Kesucian Hati dan Lisan sebagai Bukti Kesempurnaan Puasa

kesucian hati

Kesucian Hati dan Lisan

Diriwayatkan oleh Al-ākim dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ، وَجَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ

“Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan perbuatan keji. Jika seseorang mencelamu atau berbuat bodoh kepadamu, maka katakanlah: ‘Aku sedang berpuasa.’”

(HR. Al-ākim dalam Al-Mustadrak 1/595 no. 1570).

Diriwayatkan oleh Imam Amad dari Yazīd bin ‘Abdillāh bin Asy-Syikhkhīr, dari seorang Arab Badui, bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda:

صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبْنَ وَحَرَ الصَّدْرِ

“Puasa di bulan kesabaran (Ramadhan) dan tiga hari setiap bulan dapat menghilangkan kekotoran hati.” (HR. Amad no. 23070).

Salah satu ciri agung dan sifat mulia yang menunjukkan kesempurnaan iman orang-orang yang berpuasa dan tunduk kepada Allah adalah kesucian hati dan lisan mereka terhadap sesama mukmin. Mereka tidak menyimpan kedengkian, iri hati, atau kebencian, dan tidak mengucapkan ghibah, namimah, dusta, atau celaan.

Sebaliknya, hati mereka dipenuhi dengan cinta, kebaikan, kasih sayang, kelembutan, dan penghormatan. Lisan mereka pun tidak mengucapkan kecuali kata-kata yang bermanfaat, nasihat yang baik, serta doa yang tulus.

Mereka termasuk dalam golongan yang Allah puji dan sucikan dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (para sahabat) berkata: ‘Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Al-asyr: 10).

Allah menggambarkan mereka dengan dua sifat utama yang mencerminkan kemuliaan akhlak:

  1. Kesucian lisan, yang tidak mengandung kecuali nasihat dan doa bagi saudara-saudara mereka yang beriman:

“Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman.’”

  1. Kesucian hati, yang tidak menyimpan kebencian, iri, atau permusuhan terhadap orang-orang beriman.

Kesucian Hati dan Lisan sebagai Bukti Kesempurnaan Puasa

Kesucian hati dan lisan merupakan salah satu tanda yang paling jelas dan bukti yang paling nyata atas kesempurnaan dan keutuhan ibadah puasa. Para salaf rahimahumullāh memandang bahwa orang terbaik di antara mereka adalah yang hatinya paling bersih dan lisannya paling terjaga.

Iyas bin Mu‘āwiyah bin Qurrah berkata:

كَانَ أَفْضَلُهُمْ عِنْدَهُمْ – أَيِ السَّلَفَ – أَسْلَمَهُمْ صُدُورًا وَأَقَلَّهُمْ غِيبَةً

“Orang yang paling utama di antara mereka (para salaf) adalah yang hatinya paling bersih dan paling sedikit bergunjing (ghibah).”

(Diriwayatkan oleh Ath-Thabarānī dalam Makārim Al-Akhlāq).

Sufyān bin Dīnār berkata:

قُلْتُ لِأَبِي بَشِيرٍ – وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ عَلِيٍّ – أَخْبِرْنِي عَنْ أَعْمَالِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا، قَالَ: كَانُوا يَعْمَلُونَ يَسِيرًا وَيُؤْجَرُونَ كَثِيرًا، قُلْتُ: وَلِمَ ذَلِكَ؟ قَالَ: لِسَلَامَةِ صُدُورِهِمْ

“Aku berkata kepada Abu Basyīr – salah seorang sahabat ‘Alī –: ‘Kabarkan kepadaku tentang amalan orang-orang sebelum kita.’ Ia menjawab: ‘Mereka beramal sedikit tetapi mendapatkan pahala yang besar.’ Aku bertanya: ‘Mengapa demikian?’ Ia menjawab: ‘Karena hati mereka bersih.’”

(Diriwayatkan oleh Ibnu As-Sirrī dalam kitabnya Az-Zuhd).

Ramadhan sebagai Momentum Menyucikan Hati dan Lisan

Ramadhan adalah kesempatan emas dan karunia ilahi untuk mensucikan hati dan lisan dari segala noda dan penyakit. Bukanlah tujuan puasa sekadar menahan diri dari makan dan minum, sementara hati masih dipenuhi dengki, iri, dan kebencian terhadap hamba-hamba Allah, atau lisan masih sibuk dengan ghibah, namimah, dusta, dan makian.

