengajarkan: di balik duka, bisa saja tersimpan anugerah yang belum kita pahami.

Di sekitar kita pun ada banyak kisah nyata yang meneguhkan kaidah ini, misalnya kisah tentang seorang pria yang tertinggal pesawat karena tertidur, awalnya menyesal luar biasa. Namun beberapa jam kemudian, pesawat itu jatuh dan seluruh penumpangnya wafat. Apa yang ia sesalkan ternyata adalah penyelamat nyawanya.

Penutupan:

Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tapi selama hati berpaut kepada Allah, hidup tak akan pernah kehilangan arah. Jadikanlah kaidah agung ini sebagai kompas batinmu. Hafalkan, renungkan, dan hidupkan dalam setiap fase kehidupan:

“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal tidak baik bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Dengan keyakinan ini, kita tidak hanya akan lebih kuat menghadapi kenyataan, tapi juga lebih bijak menyikapi perbedaan takdir. Ujian menjadi jalan pahala, kesedihan menjadi ladang keimanan, dan takdir yang pahit akan terasa manis ketika disandarkan pada cinta kepada Allah.

Yakinlah: ketika kita menyerahkan segalanya kepada-Nya, hidup kita akan dipandu oleh cahaya yang tidak pernah padam.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

Oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc.

Rujukan:

Ringkasan 50 kaidah quran untuk jiwa dan kehidupan, (قواعد قرآنية خمسون قاعدة قرآنية في النفس والحياة),  Prof. Dr. Umar bin Abdullah Al-Muqbil.

Klik untuk Download Versi PDF

Related posts

Silakan tulis komentar di sini dengan sopan

Tuliskan nama