Menjauhi Dosa: Renungan tentang Bahaya yang Sering Diabaikan
Pendahuluan
Di tengah derasnya arus zaman, ketika manusia berlomba mengejar kenyamanan dan ketenaran yang fana, ada satu perkara yang luput dari perhatian, meski bahayanya jauh lebih halus dan lebih menghancurkan dari sekadar kelaparan atau racun. Ia tidak berisik, tidak menyala terang, tapi perlahan mengikis kehidupan batin manusia. Itulah dosa. Ia datang dengan wajah yang memikat, dalam bentuk yang menyenangkan dan tampaknya tak berbahaya, namun di baliknya tersembunyi kehancuran hati dan kehampaan yang akan menggema hingga ke akhirat.
Renungan Awal
Pernahkah kalian melihat seseorang yang sangat kelaparan, lalu di hadapannya disajikan makanan yang lezat? Ketika ia mengulurkan tangan untuk menyantapnya, seseorang berkata, “Makanan ini beracun. Jika engkau memakannya, engkau akan celaka atau bahkan binasa.” Apakah menurut kalian ia akan tetap memakannya, ataukah ia akan menahan diri?
Maha Suci Allah! Bagaimana bisa seseorang menjauh dari makanan karena takut akan bahayanya, namun tidak menjauh dari dosa karena takut akan hukuman-Nya? (Sumber faidah: https://al-badr.net/muqolat/2598)
Dosa: Racun Jiwa yang Tak Terlihat
Racun merusak tubuh, itu kita tahu. Tapi dosa, ia bekerja dengan cara yang lebih halus, lebih senyap, dan jauh lebih mematikan. Ia tidak melumpuhkan anggota badan, tapi ia merusak pusat kehidupan manusia: hati. Sedikit demi sedikit, dosa melemahkan iman, menumpulkan nurani, dan memadamkan cahaya yang seharusnya menuntun langkah. Hingga pada suatu titik, seorang hamba bisa berdiri di ambang maksiat tanpa merasa gentar. Ia berbuat salah, namun tidak gemetar. Ia melanggar perintah Rabb-nya, namun tak lagi merasa malu. Dan di sanalah, kematian batin itu bermula, bukan dengan hentakan, tetapi dengan kelalaian yang dibiarkan berulang.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman:
وَذَرُواْ ظَٰهِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَبَاطِنَهُۥٓۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡسِبُونَ ٱلۡإِثۡمَ سَيُجۡزَوۡنَ بِمَا كَانُواْ يَقۡتَرِفُونَ
“Dan tinggalkanlah dosa yang tampak maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi balasan sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An‘ām: 120)
Yang dimaksud dengan al-itsm (dosa) adalah segala bentuk penyimpangan (kemaksiatan) dari kebenaran yang murni. Ia bukan hanya melukai aturan, tetapi juga mengganggu keharmonisan yang seharusnya terjaga antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan sesamanya. Setiap dosa, sekecil apa pun, adalah langkah menjauh dari cahaya. Ia mungkin dimulai dari hal yang tampak remeh, namun perlahan menggiring jiwa ke dalam jurang kesempitan, di mana kedamaian tak lagi menetap, dan hati kehilangan arah.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak hanya memperingatkan manusia dari apa yang tampak di mata, tetapi juga dari apa yang tersembunyi dalam bayang-bayang hati. Larangan-Nya tidak berhenti pada perbuatan yang dilakukan oleh tangan atau lisan, tetapi menjangkau hingga gerak pikiran yang sunyi dan niat yang tidak terucap. Karena yang mencemari jiwa bukan hanya dosa yang dilakukan secara nyata, tetapi juga bisikan-bisikan batin yang, jika dibiarkan, tumbuh menjadi akar yang mencengkeram jiwa dan menjauhkan manusia dari jalan yang lurus.
Agar seseorang benar-benar mampu meninggalkan dosa, ia tidak cukup hanya dengan niat baik. Ia harus mengenali wajah-wajah dosa itu dengan jelas, baik yang kasar maupun yang halus, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Sebab, banyak manusia berjalan di atas bumi dengan perasaan ringan, padahal langkahnya dibebani oleh dosa yang tak ia kenali. Ia lalai, bukan karena ingin salah, tetapi karena tidak pernah duduk sejenak untuk merenungi dirinya.
Yang paling halus dari semua dosa adalah dosa-dosa hati. Ia tak bersuara, tak berbekas di kulit, namun merusak lebih dalam daripada luka fisik.
- Sombong: saat seseorang merasa lebih tinggi dari yang lain.
- Ujub: ketika ia kagum pada dirinya sendiri seolah amalnya adalah hasil usahanya semata.
- Riya: saat ibadah dilakukan untuk manusia, bukan untuk Pencipta.
- Dengki: ketika kebahagiaan orang lain terasa seperti ancaman.
Semua itu mungkin bersemayam dalam diri tanpa kita sadari, seperti duri yang tertanam dalam daging, tak terlihat, namun menyakitkan setiap kali disentuh kebenaran.