Siapa yang keadaannya seperti itu, maka ia tidak mendapatkan manfaat dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun yang ia dapatkan dari puasanya hanyalah rasa lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang berdiri (shalat malam), namun yang ia peroleh hanyalah begadang semata.”

(HR. Amad 2/374 no. 8842, dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, marfū‘ kepada Nabi ).

Sebab Utama Kesucian Hati dan Lisan

Sebab utama yang menjadikan hati dan lisan para pendahulu yang saleh tetap bersih adalah hubungan mereka yang kuat dengan Allah dan keridhaan mereka terhadap-Nya.

Ibnu al-Qayyim rahimahullāh berkata:

“Keridhaan akan membuka bagi seseorang pintu keselamatan, sehingga menjadikan hatinya bersih dan suci dari tipu daya, kebencian, dan kedengkian. Tidak ada yang akan selamat dari azab Allah kecuali orang yang datang kepada-Nya dengan hati yang bersih. Tidak mungkin seseorang memiliki hati yang bersih jika ia dipenuhi ketidaksenangan dan ketidakridhaan. Semakin besar keridhaan seorang hamba kepada Allah, semakin bersih pula hatinya. Keburukan, tipu daya, dan kedengkian selalu beriringan dengan ketidakridhaan, sedangkan kebersihan hati, kelembutan, dan ketulusan selalu beriringan dengan keridhaan. Demikian pula, hasad (iri) adalah buah dari ketidakridhaan, dan kesucian hati darinya adalah buah dari keridhaan.”

(Ibnu al-Qayyim, Madārij as-Sālikīn, bab Manzilatu ar-Ridhā).

Buah Manis dari Kesucian Hati

Keutamaan memiliki hati yang bersih sebagai buah dari keridhaan tidak terhitung jumlahnya. Di dunia, hati yang bersih mendatangkan ketenangan dan kedamaian, serta di akhirat mendapat balasan terbaik.

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Zaid bin Aslam berkata:

دُخِلَ عَلَى أَبِي دُجَانَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ مَرِيضٌ وَكَانَ وَجْهُهُ يَتَهَلَّلُ فَقِيلَ لَهُ: مَا لِوَجْهِكَ يَتَهَلَّلُ؟ فَقَالَ: مَا مِنْ عَمَلِي شَيْءٌ أَوْثَقُ عِنْدِي مِنَ اثْنَتَيْنِ : كُنْتُ لَا أَتَكَلَّمُ فِيمَا لَا يَعْنِينِي ، وَالْأُخْرَى فَكَانَ قَلْبِي لِلْمُسْلِمِينَ سَلِيمًا

“Abu Dujanah radhiyallāhu ‘anhu dikunjungi ketika ia sedang sakit, sementara wajahnya tampak berseri-seri. Maka ditanyakan kepadanya: ‘Apa yang membuat wajahmu bercahaya seperti ini?’ Ia menjawab: ‘Tidak ada amal yang paling aku yakini lebih berarti dari dua hal: aku tidak pernah berbicara tentang sesuatu yang tidak penting bagiku, dan hatiku selalu bersih terhadap kaum Muslimin.’”

(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘d dalam At-Thabaqāt al-Kubrā 3/557, Adz-Dzahabi dalam Tārīkh al-Islām 3/70, dan Siyar A‘lām an-Nubalā’ 1/205).

Cara Menjaga Kesucian Hati dan Lisan

Di antara hal yang dapat membantu seorang Muslim menjaga kesucian hati dan lisannya terhadap sesama adalah:

  1. Bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan agar diberikan hati yang bersih.

  2. Merenungkan dampak baik dan keberkahan yang diperoleh di dunia dan akhirat dari hati yang bersih.

  3. Memikirkan akibat buruk dari hati yang dipenuhi kedengkian, kebencian, dan iri, serta dampak buruknya bagi kehidupan seseorang.

Doa-doa Nabi untuk Kesucian Hati

Banyak doa yang diajarkan oleh Rasulullah yang berisi permohonan kepada Allah agar diberikan hati yang bersih, lurus, dan teguh, di antaranya:

  1. Rasulullah berdoa:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا

“Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia, karena Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya.”

(HR. Muslim no. 2722, An-Nasā’ī no. 5460, dan Amad no. 19204).

  1. Rasulullah berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyuk.”

(HR. At-Tirmidzī no. 3482 dan An-Nasā’ī no. 5460).

  1. Rasulullah berdoa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzī no. 2140).

  1. Rasulullah berdoa:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ لِي فِي قَلْبِي نُورًا

“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhārī no. 6316 dan Muslim no. 763).

Memanfaatkan Bulan Ramadhan untuk Menyucikan Hati dan Lisan

Marilah kita memanfaatkan bulan yang penuh berkah ini untuk membersihkan hati dan lisan dari segala penyakit, serta berusaha menjaga kesuciannya dengan sebaik-baiknya. Sebab, dengan hati yang bersih, agama, kehidupan, dan keselamatan diri akan terjaga, sementara dengan hati yang rusak, agama dan dunia seseorang akan hancur.

Rasulullah telah mengajarkan sebuah doa agung yang dianjurkan untuk dibaca di pagi hari, sore hari, dan sebelum tidur. Dalam doa ini, seorang Muslim memohon perlindungan kepada Allah dari dua sumber utama keburukan yang dapat menjerumuskan manusia, serta dua akibat buruk yang muncul darinya.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzī dan Abū Dāwūd dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, bahwa Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مُرْنِي بِكَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ إِذَا أَصْبَحْتُ وَإِذَا أَمْسَيْتُ؟

Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku beberapa kalimat yang dapat aku ucapkan ketika pagi dan sore hari.”

Maka beliau bersabda:

قُلْ: اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِي وَشَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ

“Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Rabb segala sesuatu dan pemiliknya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku sendiri dan dari kejahatan setan serta kesyirikannya.”

Kemudian Rasulullah bersabda:

قُلْهَا إِذَا أَصْبَحْتَ وَإِذَا أَمْسَيْتَ وَإِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ

“Ucapkanlah doa ini saat pagi, sore, dan sebelum tidur.”

(HR. At-Tirmidzī no. 3529 dan Abū Dāwūd no. 5067).

Dalam riwayat lain, terdapat tambahan:

وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِي سُوءًا أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ

“Dan agar aku tidak melakukan keburukan terhadap diriku sendiri atau menimpakannya kepada seorang Muslim.”

(HR. At-Tirmidzī no. 3529, dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin Al-‘Āsh radhiyallāhu ‘anhumā).

Makna dan Keutamaan Doa Agung Ini

Hadis agung ini mengandung permohonan perlindungan kepada Allah dari segala keburukan, sumbernya, serta akibatnya.

  1. Sumber keburukan dalam kehidupan manusia hanya ada dua:

    1. Diri sendiri, maka Rasulullah mengajarkan doa:

“Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku sendiri.”

    1. Setan, maka beliau juga mengajarkan doa:

“Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setan dan kesyirikannya.”

  1. Akibat dari keburukan hanya ada dua kemungkinan:

    1. Kembali kepada pelakunya sendiri, maka Rasulullah mengajarkan doa:

“Aku berlindung kepada-Mu dari melakukan keburukan terhadap diriku sendiri.”

    1. Menimpa orang lain, maka beliau mengajarkan doa:

“Atau aku menimpakan keburukan kepada seorang Muslim.”

Sungguh ini adalah doa yang sangat sempurna, mengandung makna yang luas, tujuan yang agung, serta perlindungan yang menyeluruh dari setiap keburukan. Alangkah indahnya jika doa ini dijadikan wirid harian, terutama bagi orang yang berpuasa, dalam zikir pagi dan sore, serta sebelum tidur, baik di bulan Ramadhan maupun di sepanjang hidupnya.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ قُلُوبًا خَاشِعَةً، وَأَلْسِنَةً ذَاكِرَةً، وَنُفُوسًا طَائِعَةً مُطْمَئِنَّةً، وَنَعُوذُ بِكَ اللَّهُمَّ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ وَأَنْ نَقْتَرِفَ عَلَى أَنْفُسِنَا سُوءًا أَوْ نَجُرَّهُ إِلَى أَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ya Allah, kami memohon kepada-Mu hati yang khusyuk, lisan yang senantiasa berzikir, serta jiwa yang taat dan penuh ketenangan. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari keburukan diri kami dan dari buruknya amal perbuatan kami. Kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan setan dan kesyirikannya, serta dari melakukan keburukan terhadap diri kami sendiri atau menimpakannya kepada seorang Muslim.”

Penulis: Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamad Al-Badr

Sumber: “Maqālāt Ramaāniyyah” https://www.al-badr.net/muqolat/2509 (Diakses pada 13 Sya’ban 1446 H/ 12 Februari 2025)

Dialihbahasakan dengan sedikit penyesuaian oleh: Hafizh Abdul Rohman, Lc

Related posts

Tinggalkan Balasan di sini