Padahal bisa saja seseorang memikul banyak dari dosa-dosa itu sepanjang hidupnya, tanpa pernah menyadari bebannya. Ia tersenyum, berbicara, bahkan beribadah, namun hatinya diam-diam dipenuhi oleh kabut-kabut gelap yang tidak pernah dibersihkan. Inilah wajah paling dalam dari keterasingan manusia dari ilmu: ketika ia tidak lagi mencari kebenaran, dan tidak merasa kehilangan saat cahaya itu sirna dari hatinya.
Ketika cahaya bashīrah -ketajaman pandangan batin- padam, maka dunia akan tampak baik-baik saja, meski jiwa sebenarnya tengah merintih dalam diam. Ia tidak buta karena tidak melihat, tetapi karena tidak merasa perlu melihat.
Kemudian datanglah kabar dari Allah, sebuah peringatan yang tak disampaikan dengan amarah, tetapi dengan keadilan yang tegak dan tak bisa dihindari: bahwa siapa pun yang terus menumpuk dosa, baik yang nyata di hadapan manusia maupun yang tersembunyi di relung batin, akan menerima balasan yang sepadan dengan perbuatannya. Tidak ada satu langkah pun yang luput dari timbangan-Nya, tidak ada satu bisikan pun yang terlalu kecil untuk dicatat.
Setiap dosa akan dibalas menurut kadarnya, yang ringan akan mendapat balasan ringan, yang berat akan dipikul sebagaimana beratnya. Karena di hadapan Allah, tidak ada perbuatan yang sia-sia; semuanya akan kembali kepada pelakunya, sebagaimana bayang-bayang selalu kembali mengikuti bentuk tubuhnya.
Menghidupkan Kesadaran, Membangun Benteng Diri
Setiap kali seseorang menjauh dari dosa, ia bukan sekadar menahan diri dari kesalahan. Ia sedang merawat masa depannya yang belum tampak. Ia sedang menjaga jiwanya agar tidak jatuh ke jurang kehinaan yang halus namun dalam. Ia melindungi hidupnya dari kegelisahan batin yang tidak selalu bersuara, namun menggerogoti ketenteraman seperti api yang membakar dari dalam. Sebab dosa tidak hanya merenggangkan hubungan antara hamba dan Rabb-nya, tapi juga mengusik kedamaian yang seharusnya tinggal di relung hati manusia. Dan sering kali, ketidakhadiran ketenangan itu bukan karena kurangnya rezeki, tapi karena hadirnya dosa yang tak disadari.
Berhentilah sejenak. Bukan untuk menatap dunia, tapi untuk menoleh ke dalam dirimu sendiri. Tanyakan dengan tenang: apakah hatimu masih hidup? Masihkah ia bergetar saat mendengar firman Allah yang agung? Ataukah ia kini hanya bergema kosong, seperti ruang yang ditinggalkan cahaya? Jika tak ada lagi getar di sana, mungkin itu karena ia telah terlalu lama terluka. Terluka oleh dosa yang datang sedikit demi sedikit, lalu menetap tanpa disesali. Hati yang dibiarkan tanpa penjagaan, pelan-pelan kehilangan nyawanya, bukan karena mati, tapi karena dibiarkan tak merasa.
Penutup: Jangan Tunda Taubat
Jangan biarkan kelalaian menjadi sahabat yang tinggal terlalu lama. Ia datang tanpa suara, namun jika diberi tempat, ia akan tumbuh menjadi tabir yang menutupi pandangan jiwa. Jangan remehkan dosa-dosa kecil; karena ia seperti butiran pasir yang tampak ringan, namun jika dibiarkan menumpuk, bisa menjadi gunung yang menguburmu di hari yang tak ada lagi tempat bersembunyi. Ingatlah: jika kita mampu menahan diri dari racun dunia demi keselamatan tubuh, maka alangkah lebih layaknya kita menahan diri dari dosa demi keselamatan yang jauh lebih penting, keselamatan yang abadi, yang hanya ditentukan oleh kedekatan kita kepada Allah, bukan oleh apa yang kita miliki di dunia.
Mari kita perbarui taubat, bukan sekadar dengan lisan, tapi dengan hati yang sungguh-sungguh ingin kembali. Perkuat tekad, walau langkah terasa berat. Jadikan setiap detik kehidupan ini sebagai bagian dari perjalanan pulang, kembali kepada Allah, kepada cahaya yang selama ini kita cari dalam gelap. Semoga Allah menjaga kita dari jatuh pada dosa, baik yang jelas terlihat oleh dunia, maupun yang tersembunyi rapat di dalam dada. Sebab keselamatan sejati, bukan hanya bebas dari luka, tapi juga bersih dari noda yang tak tampak.
Ditulis oleh:
Hafizh Abdul Rohman, Lc
Rujukan:
- https://al-badr.net/muqolat/2598
- Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, karya Abdur-Raḥmān bin Nāshir as-Sa‘dī raḥimahullāh. Dapat diakses secara daring melalui: https://read.tafsir.one/alsidi#pg_129